Gubuk Reyot di Sudut Kota Kumuh : Tindakan Altruistik dan Harapan.

Setelah menyelesaikan tugas pembelian obat dan makanan untuk fasilitas kesehatan, Evelyn kembali dengan langkah mantap, wajahnya berseri-seri meskipun masih terlihat cemas. Sheila, dengan sikap tegasnya, kembali memberikan perintahnya, menugaskannya untuk tetap berada di fasilitas kesehatan dan memantau setiap perkembangan yang terjadi di sana. Sedangkan dirinya, dengan mantel hitamnya yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, menyibak tudung jubahnya dan memasangnya ke kepala. Dengan langkah mantap, dia kembali berkeliling sendiri, menyusup di antara kerumunan yang penuh dengan perasaan keputusasaan dan harapan. Sementara Henry Brown, pengawal loyal yang setia, menerima tugasnya untuk memantau dan mencari bukti konkret penyimpangan yang dilakukan oleh Count Morlist. Dengan pakaian yang tak mencolok, dia menyelinap di antara keramaian kota Holdest, matanya yang tajam selalu siap memerhatikan setiap detail yang mencurigakan. Menjadi mata dan telinga Sheila di jalanan yang gelap, dia berusaha sekuat tenaga untuk mengungkap setiap rahasia yang terkait dengan Count Morlist. Dalam keheningan yang terasa semakin tegang, ketiganya berpisah, membawa misi dan tanggung jawab masing-masing.

Sheila melangkah dengan langkah-hati di sepanjang jalan yang penuh dengan kekumuhan dan kemiskinan. Bau busuk dan debu yang terbawa angin menyergap indra penciumannya, membuatnya semakin sadar akan kondisi masyarakat kecil di Holdest. Jalanan yang kumuh dan terabaikan mencerminkan keadaan yang suram dan penuh kesulitan bagi penduduknya.

Sambil berjalan, Sheila melihat sejumlah kecil stand makanan yang berjejer di pinggir jalan. Namun, makanan yang dijual terlihat sederhana dan minim variasi, jauh dari kemewahan dan keberlimpahan yang biasa dia nikmati di mansion Evergreen. Beberapa orang yang terbaring di pojok jalan menambah kesedihan di hatinya. Mereka terlihat lemah dan tersisih, terabaikan oleh kehidupan yang keras dan tak berpihak.

Realitas pahit yang terpampang di depan matanya membuat Sheila merasa bersalah. Dia menyadari betapa jauh kesenjangan sosial yang ada di dalam kekaisaran Hopsburg, di mana mereka yang berada di puncak kekuasaan hidup dalam kemewahan sementara yang lemah dan miskin terpuruk dalam keputusasaan. Meskipun hidupnya di mansion Evergreen dipenuhi dengan keberlimpahan dan kekuatan, Sheila tidak bisa mengabaikan realitas yang menggambarkan kesenjangan yang tak terbayangkan di luar sana, tersembunyi dari pandangan yang mempesona.

Melangkah lebih jauh, Sheila semakin terpana oleh pemandangan di sekitarnya. Bangunan-bangunan tua yang teronggok dengan runtuh menambah kesan suram kota ini. Sinar matahari yang merayap masuk di antara celah-celah bangunan kumuh itu memberikan nuansa yang semakin tragis pada pemandangan tersebut.

Pada setiap sudut jalan, terlihat tumpukan sampah dan reruntuhan, menambah kesan kemiskinan dan keabasan tempat ini. Suara gemeretak langkahnya di atas timbunan sampah yang berserakan memberikan kesan tak berdaya, seakan-akan membenamkan Sheila lebih dalam dalam kenyataan yang kejam.

Namun, di antara pemandangan suram itu, masih terdapat secercah harapan. Beberapa warga tampak sibuk bekerja, mencoba bertahan hidup di tengah kondisi yang sulit. Mereka saling membantu, meskipun dalam keterbatasan, memberikan sedikit cahaya di tengah kelamnya Holdest.

Sheila menghentikan langkahnya ketika dia dihadang oleh keempat remaja kurus yang tampak lapar dan kotor di gang kecil itu. Wajah mereka mencerminkan kelaparan dan keputusasaan, memberikan kesan bahwa mereka telah lama menghadapi kesulitan hidup di Holdest yang terpuruk. Anak remaja yang terlihat lebih tua, dengan tatapan tajam dan wajah yang dipenuhi dengan keputusasaan, melangkah mendekati Sheila dengan langkah berani. Tatapannya menusuk, menunjukkan ketegasan dan keputusasaan yang mendalam di balik matanya yang lelah. Dia memegang sebuah tongkat lapuk ditangan nya dengan gemetar.

"DENGAR, NONA. KAMI TIDAK SEDANG MAIN-MAIN. KAMI BUTUH APA PUN YANG ANDA PUNYA, SEKARANG

JUGA," teriaknya dengan suara serak, menyiratkan tekanan dan desakan yang kuat. "SERAHKAN SEKARANG!"

Sementara itu, di sebelahnya, remaja yang lebih muda tapi bersemangat, dengan tubuh yang kurus dan berdebu, juga menunjukkan sikap yang sama. Dia bergeming di tempatnya, memandang Sheila dengan mata yang penuh harapan, tapi juga dengan ekspresi yang menunjukkan rasa putus asa.

"Nona, kami tidak bisa menunggu lebih lama. Adik kami sangat sakit dan kami tidak punya cukup uang untuk membeli obat dan makanan," tambahnya dengan polos dan suara yang penuh ketidakpastian, mencerminkan beban yang terlalu berat untuk dipikul oleh anak muda seperti mereka.

Dengan cemas, Sheila menyadari urgensi situasi ini. Dia berpura-pura takut, tapi dalam diam, dia melemparkan sebuah kantong kecil yang berisi koin emas kepada mereka. Meskipun hanya sekejap, ekspresi kelegaan yang terpancar dari wajah anak-anak itu membuat Sheila merasa lega. Koin emas itu mungkin bukan solusi permanen, tapi setidaknya itu bisa memberi mereka makanan dan obat untuk sementara waktu.

"Hanya ini yang ku miliki," ucap Sheila dengan suara pura-pura takut, sambil berusaha menunjukkan sikap simpati tanpa menimbulkan kecurigaan.

Ketika anak-anak remaja itu menghilang di belokan gang yang gelap, Sheila dengan hati-hati mengikuti dari kejauhan, mencoba untuk tidak menarik perhatian mereka. Langkahnya pelan, memastikan agar tidak menghasilkan suara yang mencolok, sementara mata yang tajam terus memperhatikan setiap gerakan anak-anak tersebut. Di balik tudungnya, Sheila merasa jantungnya berdebar kencang, dipenuhi dengan campuran antara kekhawatiran dan rasa ingin tahu yang membara. Dia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan anak-anak remaja itu dengan uang tersebut. Apakah mereka akan benar-benar menggunakan uang itu untuk membeli makanan dan obat untuk adik mereka yang sakit, ataukah uang itu akan digunakan untuk hal-hal yang lain?

Anak-anak remaja itu berkerumun di depan toko, terpesona oleh segenggam koin emas yang mereka dapatkan dari Sheila. Anak yang paling tua, dengan tatapan yang penuh harap, mengambil beberapa koin dari kantong dan menyimpan sisanya dengan cermat. Sorotan terang di matanya mencerminkan kelegaan atas temuan tak terduga ini, sementara teman-temannya menatapnya dengan antusias, menunggu keputusan berikutnya.

"Dengar, kita harus pintar tentang ini," ujar Anak yang paling tua dengan suara serius, "Kita perlu beli makanan dan obat-obatan untuk Elisa. Kita harus pastikan dia sembuh dan dapat makan."

Yang lainnya mengangguk setuju, dan dengan cepat mereka berjalan menuju toko terdekat. Saat mereka masuk, kegembiraan masih terpancar di wajah mereka, meskipun ada kekhawatiran tersamar di balik ekspresi mereka. Pemilik toko, seorang lelaki tua dengan rambut putih dan mata tajam, mengamati mereka dengan curiga ketika mereka memperlihatkan kantong uang itu. Namun, ketika anak-anak itu menjelaskan bahwa mereka menemukan uang itu di gang belakang, dia terdiam sejenak, ragu-ragu. Meskipun demikian, dia akhirnya memutuskan untuk menerima uang tersebut, tergerak oleh pandangan kelaparan dan kebutuhan yang jelas terlihat pada wajah anak-anak itu. Dengan hati yang lega, anak-anak itu meninggalkan toko dengan bekal makanan dan obat-obatan yang mereka butuhkan. Mereka tersenyum lega, merasa lega bahwa mereka telah berhasil mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk merawat adik mereka yang sakit.

Sheila melangkah dengan hati-hati ke ke sela di samping gubuk reyot yang remang-remang, mengintip anak-anak itu dengan penuh kehati-hatian. Di dalam, suasana yang menyedihkan langsung menyergapnya. Gubuk itu rapuh, dindingnya tampaknya hanya bertahan dengan kekuatan berdoa, dan atapnya berlubang-lubang sehingga sinar matahari menyelinap masuk, menciptakan bayangan-bayangan yang menakutkan. Adam, nama anak yang paling tua, dengan lembut merengkuh seorang gadis kecil yang terbaring lemah dan menggigil. Gadis itu tergeletak di sudut gubuk, dibungkus kain usang dan kotor, seakan menjadi perlindungan terakhir dari dingin dan kesepian yang menyelimuti tempat itu. Tubuhnya terlihat rapuh dan lemah, dan mata Sheila terisi belas kasihan saat melihatnya.

Adam duduk di sisi adiknya yang tergeletak lemah, Elisa, dengan penuh kelembutan. Matanya penuh perhatian saat dia membuka bungkusan makanan yang baru saja dibelinya, dan dengan lembut, dia menyuapi Elisa yang tampak kelelahan dan rapuh di pelukannya.

"Elisa, cobalah makan sedikit," desis Adam dengan suara lembut, sambil menyuapi Elisa dengan hati-hati.

Elisa mengangguk lemah, bibirnya terkatup erat saat dia menerima makanan itu dengan ragu. Tapi Adam memberikan senyuman lembut, mencoba memberikan semangat kepada adiknya. Sementara Elisa makan dengan pelan, Adam membagikan sisa makanan kepada anak-anak yang lain. Mereka tampak lapar dan penasaran, tetapi Adam dengan sabar memberi penjelasan.

"Aku tidak lapar," ujar Adam dengan lembut, mencoba menenangkan adik-adik nya. "Ayo, makanlah. Nanti kakak akan makan setelah kalian." Anak-anak itu menatap Adam dengan penuh rasa terharu dan terima kasih saat mereka menerima makanan dari tangannya. Terlihat kelegaan di wajah Adam ketika dia melihat mereka makan dengan lahap, meskipun dia masih merasa cemas dengan keadaan Elisa yang sakit. Adam duduk di sana, mengawasi adik-adiknya dengan penuh kasih sayang, bersedia melakukan segalanya untuk melindungi dan merawat mereka di tengah-tengah kesulitan yang mereka hadapi.

Sheila tersenyum lembut, hatinya hangat saat melihat bagaimana uang yang dia berikan telah digunakan oleh Adam untuk merawat adik-adiknya dengan penuh kasih sayang. Ekspresi syukur terpancar jelas di wajahnya, menyiratkan kelegaan dan kebahagiaan bahwa uang yang dia berikan tidak disia-siakan.

Sheila melangkah kan kaki nya beberapa langkah namun berhenti sejenak saat mendengar suara seorang pria memanggilnya.Dia berbalik menghadap dan melihat ternyata pria bertudung yang dia temui di ruang makan penginapan.

"Hei, Nona! Tindakan anda sangat menarik perhatian"

"Sejak kapan kau melihat nya?" tanya Sheila dengan curiga.

"Jangan salah paham, Nona. Aku kebetulan melewati sebuah gang kecil namun melihat seseorang yang sedang di peras oleh anak-anak remaja. Awalnya, aku hanya ingin membantu, Nona!"

"Lalu?"

"Lalu anda memberikan sekantong uang, dan mengikuti mereka dari belakang dengan hati-hati. Aku mengikuti karena penasaran. Aku tidak punya maksud buruk."

Sheila tidak jatuh pada ucapannya, dia menatap tajam ke arah pria bertudung itu dengan pandangan tegas dan waspada.

"Sungguh, Nona! Aku hanya penasaran kenapa anda mau melakukan hal seperti ini, di Holdest kematian anak-anak miskin dan kelaparan seperti mereka itu sudah lumrah terjadi." ekspresi penasaran masih terpancar di wajahnya.

Sheila tersenyum kecut. "Aku hanya melakukan apa yang ku rasa benar. Apa yang ku buat ini hanya lah hal kecil yang memiliki dampak sementara."

Sheila merenung sejenak, wajahnya mencerminkan kepedihan dan keputusasaan yang mendalam terhadap penderitaan di sekitarnya. Setiap sudut kota Holdest tampak membawa cerita tragis yang menyayat hati. Rasanya seperti semua usaha yang dia lakukan terasa begitu kecil di tengah lautan kesulitan yang melanda.

Pria bertudung itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan ketika Sheila selesai berbicara, dia memberikan tanggapannya dengan bijaksana.

"Nona, terkadang...tindakan kecil yang tampaknya sepele bagi beberapa orang bisa menjadi anugerah besar bagi mereka yang menerima. Jangan pernah meragukan bahwa setiap tindakan baik yang Anda lakukan, meskipun kecil, memiliki dampak yang jauh lebih besar dari yang Anda bayangkan."

Kata-kata itu menerpa hati Sheila seperti sinar harapan di tengah kegelapan. Meskipun terlihat kecil, tindakan baiknya telah memberikan sedikit sinar terang bagi orang-orang yang menderita. Rasanya seperti ada semacam beban yang terangkat dari pundaknya, dan dia merasa sedikit lebih baik. Dengan hati yang terangkat oleh semangat baru, Sheila memandang sekitar dengan penuh harapan. Meskipun lingkungan di sekitarnya penuh dengan penderitaan dan keputusasaan, tetapi tetap ada sinar kecil harapan yang menyala di dalamnya.

Dia berharap dengan tulus bahwa meskipun berada dalam situasi yang sulit, mereka yang dia temui di Holdest tetap memiliki harapan. Harapan akan masa depan yang lebih baik, harapan akan kesembuhan, harapan akan keadilan, dan harapan akan kehidupan yang lebih layak.

Dengan senyuman tipis, Sheila mengangguk mengerti. "Terima kasih atas kata-kata yang menguatkan, Tuan," ucapnya. "Aku akan terus berusaha melakukan yang terbaik untuk."

Pria bertudung itu tersenyum, mengangguk menghormati. "Semoga langkah Anda selalu diberkati, Nona."

Dengan semangat yang sedikit terangkat, Sheila melanjutkan langkahnya, merasa bahwa bahkan tindakan terkecil sekalipun bisa membawa perubahan besar dalam kehidupan orang lain.

Terpopuler

Comments

Ryfca

Ryfca

Adammm🥹

2024-03-25

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!