...DEMI HIDUP SANG IBU...
...Penulis : David Khanz...
Celoteh burung pagi bersenandung dengan merdu di atas dahan sebuah pohon rindang, menyambut pagi yang masih dihiasi langit kekuningan, berhiaskan gumpalan awan-awan putih.
Dikala itu, Irene baru saja selesai menyiapkan segelas teh panas untuk ibunya, Samantha, yang tengah duduk santai di beranda rumah.
"Tehnya, Bu. Mumpung masih panas," ujar Irene menaruh gelas kecil di sisi Samantha.
"Terima kasih, Nak." Samantha melempar senyum pada anak semata wayangnya. "Kamu belum kerja?"
Irene menghenyakan bokong di atas kursi rotan berlapiskan bantal busa di sebelah Samantha. "Tidak, Bu. Sudah lama resign dari tempat kerjaku."
"Kenapa?" tanya Samantha heran.
"Aku ingin fokus mengurus Ibu di sini." Irene menatap ibunya dengan lembut. "Lagipula aku sudah mendapatkan pekerjaan lain dan tak harus berada di kantor setiap hari."
"Oh, begitu ... " Samantha mengangguk pelan. "Lalu rumah ini?"
Samantha kembali tersenyum. "Tenang saja, Bu. Ini rumah kita berdua, kok. Aku beli dari hasil tabungan selama bekerja dulu. Sengaja memilih tempat yang agak terpencil dan sunyi dari lingkungan sekitar, agar Ibu bisa lebih nyaman tinggal di sini."
"Seluas ini? Dari mana kamu .... "
"Harganya gak terlalu mahal kok, Bu," tukas Irene. "Yang terpenting cocok untuk ditempati, 'kan?"
Samantha terkekeh. "Kamu ini dari dulu memang keras kepala, Nak. Setiap kali melakukan sesuatu, pasti sudah dipikir-pikir terlebih dahulu secara matang, kan? Mirip ayahmu .... "
Tiba-tiba Irene menundukan wajah ketika Samantha menyebut mendiang ayahnya, yang telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Benaknya berjalan ke belakang, tepatnya saat-saat dia menemukan sosok ayahnya terkapar bermandikan darah di lantai kamar tidur.
"Ayah! Apa yang terjadi?" teriak Irene setibanya pulang dari kantor dan menemukan tubuh ayahnya tergeletak, ditambah dengan kondisi rumah yang berantakan.
"Irene ... anakku! Aku ... aku ... " Lelaki tua itu menyeringai menahan rasa sakit akibat luka tembak di dadanya yang masih mengucurkan darah segar.
"Ada apa ini semua? Ibu mana, Yah?" jerit Irene histeris menyapu sekeliling ruangan mencari sosok Samantha. Hanya ada hiasan rumah tangga yang berserakan di lantai dan beberapa di antaranya sudah hancur berkeping-keping.
"Reno ... " ucap ayah terbata-bata dengan nafas tersengal berat.
"Ada apa dengan Reno? Dia yang melakukan ini semua kan, Yah?" Irene semakin histeris dengan gigi gemeretak mendengar satu nama yang disebut ayahnya tadi. Bagaimana tidak? Kehadiran manusia yang satu itu di dalam keluarga, benar-benar telah membawa malapetaka besar, pikir Irene.
"Dia ... dia ... " Ayah menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Irene.
"Ayah ... !!!" Lengkingan Irene memecah kesunyian malam. Tak ada yang datang menghampiri serta memberikan bantuan, karena semua penghuni rumah sama-sama telah menjadi mayat; asisten rumah tangga, tukang kebun, supir dan juga ibu.
Oh, tidak! Samantha masih bernafas, saat Irene menemukan sosok wanita tua itu di ujung lorong kamar lantai atas rumah. Dia masih hidup, mengerang kesakitan dengan luka memar di sekujur tubuh.
Tanpa banyak bicara, Irene segera melarikan Samantha ke rumah sakit terdekat. Nyawanya masih tertolong walaupun dengan kondisi yang memperihatinkan.
"Kondisi Ibu Anda dalam keadaan koma. Beliau sedang menjalani masa-masa kritis. Berdoa saja semoga bisa cepat sadar dan pulih kembali seperti sediakala ya, Bu," demikian penjelasan dokter di hari kedua Samantha, Ibu Irene, di rawat di rumah sakit.
"Apakah ada peluang untuk bisa hidup lebih lama, Dok?" tanya Irene gundah.
Dokter tersenyum pahit. "Urusan nyawa, itu sudah ada ada yang mengaturnya, Bu. Kami hanya bisa berusaha."
Di tengah keputusasaan Irene menunggu hasil penyelidikan pihak kepolisian dengan keterlibatan Reno atas pembantaian keluarganya, kondisi Samantha semakin memburuk. Irene tak tahu apa yang harus dilakukan. Dia tak ingin kehilangan kembali salah satu orang yang selama ini sangat dikasihinya. Terlebih lagi adalah seorang ibu.
Dibekali keinginan kuat untuk mempertahankan hidup sang ibu, Irene nekat pergi ke sebuah tempat yang diyakini bisa menolongnya keluar dari permasalahan tersebut. Tak jelas di mana dan apa yang dilakukannya, yang pasti dia tak seorang pun yang tahu, terkecuali dirinya sendiri,
Setelah beberapa lama pergi, selanjutnya Irene meminta Reno bertemu secara empat mata. Gayung pun bersambut, laki-laki itu memenuhi permohonannya.
"Kamu tak perlu bertanya untuk apa aku memintamu datang ke sini, Reno. Tapi yang harus kamu ketahui, aku meyakini bahwa kamu memang terlibat dalam pembantaian keluargaku, kan?" Tatap Irene tajam menusuk penuh amarah yang tertahan.
Laki-laki itu tersenyum sinis. " ... bahkan polisi saja tidak mampu membuktikan seperti apa yang kamu tuduhkan itu, Irene! Malah bicara yang tidak-tidak! Huh! Sekarang ... langsung saja pada pokok tujuanmu, memintaku datang ke sini. Apa maumu?"
Sorot mata Irene semakin tajam. "Jangan lupakan siapa dirimu yang sebenarnya, Reno! Kamu itu hanyalah seorang manusia sampah yang dipungut dari jalanan atas belas kasih kedua orangtuaku! Ingat itu! Kalau saja dulu, kamu dibiarkan mati di luaran sana, tentunya ayahku masih hidup hingga saat ini!"
"Cukuplah, Irene! Sekarang kamu mau apa?" Reno menutup kedua telinganya.
"Ingat, Reno! Secara hukum, kamu sama sekali tidak berhak atas semua warisan dari keluargaku. Karena alasan itu pula, kamu tega menghabisi orang-orang yang selama ini merawat dan membesarkanmu, Reno!" Suara Irene semakin keras dan hampir saja cakarnya menghujami wajah lelaki itu dengan ganas.
"Asal kamu tahu, aku sudah berpesan pada pengacaraku, kalau dalam tempo satu jam aku tak keluar dari tempat ini, maka satu-satunya orang yang akan diburu kepolisian adalah kamu, Irene!" ancam Reno sambil tertawa menyebalkan.
Irene masih menatapnya dingin. “Pengecut jahanam!”
“Apa pun katamu, aku tak peduli!”
"Baik, aku tidak akan menghalangi rencanamu untuk menguasai semua harta peninggalan Ayah. Silakan ambil dan aku tidak peduli itu semua! Tapi Reno ... kamu harus ingat bahwa karma sedang mengintai hidupmu. Sebagai salam perpisahan, aku ingin mengucapkan selamat untukmu!" Irene menyodorkan tangannya mengajak Reno bersalaman.
Laki-laki itu tersenyum sinis dan masih tak percaya dengan ucapan Irene barusan. "Semudah itu kamu melepaskan warisan keluargamu? Aku tak percaya!"
"Sudahlah, Reno! Saat ini aku tengah fokus merawat Ibu yang sudah kamu buat tak berdaya. Aku punya tabungan uang sendiri, itu lebih dari cukup untuk pergi serta menjauh dari mukamu yang busuk itu!" Irene masih menyodorkan tangannya.
Agak ragu akhir Reno menerima ajakan Irene untuk bersalaman dan ....
"Aw!" jerit Reno spontan melepaskan tangannya sambil meringis kesakitan. "Kamu sengaja melukai aku?"
Irene terkejut seraya memperhatikan jarinya yang terselip sebuah cincin. "Uh, sorry! Aku lupa melepaskan cincin keparat ini."
Reno memperhatikan telapak tangannya yang berdarah.
"Pake ini ... " ujar Irene seraya menyerahkan selembar tisu.
Reno menerimanya dengan kasar. "Semoga benar apa yang kamu bilang tadi, ini adalah pertemuan kita yang terakhir."
"Ya, aku berjanji. Setelah ini, kamu tidak akan melihatku lagi. Kamu bebas menikmati semua harta yang telah kamu rampok itu, Reno!"
Reno melemparkan tisu bekas membersihkan darah yang mengotori lengannya ke lantai. Kemudian dia melangkah meninggalkan sosok Irene yang berdiri mematung dengan tatapan dingin. Mata perempuan tersenyum penuh arti seraya memungut tisu berdarah bekas Reno tadi.
Selang beberapa hari setelah pertemuan itu, Reno dikabarkan tewas mengenaskan di dalam rumah yang dulu pernah dimiliki oleh keluarga Irene. Tak ada yang mengetahui penyebab kematiannya, kecuali diagnosa serangan jantung. Bersamaan dengan itu pula, kesehatan Samantha berangsur-angsur pulih, hingga bugar kembali seperti sedia kala. Bahkan selepas dirawat di rumah sakit tersebut, wajah Samantha tampak lebih muda dari usia sebenarnya.
Sesuai dengan janji Irene sebelumnya, perempuan itu membawa ibunya pindah tempat tinggal. Mereka menempati sebuah villa besar berlahan luas serta jauh dari pemukiman warga sekitar. Alasannya agar Samantha bisa melupakan trauma hidup yang pernah dialami dulu, terkait perampokan yang menewaskan ayah Irene.
Mengurus sang ibu seorang diri, bukan hal yang mudah. Apalagi dengan kesibukan pekerjaan freelance Irene di rumah. Beberapa kali berganti asisten rumah, sesering itu pula sosok-sosok mereka tak pernah bertahan lama. Bahkan ....
"Irene ... " Suara Samantha mengejutkan Irene.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Irene dengan nafas tersengal. Wajah Samantha terlihat pucat dan tubuh bergetar. "Ibu merasa kedinginan, Nak."
"Ya, Tuhan!" Irene lekas memburu tubuh Samantha dan mengangkat perlahan sambil menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ibu istirahat saja di kamar. Aku mau beli obat dulu ke kota."
"Obat untuk apa, Nak? Bukankah yang sebelumnya masih banyak tersisa dan tak satu pun yang Ibu minum .... "
"Sudahlah, Ibu tunggu saja di sini sampai aku kembali ya? Jangan kemana-mana." Perlahan Irene mendudukan Samantha di atas tempat tidur.
“Irene .... “
"Jangan ke mana-mana. Ingat itu ya, Bu!" Irene bergegas meninggalkan Samantha yang terbaring di atas kasur dan menutup pintu kamar rapat-rapat.
Tergesa-gesa, Irene memburu kunci kendaraan yang tergeletak di atas nakas. Bagai kesetanan, dia memacu sedemikian rupa hingga deru mobilnya terdengar hanya sekilat.
"Apa yang anakku lakukan? Setiap kali aku sakit seperti ini, dia pasti keluar rumah dan kembali dengan seseorang yang tak kukenal. Setelah itu .... " Samantha berusaha bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah limbung ke luar kamar. "Untunglah, kali ini dia lupa mengunci pintu kamar ini."
Wanita tua itu berjalan perlahan tak tentu arah dengan pandangan matanya yang mulai mengabur. Berbekal rabaan pada tepian dinding kayu rumah, dia terus berjalan dan berjalan. Sampai kemudian netranya sudah benar-benar gelap tak dapat melihat setitik cahaya pun, diiringi dengan semakin melemahnya tenaga untuk menggerakan kaki. Samantha jatuh terhuyung ke samping, menubruk sebuah pintu kayu hingga jebol dan terbuka lebar. Tak lama setelahnya, tiba-tiba tercium seperti ada aroma busuk dari hembusan ruangan di balik pintu sebuah ruangan yang gelap.
"Di mana ini? Sepertinya aku tak pernah memasuki ruangan ini? Ataukah ini kamar yang selalu dikunci oleh anakku selama ini?" Samantha beringsut lebih dalam dengan sisa tenaga yang ada, sambil mengendus asal bau tersebut datang.
Jemari tuanya menyentuh sebuah kotak panjang berbahan kayu. Lalu merabanya dari ujung bawah hingga atas kotak, yang memiliki tinggi tak lebih dari satu meter serta bagian atas yang sedikit mengerucut. Bertumpu pegangan pada bagian atas kotak, Samantha berusaha berdiri dengan tubuh gemetar. Ketika bagian atasnya terdorong secara tak sengaja, bau busuk itu menyeruak semakin kuat. Samantha sampai terdorong ke belakang sambil menutup hidung. Rasa mual seketika menyeruak mendorong seisi lambung. Di tengah rasa pusing yang melanda kepekatan penglihatan, samar-sama Samantha seperti mendengar suara-suara tangis di sekelilingnya.
"Siapa itu? Siapa yang menangis? Irene? Apakah kamu sudah kembali, Nak?" Samantha meraba-raba sekeliling dengan sebelah tangan, karena yang satunya dia gunakan untuk menutup hidung.
Tak ada jawaban, namun suara-suara itu semakin jelas terdengar.
"Kembalikan hidupku! Aku ingin hidup!" suara-suara itu tak hanya satu, tapi banyak dan berkata dengan kalimat senada.
"Siapa kalian?!" teriak Samantha mulai ketakutan. Tangisan itu semakin keras memenuhi ruang gendang telinga Samantha.
Wanita tua itu semakin histeris. "Irene! Di mana kamu, Nak?"
"Kembalikan hidupku! Aku ingin hidup!"
"Irene .... "
"Aku ingin hidupku!"
"Irene! Tolong Ibu, Nak! Tolong!"
Tubuh Samantha semakin melemah, lalu ambruk ke lantai dengan keras.
Berbarengan dengan itu Irene datang dan melihat ibunya tergeletak di dalam kamar yang selama ini dia rahasiakan.
"Ibu ... !!!" teriak Irene memburu tubuh Samantha. "Ibu! Bangunlah, Bu! Hiduplah kembali! Aku sudah membawa seorang manusia yang akan mengganti nyawa Ibu dengannya!"
"Ya, Tuhan! Tidak! Aku tidak mau!" satu suara berteriak dari arah ruangan lain begitu melihat Irene tengah menangisi tubuh Samantha yang sudah berubah semakin menua dan bernyawa.
Irene menoleh ke arah sosok yang berteriak tadi. "Mbak, tunggu! Mbak!"
“Tidak! Anda tadi menjanjikan pekerjaan untuk saya. Tapi tidak untuk menukar nyawa saya dengan mayat ibu Anda!” teriak sosok tadi langsung berlari ketakutan ke luar rumah.
“Mbak, tunggu! Mbak!”
Dia tak menggubris panggilan Irene, namun terus berlari menjauh.
"Sial! Semua sudah terlambat!" raung Irene sambil memeluk tubuh Samantha yang berubah seperti sosok jerangkong. "Ibuuuu .... !!!"
...SELESAI...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments