XX. A BRIEF HISTORY

Agnes melihat Jhonny duduk di sofa ruang tamu. Ia mendekatinya dan duduk bersebrangan dengannya. Jhonny yang mengetahui keberadaan Agnes mulai berbicara dengannya.

"Kau tidak lelah?" tanyanya pada Agnes. Agnes hanya diam dan tidak menjawab karena ia tau pertanyaan itu akan menuju ke ranah mana. Teman-temannya mulai berkumpul di ruang tamu.

"Aku senang kalian ada disini, maaf karena tidak menyambut kalian karena aku harus mengurus banyak hal. Beberapa dari kalian pasti sudah tahu, bahwa Bagas dulunya adalah Mafia. Sebelum ia menjadi mafia, ia hanya seorang pemuda biasa. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan ibumu, Nes," Jhonny berhenti sejenak kemudian menatap Agnes. Agnes hanya mengangkat alisnya dan Jhonny pun tersenyum.

"Dia tidak tau bahwa ibumu seorang mata-mata, tapi dia mencintanya pada pandangan pertama. Hingga suatu hari, ayahmu datang dan bertemu dengan ibumu. Awalnya ia bertemu dengan Kak Radit, ayahnya Hani. Mereka memang akrab hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti dan bergabung. Hingga akhirnya ibumu dan ayahmu saling mencintai," potongnya. Jhonny mengambil nafas sebelum mulai bercerita lagi.

"Bagas akhirnya menyatakan cintanya, tapi ibumu tak bisa menerimanya. Karena ayah Bagas merupakan seorang mafia yang dulu pernah membunuh adiknya. Entah dari hasutan mana, Bagas sangat marah saat itu dan berencana untuk balas dendam. Balas dendam ini tidak ditujukan kepada ibumu, tapi pada ayah kalian. Karena ayah kalian menangkap basah bahwa Bagas melakukan pasar gelap, menjual narkoba, dan senjata ilegal."

"Lalu, kenapa dia jadi mafia?" tanya Mingi.

"Karena ia membunuh orang yang dia cintai. Aku tidak mengerti, tapi setelah ibu Agnes dan ayah kalian terbunuh, ia menerima tawaran untuk menjadi mafia. Sebelumnya hanyalah pengedar saja, namun tetap saja ada dendam karena ayah kalian memasukkannya ke dalam penjara."

Mereka terdiam mendengar cerita Jhonny, Agnes tak berkomentar apapun karena ia tau cerita itu. Ia sangat ingat saat itu ia dan ibunya sedang bermain di taman. Ibunya mengajaknya berbicara dan berjanji bahwa ia akan menutup identitasnya sebelum waktunya tiba. Beberapa minggu kemudian terdengar kecelakaan pesawat, dan Agnes saat itu dibawa oleh Pamannya.

"Yang Bagas tau, bahwa Angel adalah putri kandung satu-satunya. Tapi ia tidak tahu bahwa Agnes juga putri bungsunya. Ibumu memintamu melakukan itu karena kau dan teman-temanmu adalah kunci Bagas."

...****************...

"Lu mau kemana?" tanya Hani pada Agnes ketika ia berjalan menuju keluar.

"Mau keluar," jawabnya. Hani hanya menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

"Gak! Udah gue bilang, lu gak boleh keluar."

"Tapi ini siang, gue kan bilangnya gue gak kemana-mana kalau pagi," ujarnya. Mereka berdebat dan membuat Shia menghela nafasnya. Ia sungguh lelah menghadapi dua orang yang gak mau kalah. Adik-adiknya hanya menonton keributan yang mereka buat.

"Gue ikut lu gimana?" tanya Dika secara tiba-tiba. Perdebatan mereka terhenti dan membuat mereka menatapnya penuh tanda tanya. Hani tetap tidak menyetujuinya karena ia takut kalau Dika kenapa-napa. Ia tahu betul Agnes seperti apa.

"Gak perlu, yang ada lu bakalan terluka parah kalau ikut," ujar Agnes memperingati.

"Ya kalau gitu lu gak usah keluar!" ujar Hani memaksa.

"Ini penting, Han. Gue harus kesana, ntar balik gue traktir lu deh," ujar Agnes setelah itu ia berjalan keluar. Dika mengikutinya dari belakang, ia masih memaksa untuk ikut dan tak peduli apa kata Agnes. Mau tak mau Agnes membiarkannya ikut dengannya, hah gue malah ngurus bocah, batin Agnes.

"NES! AGNES! Astaga, tu bocah ngeselin! Capek gue," ujar Hani.

Agnes melemparkan kunci padanya. "Lu yang nyetir," ujarnya smabil memakai helm. Dika mengangguk dan menaiki motornya dan Agnes pun naik. Dalam perjalanan Agnes hanya menunjukkan jalan padanya, tak ada percakapan selain itu. Sampailah ia di sebuah gedung dekat rel kereta api. Dika menatapnya bingung dan mengikuti Agnes masuk ke dalam.

"Kau baru sampai?" tanya seorang pria yang sedang minum kopi.

"Hanya telat beberapa menit, aku disini hanya sebentar karena membawa orang."

Pria itu menatap Dika dengan penuh selidik. Dika hanya menyengir dan menampilkan senyuman bodohnya. Pria itu mengangguk dan mengatakan bahwa mereka menunggu seseorang satu lagi untuk datang.

"Pak Andi, apakah botak yang di bar kemarin?" tanyanya.

"Sopanlah sedikit, dia lebih tua darimu."

"Aku mengatakan sesuai dengan kenyataan."

Dika hanya diam dan matanya melihat sekitar. Gedung ini memang tidak pernah dihuni karena dekat dengan rel kereta. Setiap kali mereka rapat, kereta api itu akan lewat dan membuat kebisingan. Setelah rapat selesai, mobil polisi pun tiba, dan akhirnya mereka mulai bergegas untuk berangkat.

"Mari kita selesainya para br*ngsek itu."

...----------------...

"Kalau lu kena pukul, gue gak tanggung jawab ya," ujar Agnes yang kemudian menyerang orang yang kini datang padanga dengan membawa tongkat baseball dan kayu. Jumlah mereka sangatlah banyak hingga anak buah Pak Andi tak mampu mengatasi semuanya. Pak Andi merupakan seorang detektif yang kini sedang membongkar kedok seseorang. Mereka kini berada disebuah tempat perjudian dan menggeledah tempat tersebut. Agnes menyerang anak buah pemilik tempat tersebut di lantai dua bersama dengan Dika. Sedangkan anak buah Pak Andi dan para polisi berada di lantai bawah.

"Agnes! Urus yang ini, aku akan pergi ke atas!" ujar seorang wanita yang kini menaiki anak tangga. Ia memukul, menendang, bahkan menggunakan sebuah kayu sebagai alat untuk menyerang. Ia mulai lelah dan orang-orang ini semakin lama semakin banyak. Dika juga mulai kelelahan dan lebam di tubuhnya. Mereka mengepung Agnes dan Dika.

"Hah ... dasar cupu! Kemari kalian," ujar Agnes sambil menyudutkan mereka. Mendorong mereka hingga jatuh ke lantai dasar. Lawannya mulai berkurang dan ia terengah-engah. "Fiuh, kurang satu," ujarnya kemudian menendangnya dan mematahkan lehernya.

"Hah ... hah, capek," ujar Dika sambil senderan ke tembok. Agnes menatapnya dan memejamkan matanya untuk mengatur nafasnya.

"Sudah gue bilang, lu disini makin terluka. Lihat wajah lu lebam gitu, siap-siap aja gue kena sembur Hani gara-gara lu. Udah ayo bangun! Kita makan dulu, urusan gue disini udah beres," ujar Agnes sambil mengulurkan tangannya. Dika menerima ulurannya dan mereka pergi lewat pintu belakang.

"Kita makan dimana?"

"Lu tau kedai CNT?" tanya Agnes dan Dika pun mengangguk. Agnes mengatakan bahwa mereka akan makan disana saja karena ia juga ada janji dengan seseorang. Ia menyalakan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Kak, Pak Andi gak bisa dihubungi. Urusan gue udah selesai kan? Gue balik dulu," ujar Agnes kemudian menutup teleponnya. Setelah itu mereka menuju kedai CNT. Setelah memesan makanan, Agnes melihat seseorang melambaikan tangan kearahnya. Ia pun kemudian menuju tempat seseorang.

"Udah pesen?" tanya Agnes.

"Udah, gue juga baru sampai. Dia siapa?" tanya pria itu.

"Ah! Gue, calon pacarnya Kak Agnes," ujar Dika sambil mengulurkan tangannya. Agnes hanya menatap wajahnya datar dan pria itu menerima uluran tangannya serta menatap Agnes bingung.

"Dia Dika, rekan gue. Dika, dia Bram. Temen gue."

Bram hanya mengangguk dan melihat lebam di wajah Dika. "Lu gak habis kelahi kan?" tanya Bram.

"Gue disini cuman mau traktir lu, Bram. Bukan buat nanya," ujar Agnes yang melihat Dika enggan menjawab. Makanan pun sampai dan akhirnya mereka mulai makan. Ponsel Agnes berdering dan terlihat sebuah nama bertuliskan "Angel" sedang meneleponnya.

"Apa?"

"Berapa lama lagi?"

"Sekitar seminggu lagi. Kenapa? Lu kangen sama gue?"

"Ge er lu! Dengar, genk Red juga ada disana. Mereka berkomplot sama Bagas. Dia belum tau lu siapa kan?"

"Belum. Dan lagi, mereka juga gak bakalan ngelakuin apa-apa. Percaya dah, karena rencana Si Pak Tua itu bakalan dilaksanain waktu kita berangkat nanti."

"Yaudah, jaga diri lu baik-baik. Gue nunggu lu disini, adikku tercintang."

Pip!

"Najis bener," ujarnya yang langsung mematikan ponselnya. Dika dan Bram saling bertatapan satu sama lain dan fokus kembali pada makannya.

...----------------...

"ASTAGA! LU UDAH BIKIN ANAK ORANG BABAK BELUR NES!!!!"

"Gue gak tanggung jawab. Gue udah bilang."

"Ck! Sehari saja jangan berdebat kalian."

"Lu lihat, anak orang babak belur. Bener-bener ni anak," ujar Hani yang sudah tidak tahu lagi. Ia sungguh tidak bisa memahami apa yang dilakukan Agnes, bahkan melihat Dika babak belur membuatnya semakin pusing.

"Dik, lu kenapa lebam gini wajah lu?" tanya Matteo sambil menekan bagian yang lebam.

"Sakit goblok!" ujarnya sambil memukul Matteo. Agnes berjalan memasuki kamarnya namun ditahan oleh Hani.

"Mau kemana, obatin dulu itu wajahnya. Baru lu boleh ke kamar," ujar Hani. Agnes hanya berdecih dan mengambil kotak P3K di dekat meja. Ia duduk dan mulai mengobati bagian yang lebam. Wajah Dika memerah karena Agnes terlalu dekat dengannya. Tanpa Dika sadari, Mawar menatapnya dengan penuh kecemburuan.

Rere menyadari Mawar sedang diselimuti rasa cemburu. Ia berjalan menuju Agnes dan duduk disebelahnya. Harun yang selesai dengan latihannya pun datang menuju ruang tamu dan melihat Agnes disana. Ia duduk disebelah Dika yang kini masih diobati.

"Kak."

"Hm."

"Lu habis dari mana?" tanya Harun. Harun merasa curiga dengan Agnes karena saat itu ia melihat Agnes babak belur ketika Rere sedang di rawat.

"Dari luar."

"Bukan itu, kenapa waktu itu lu babak belur waktu Rere di rumah sakit? Lu habis kelahi ya?"

"Woi, lu gak perlu kepo. Karena lu gak bakalan paham. Mending lu pijetin kaki gue," sahut Rere. Rere mengetahui apa yang Agnes lakukan karena saat itu Rere ikut dengan Agnes. Saat Agnes di umur yang ke 17 tahun.

...----------------...

"Nes, gue mau ini ya?"

"Iya pesen aja, setelah lu pesen jangan larang gue keluar ya."

"Gak janji, lagian suruh siapa lu babak belur gitu. Mendingan lu diem bae kenapa sih? Susah amat."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!