Kota Holdest : Sheila dan Putra Mahkota dalam Misi Rahasia

Perjalanan Sheila, Evelyn, dan Henry Brown ke Kota Holdest dimulai dari Duchy Evergreen. Matahari terbit dengan kehangatan yang menyentuh wajah mereka, memancarkan semangat untuk memulai petualangan mereka yang berbahaya. Mereka menunggang kuda selama dua hari penuh, melintasi dataran yang luas dan hutan-hutan yang rimbun. Setiap langkah kuda mereka membawa mereka lebih dekat ke tujuan mereka, meskipun mereka hanya berhenti untuk beristirahat saat malam turun. Di malam hari, mereka berkemah di pinggir hutan, membangun api unggun kecil untuk menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya malam.

Pada pagi hari kedua, cahaya matahari menyambut mereka saat mereka melanjutkan perjalanan ke Kota Holdest. Mereka melintasi padang rumput yang luas, mendengarkan desiran angin yang berlalu di antara rerumputan. Di kejauhan, mereka dapat melihat siluet kota kecil yang terletak di lembah, ditandai dengan bangunan-bangunan yang tua dan jalan-jalan yang ramai. Kota Holdest, yang terkenal dengan sanitasi yang buruk dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, mereka akhirnya tiba di Holdest. Kota itu terlihat kumuh dan penuh sesak, dengan bangunan-bangunan yang rapuh dan jalan-jalan yang dipenuhi sampah. Bau busuk dan aroma penyakit tercium di udara, menciptakan suasana yang menekan dan suram.

Kuda-kuda mereka melangkah perlahan di jalanan kota Holdest, dengan tiap langkah yang diambil, mereka semakin terperangkap dalam suasana kelam yang melingkupi kota itu. Sheila memandang sekeliling dengan perasaan sedih, melihat anak-anak jalanan yang kurus berjalan dengan langkah lesu, mencari belas kasihan di tengah kehampaan jalanan. Beberapa lansia duduk di tepi jalan, terlihat lemah dan terbuang, sementara ekspresi mereka mencerminkan penderitaan yang mendalam.

Saat mereka mendekati pusat kota, pemandangan semakin menyedihkan. Gedung-gedung tua dan rapuh berdiri dengan anggun, tetapi terlihat terlantar dan terabaikan. Suasana kota dipenuhi dengan kesunyian yang menakutkan, hanya terganggu oleh suara langkah kaki yang samar dan raungan angin yang melintas.

Sheila menemukan tempat duduk kosong di sebuah meja di sudut penginapan yang ramai. Di sebelahnya, seorang pria yang mengenakan jubah bertudung duduk dengan tenang, memperhatikan sekitarnya dengan tatapan yang tajam namun tenang. Dengan sopan, Sheila meminta izin untuk duduk di sampingnya, dan dengan senyuman ramah, pria itu mengangguk, memberikan ruang bagi Sheila. Sheila melepas tudungnya yang kaku  lalu memanggil pelayan yang sibuk mengelilingi ruangan yang penuh sesak. Dengan tergesa-gesa, pelayan menghampiri meja Sheila dengan senyum ramah namun terburu-buru. Di tengah kebisingan dan keriuhan penginapan yang ramai, Sheila mencoba memperoleh perhatian pelayan dengan sopan. Suasana di dalam penginapan terasa hidup dan ramai. Terdapat berbagai percakapan yang terdengar dari meja-meja sekitar, dari tawa lembut hingga suara berbisik yang tertutup. Bau makanan yang harum dan asap rokok mengisi udara, menciptakan atmosfer yang khas dari sebuah penginapan yang sibuk. Sheila memperhatikan dengan seksama ruangan yang cukup berantakan, dengan meja-meja yang dipenuhi gelas kosong dan piring-piring yang berserakan. Beberapa tamu terlihat tengah menikmati hidangan mereka dengan lahap, sementara yang lain terlihat sibuk dalam percakapan mereka sendiri.

"Maaf, bisakah saya memesan segelas bir, tolong?" Ucap Sheila kepada pelayan tersebut.

"Tentu saja, nona. Apakah Anda ingin bir lokal atau bir impor?"

"Bir lokal saja, terima kasih."

"Baiklah, satu bir lokal, datang segera." Pelayan tersebut mencatat pesanan Sheila dan berusaha keras menghafal meja tempat duduk Sheila.

"Terima kasih banyak." ucap sheila, tersenyum kecil. Pelayan itu tergesa-gesa menuju meja bar, dia tetap berusaha memberikan pelayanan yang baik kepada tamu-tamunya, dengan senyum yang tulus di wajahnya meskipun terlihat sedikit lelah.

Sementara itu, Evelyn sibuk mengurus tempat menginap mereka, memastikan kamar yang mereka tempati nyaman dan bersih. Henry, dengan cermat, mengurus kuda-kuda mereka, memberikan mereka perhatian dan perawatan yang pantas setelah perjalanan yang panjang. Sheila menarik napas dalam-dalam, menikmati momen singkat kedamaian di tengah kegaduhan kota Holdest. Dia menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan bahwa ada banyak hal yang akan mereka temui dan hadapi di kota ini.

Pelayan kembali dengan segelas bir yang berbusa, meletakkannya di depan Sheila dengan hati-hati sebelum dengan cepat melanjutkan tugasnya untuk melayani tamu-tamu lainnya. Derap langkahnya yang tergesa-gesa bersamaan dengan keriuhan percakapan di sekitar menciptakan dinamika yang khas dari suasana penginapan yang sibuk.

Sheila mengangkat segelas birnya, merasakan dinginnya minuman itu menyegarkan tenggorokannya yang kering setelah perjalanan yang panjang. Di sampingnya, pria yang duduk dengan jubah bertudung menggoda obrolan dengan senyum ramahnya. Tatapan matanya yang tajam menyoroti wajah Sheila, menciptakan kesan dari seseorang yang ingin lebih tahu.

"Selamat datang di Holdest, nona," ucap pria tersebut dengan suara lembut yang mengalir menyertai senyumnya. "Maaf saya mengganggu, namun saya penasaran, apa yang membawa Anda ke kota Holdest?"

Sheila menjawab dengan sopan, membiarkan senyumnya menyertai setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Terima kasih. Kami sedang melakukan perjalanan melalui Holdest dalam perjalanan kami ke tempat lain."

Pria itu mengangguk paham, menyambut jawaban Sheila dengan pengertian yang hangat. "Ah, begitu. Jadi, Anda hanya beristirahat sejenak di kota ini?" Tanyanya lagi, mencoba menemukan lebih banyak informasi dari Sheila.

Sheila mengangguk, menegaskan, "Ya, kami hanya beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan kami."

Wajah pria itu tersembunyi di balik tudung besar yang menutupi sebagian besar fitur-fiturnya, menambah misteri pada sosoknya. Hanya sedikit cahaya yang menyinari bagian-bagian tertentu dari wajahnya, memberikan kesan gambaran yang samar tentang ekspresi yang mungkin ada di balik kain yang menutupi.

Sheila menyadari bahwa dia juga tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang pria tersebut. Dengan sopan, dia bertanya, "Sedang mengunjungi seorang rekan di Holdest, ya? Ada rencana menarik lain yang Anda miliki selama di kota ini?"

Pria itu mengangguk perlahan, mengindikasikan persetujuannya terhadap pertanyaan Sheila. "Ya, saya datang untuk bertemu dengan teman lama. Kami berencana untuk menghabiskan waktu bersama dan mengeksplorasi kota ini."

Suara pria itu terdengar tenang dan teratur, meskipun tertutup oleh lapisan kain yang melingkupi wajahnya. Meskipun begitu, ada kehangatan dalam nada bicaranya, seolah-olah dia sedang berbagi cerita dengan seorang teman lama. Sheila tersenyum mendengar jawabannya, merasa lega mendapat tanggapan dari pria yang cukup ramah meskipun wajahnya tertutup oleh tudung. Meskipun demikian, dia merasa terdorong untuk mengetahui lebih banyak tentang tamu baru yang duduk di sebelahnya, bertanya-tanya tentang cerita yang mungkin bisa dia bagikan tentang kota Holdest dan pengalaman perjalanannya.

Pria tersebut mengatakan bahwa Holdest dulunya adalah kota yang indah, banyak pengunjung yang datang ke Holdest untuk berlibur, namun setelah lama meninggalkan holdest dan kembali lagi, dia terkejut dengan situasi Holdest yang sangat berbeda dengan yang dia ketahui dulu. Sheila mendengarkan dengan seksama cerita pria bertudung itu, terdiam sejenak oleh kesan yang diberikan oleh kata-katanya. Ada sesuatu yang menggetarkan dalam suara pria itu, seolah-olah kenangan dan nostalgia telah meresap ke dalam setiap intonasi.

"Saya mengerti," ujar Sheila dengan suara lembut, memperlihatkan empati atas pengalaman yang dibagikan pria itu. "Kota-kota seringkali mengalami perubahan, baik itu secara positif maupun negatif. Bagaimana menurutmu, apa yang menyebabkan perubahan besar seperti itu terjadi di Holdest?"

Pria bertudung itu terdiam sejenak, seolah-olah merenungkan pertanyaan Sheila dengan serius. "Ada berbagai faktor yang terlibat," jawabnya akhirnya. "Tapi sepertinya, kurangnya perhatian terhadap perkembangan kota dan kurangnya investasi dalam infrastruktur serta kesejahteraan masyarakat telah memainkan peran besar dalam perubahan yang saya saksikan."

Suara pria itu terdengar terasa pahit, sebagai seseorang yang merasakan kepahitan atas keadaan yang telah berubah drastis di kota yang pernah ia kenal. Meskipun wajahnya tertutup, Sheila bisa merasakan ekspresi emosi yang tersembunyi di balik tudung itu, menciptakan ikatan kecil antara mereka dalam momen tersebut. Sheila mengangguk, memahami dan menghargai sudut pandang pria itu.

"Sangat menarik," ucapnya. "Terima kasih telah berbagi cerita Anda dengan saya. Semoga Anda menemukan jawaban atas pertanyaan Anda dan menikmati kunjungan Anda di Holdest."

Pria bertudung itu tersenyum tipis, terlihat bersyukur atas pendengarannya. "Terima kasih, nona. Semoga perjalanan Anda juga membawa banyak pengalaman berharga." Dengan senyuman yang hangat, keduanya kembali duduk dalam keterhormatan yang sama, saling menghargai pertemuan singkat mereka di tengah keramaian penginapan yang sibuk. Setelah Bir Sheila habis di teguk nya, dia berpamitan dengan pria tersebut dan kembali ke kamarnya dimana Evelyn telah menunggunya dengan setia di kursi tamu lantai tempat mereka menginap.

***

Pria bertudung itu bergerak dengan langkah-langkah yang tenang dan mantap saat ia meninggalkan ruang makan penginapan. Cahaya lembut dari lampu-lampu gantung di langit-langit memancar di balik kerudung hitam yang menutupi wajahnya, memberikan kesan misterius pada sosoknya yang tegap. Di udara, tercium aroma harum wangi dari parfum mewah yang terus menempel pada tubuhnya. Sementara itu, suasana di sekitarnya tetap tenang, namun ada getaran yang halus dalam udara, seperti ada sesuatu yang tertahan dan menanti waktu untuk terungkap. Para tamu di ruang makan tampak sibuk dengan urusan masing-masing, berbincang santai atau menikmati hidangan mereka dengan lahap.

Ketika Sheila meninggalkan ruangan, pria bertudung itu secara alami tertarik untuk mengamati gerakannya. Dengan pandangan yang tajam namun tidak terlalu mencolok, ia menyaksikan langkah-langkah elegan Sheila yang meninggalkan ruangan dengan sikap yang teguh dan anggun. Di antara keramaian, gerakan Sheila yang teratur dan langkahnya yang mantap mencerminkan karakter yang kuat dan percaya diri.

Pria bertudung itu kemudian mengambil napas dalam-dalam, seolah mempersiapkan dirinya untuk tugas yang akan datang. Dengan hati-hati, ia menyusuri lorong-lorong penginapan menuju kamarnya yang merupakan satu-satunya kamar terluas di penginapan tersebut.

Pria bertudung itu duduk dengan sikap tegap di kursinya, dikelilingi oleh aura kekuasaan yang tak terbantahkan. Matanya yang tajam memancarkan ketenangan yang mendalam, seolah-olah ia memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang melampaui batas manusia biasa. Dalam kesunyian ruangan, suara langkah kaki Sheila yang meninggalkan ruang makan terdengar samar-samar. Saat melihat Sheila melintas, ekspresi wajahnya tidak berubah, tetap tenang dan terkendali. Namun, dalam keheningan, ia memanggil seseorang dengan suara yang rendah namun penuh otoritas. Dan seperti panggilan seorang penyihir yang memanggil arwah, bayangan misterius mulai terbentuk di hadapannya. Bayangan itu mulai memadat dan membentuk sosok yang berlutut di hadapan pria bertudung, memberi hormat dengan penuh penghormatan dan kepatuhan. Sosok itu adalah Ardelon, pengikut setia pria bertudung yang dijuluki Yang Mulia Putra Mahkota Luke. Dengan suara yang tenang namun penuh keputusan, Putra Mahkota memberikan perintah kepada Ardelon. Permintaannya adalah untuk menyelidiki tujuan sebenarnya dari kedatangan Sheila ke Holdest. Kepala Ardelon menunduk dalam penghormatan, menyatakan kesiapannya untuk menjalankan perintah tersebut dengan setia. Putra Mahkota Luke berdiri dengan anggun, melepaskan kerudungnya dengan perlahan, membiarkan sinar bulan yang menyelinap masuk ke dalam kamar menyinari wajahnya yang gagah. Setelah memerintahkan Ardelon, Putra Mahkota Luke menatapnya dengan tajam, memancarkan kepercayaan dan harapan pada pengikutnya yang setia.

"Ardelon," ucapnya dengan suara yang tenang namun penuh otoritas, "tugas ini harus dilakukan dengan cermat, cepat dan tanpa kesalahan. Aku mempercayakanmu untuk menyelidiki tujuan sebenarnya dari kedatangan Sheila ke Holdest."

Ardelon menatap putra mahkota dengan penuh kesetiaan, "Saya tidak akan mengecewakan anda, Yang Mulia. Saya akan melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan segera memberikan laporan tentang apa yang saya temukan."

"Ingatlah, Ardelon," lanjut Putra Mahkota dengan suara yang menggetarkan, "segala sesuatu yang terjadi di balik tirai kegelapan, harus terungkap. Kita tidak boleh mengizinkan ancaman apa pun bagi keamanan Duchy Evergreen." dia melanjutkan, "Ini semua demi Sheila"

Ardelon menyanggupi sumpahnya dengan sungguh-sungguh, "Saya akan melaksanakan tugas ini dengan penuh dedikasi, Yang Mulia. Tidak ada yang akan lolos dari pengamatan saya."

Putra Mahkota mengangguk, puas dengan kesetiaan Ardelon. "Bergegaslah, Ardelon. Waktu berharga, dan kita tidak boleh menyia-nyiakannya." Dengan hormat, Ardelon memberi salam dan segera meninggalkan ruangan, meninggalkan Putra Mahkota Luke dengan pikiran yang tenang dan tekad yang kuat.

Terpopuler

Comments

Ryfca

Ryfca

Wahh… putra mahkota🤭🤭

2024-03-25

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!