Istana Putra Mahkota dan kekhawatiran Sheila

Sheila dan Luke tiba di Istana Putra Mahkota, di mana Luke membawa Sheila ke bangku taman yang terletak di antara rerumputan hijau yang rimbun. Suasana hangat dan indah meliputi tempat itu, menimbulkan rasa kenyamanan dan ketenangan bagi keduanya. Sheila duduk di bangku tersebut, merasakan kesegaran angin yang berdesir lembut melalui rambutnya. Dia memandang sekeliling, menikmati keindahan alam di sekitarnya, sementara Luke berdiri di depannya dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian.

"Tempat ini memang indah, bukan?" ucap Luke dengan suara yang lembut, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "Aku sering datang ke sini untuk merenung dan mencari ketenangan."

Sheila mengangguk setuju, tersenyum tipis menatap sekeliling. "Ya, benar. Tempat ini sangat menenangkan."

Luke duduk di samping Sheila, matanya memandang jauh ke arah langit yang biru cerah. "Ada sesuatu yang ingin Aku bicarakan dengan mu, Sheila," lanjutnya dengan serius. "Aku ingin membicarakan tentang pertunangan kita."

Sheila menatap Luke dengan rasa penasaran yang mendalam, menunggu dengan tegang untuk mendengar apa yang ingin diungkapkan oleh Putra Mahkota tersebut mengenai pertunangan mereka.

Luke mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara, matanya menatap Sheila dengan serius.

"Sheila," ujarnya perlahan, suaranya terdengar penuh pertimbangan, "Aku menyadari bahwa pertunangan kita adalah hal yang besar bagi kerajaan kita. Namun, aku juga sadar bahwa ini tidak boleh hanya menjadi pernikahan politik yang terjadi karena kewajiban dan tradisi semata." Sheila memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh Luke dengan cermat. "Aku ingin pertunangan kita menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban," lanjut Luke dengan tegas. "Aku ingin kita bisa membangun hubungan yang didasari oleh saling pengertian, dukungan, dan cinta yang tulus. Aku ingin kita bisa menjadi pasangan yang saling melengkapi, yang dapat saling mendukung dan membimbing satu sama lain dalam setiap langkah kehidupan kita."

"Dengan demikian," sambung Luke, "aku ingin menanyakan, apakah kamu juga ingin melihat pertunangan kita sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban politik? Apakah kamu juga ingin membangun hubungan yang kokoh dan berdasarkan pada cinta yang sejati?"

Sheila terdiam, mata memancarkan sorot yang dalam dan penuh pertimbangan. Ingatan tentang mimpi-mimpinya sebagai Gretta, di mana dia menyaksikan pertempuran terakhir antara Sheila dan Luke, membawa gelombang emosi yang kuat. Meskipun mereka saling mencintai, namun politik dan kepentingan membuat mereka terpaksa menjadi musuh, saling bertempur hingga akhirnya mati dengan tragis. Rasa penyesalan dan kesedihan memenuhi hati Sheila saat dia merenungkan konsekuensi dari kehidupan mereka di dunia ini. Dia merasa terbelenggu oleh takdir yang terus berulang, di mana cinta mereka selalu diperangkap oleh kepentingan politik dan pertempuran yang berkepanjangan. Luke menyadari keheningan yang tercipta, memahami bahwa pertanyaannya telah membangkitkan kenangan yang sulit bagi Sheila. Dia meraih tangan Sheila dengan lembut, memandanginya dengan penuh kasih sayang.

"Maafkan aku, Sheila," ujarnya dengan suara lembut. "Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan bahwa kita berdua memiliki pandangan yang sama tentang masa depan kita."

Sheila menatap Luke dengan mata yang penuh dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Dia merasakan kehangatan dari sentuhan Luke, namun juga merasakan beban yang berat dari ingatan-ingatan yang menghantuinya. Setelah beberapa saat berlalu, Sheila akhirnya menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

"Maafkan aku juga, Luke," ucapnya dengan suara lembut. "Pertanyaanmu memang sulit untuk dijawab. Namun, aku berjanji akan mempertimbangkannya dengan hati-hati."

Luke tersenyum, mengangguk sebagai tanda pengertian. Dia melepaskan genggaman tangannya dari Sheila, memberinya ruang untuk merenungkan segala hal yang telah dibicarakan, dia juga menyadari ketegangan dalam suasana, lalu dengan bijaksana dia mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.

"Emh, Sheila," katanya sambil berdehem agar suasana tidak terlalu tegang, "aku sangat kagum dengan keberhasilanmu menyelesaikan kasus Count Hastings. Pemberontakan yang mereka rencanakan pasti akan membawa dampak yang buruk bagi kekaisaran. Kamu telah menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan dalam menangani situasi itu."

Sheila merasa sedikit lega dengan perubahan topik tersebut. Dia tersenyum kecil, mengangguk mengapresiasi kata-kata Luke. "Terima kasih, Luke," ucapnya dengan suara lembut. "Aku hanya melakukan apa yang ku yakini benar untuk kebaikan Duchy Evergreen dan kekaisaran kita."

Luke tersenyum, merasa bangga atas prestasi Sheila. "Terima kasih atas dedikasimu," ujarnya dengan tulus. "Aku yakin Duchy Evergreen akan tetap aman dan makmur."

Sheila tersenyum mengikuti senyum Luke. Meskipun keraguan masih ada dalam hatinya, namun kata-kata pujian dari Luke membuatnya merasa lebih percaya diri. Mereka berdua melanjutkan percakapan tentang berbagai hal yang lebih ringan, berbagi tawa dan cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Meskipun ada ketegangan di udara, namun suasana menjadi lebih ringan dan nyaman.

Sheila merasakan semilir angin senja yang menyegarkan, dia melirik ke langit yang mulai memerah karena matahari terbenam, menandakan bahwa hari ini telah berakhir. Sheila lalu berpaling ke arah Luke, tersenyum lembut.

"Luke, terima kasih atas waktu yang kau luangkan denganku hari ini," ucapnya dengan penuh rasa terima kasih. "Aku berjanji akan bekerja sama sebaik mungkin dalam proses persiapan hingga Acara Pertunangan nanti."

Luke tersenyum, mengangguk mengapresiasi kata-kata Sheila. "Baik, Sheila," jawabnya dengan ramah. "Aku berharap acara tersebut akan berjalan lancar dan menjadi momen yang berharga bagi kedua keluarga kita."

Senyum terukir di wajah mereka, mengisyaratkan harapan dan antusiasme untuk masa depan yang akan datang.

Setelah itu, Sheila mengucapkan selamat tinggal kepada mereka berdua dan meninggalkan Istana Putra Mahkota dengan hati yang penuh harapan. Meskipun masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi, namun dia yakin bahwa dengan kerjasama dan dukungan dari semua pihak, acara pertunangannya dengan Luke akan berjalan lancar dan menjadi awal dari babak baru dalam hidupnya.

***

Sheila memasuki kamarnya dengan langkah lesu. Cahaya remang-remang dari lampu hias menyinari ruangan yang teduh. Dia melepas sepatu hak tinggi yang membuat kakinya terasa pegal dan melemparkannya ke sudut ruangan dengan ringan. Setelah itu, dia menghampiri sofa di sudut kamar dan meluru tubuhnya ke atasnya. Dengan tatapan kosong, Sheila merenungkan banyak hal yang telah terjadi hari ini. Pikirannya melayang ke pertemuan dengan Putra Mahkota Luke, obrolan di pesta teh, serta tugas-tugas yang menunggunya sebagai seorang putri duke. Namun, di balik semua itu, dia juga tak bisa mengabaikan perasaannya yang semakin rumit terhadap Luke. Dia merenungkan masa lalunya sebagai Gretta, mimpi-mimpi yang menghantuinya, dan tanggung jawab besar yang harus dia emban sebagai Sheila di dunia ini. Dan yang tidak dapat di abaikan adalah pikiran tentang kata-kata Count Hastings yang menghantui Sheila, seperti bayangan gelap yang tak bisa diusir. Dia merenungkan kata-kata itu dengan cermat, mencoba memahami maksud sebenarnya di baliknya. Siapa yang dimaksud dengan "mereka yang lebih berkuasa"? Apa peran mereka dalam kekacauan yang terjadi di kekaisaran?

Saat dia menggali lebih dalam dalam pemikirannya, Sheila merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di balik tirai kekuasaan. Mungkin ada faksi-faksi yang bergerak di balik layar, memanipulasi peristiwa demi kepentingan mereka sendiri. Namun, dia masih belum tahu siapa mereka sebenarnya, dan apa tujuan sebenarnya di balik semua ini. Dengan hati-hati, Sheila memutuskan untuk tidak terjebak dalam paranoia, namun juga tidak ingin mengabaikan peringatan yang diberikan oleh Count Hastings.

Pikiran-pikiran itu membuat Sheila semakin tertarik untuk menjelajahi lebih dalam ke dalam misteri yang menyelimuti kehidupannya di dunia ini. Apakah mungkin ada kaitan antara tragedi yang pernah dialaminya dalam mimpi dan situasi yang dia hadapi sekarang? Apakah mimpi-mimpinya itu sebenarnya merupakan gambaran dari masa lalunya di dunia ini, ataukah hanya khayalan semata?

Sheila merenungkan kemungkinan-kemungkinan itu dengan hati-hati. Dia merasa bahwa jawaban atas semua pertanyaan itu mungkin tersembunyi di dalam ingatannya yang terdalam, yang mungkin perlu dia ungkapkan dengan lebih dalam lagi. Namun, untuk melakukan itu, dia harus memahami dengan lebih baik tentang kekuatan yang ada di sekitarnya, termasuk kekuatan gelap yang mungkin memiliki peran dalam membentuk takdirnya yang tragis. Dengan tekad yang kuat, Sheila berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mundur dari pencarian kebenaran. Dia siap menghadapi masa lalunya dengan berani, meskipun itu berarti harus menghadapi kegelapan yang tersembunyi di dalam dirinya sendiri. Dia tahu bahwa hanya dengan mengungkap kebenaran tentang dirinya sendiri, dia akan dapat menemukan kedamaian yang dia cari dan memperbaiki takdirnya yang telah terkutuk.

Terpopuler

Comments

Ryfca

Ryfca

Wow… suka banget ceritanya😁😁😁👍👍👍

2024-03-25

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!