Penghuni Lama Rumah Kontrakan

...PENGHUNI LAMA RUMAH KONTRAKAN TUA...

...Penulis : David Khanz...

Suara-suara itu meretas mimpiku. Seperti derap langkah kaki disertai entakan pada permukaan lantai yang dihantam benda-benda berat, terkadang berupa jeritan menyakitkan antara suatu sudut padat beradu seret di sepanjang jalan. Sejenak aku masih diam memaku, memokus diri pada suara gaduh di atas sana.

‘Siapa mereka? Penghuni barukah?’ Hati ini bertanya-tanya. Penasaran, tapi enggan untuk segera mencari tahu. ‘Hhmm, kuharap memang begitu. Baguslah ... setidaknya sebagai .... ‘

KREEEKKK!

‘Ah, sial! Siapa yang menyeret-nyeret benda menyakitkan itu ke mari mendekatiku? Aarrgghh!’

Sebentar kemudian menggaung suara tawa renyah memenuhi ruangan yang masih kosong, lembab, dan temaram. Disusul tanya suara seorang perempuan di antara ayunan langkah, “Kakak dan Adek mau milih kamar yang ini?”

“Iya, Umi. Kakak mau kamar ini saja. Cocok buat tilawah,” jawab salah seorang dari dua bocah yang mungkin perempuan itu maksud. “Kamar yang ini lebih tenang daripada yang di depan, Umi. Jadi Adik sama Kakak bisa lebih fokus kalo lagi muroja’ahan,” tambah satunya lagi menimpali.

‘Uuhhh ... siapa mereka? Bahasanya aneh sekali,’ gerutuku seraya berusaha bangkit dari golek lama yang melenakan ini. Namun, semakin kuat kutekan lengan ini diiringi lengkungan tulang punggung mengangkat bagian perut, hanya lenguh lemah tanpa daya yang ada. Beberapa kali dicoba, hasilnya tetap sama. ‘Ah, sialan! Masih tetap harus menunggu hingga raga ini pulih dan utuh seperti sediakala. Huh! Tidak biasakah aku terbangun tanpa harus melewati jelang petang hari? Benar-benar aku benci dengan matahari di luar sana itu!’

Memang, sekian lama tertidur dalam benaman selimut merah bersulam tatanan keramik putih, tidak terhitung sudah berapa jiwa manusia yang terpaksa menyumbang nyawa untuk kebangkitanku. Belum pula di saat permukaan kediamanku di atas cuma sebatas hamparan rumput ilalang serta hunian para binatang melata lainnya. Mungkin mereka akan menjadi penghuni terakhir tempat ini, membantuku hidup kembali seperti dulu. Melalui berbagai permasalahan pelik di antara mereka, melalui celah nafsu amarah dan ketidaksabaran. Kemudian menimbulkan keraguan dalam hati, serta senjata pamungkas yang diharapkan adalah pertumpahan darah. Di saat-saat itulah kubisikan ketakutan, kepanikan, menutup ruang logika, serta menuntun para pelaku manusia durjana itu untuk berbuat lalim. Menimbun raga mati tersebut, tepat di sebelah ruang gelapku. Dengan cara seperti itulah, keinginan ini untuk bisa hidup lagi, suatu waktu, dapat terwujud kembali ....

“Kakak, ajak adikmu cepetan ambil air wudu, Nak. Sebentar lagi waktu Asar. Salat berjamaah sama Umi .... ” seru satu suara kembali membangunkan lelapku. ‘Sialan! Suara dia lagi! Tidak bisakah aku tenang barang sebentar saja? Ini sudah yang kedua kalinya semenjak mereka datang! Aarrgghhh!’ rutukku geram menahan amarah.

“Iya, Umi,” jawab salah seorang dari anak yang kuketahui hanya berjumlah dua orang. “Adek, ayo ... kita salat berjamaah!”

“Iya, Kak.”

‘Salat? Ah, apa pula itu? Tapi rasanya aku pernah mendengar? Sejak kapan, ya? O, iya ... tiga jam lalu, dari mereka juga. Tapi belum tahu seperti apa. Hanya berupa bisik-bisik tidak menyenangkan terdengar olehku .... ’

Ya, kekuatanku belum sepenuhnya bisa terwujud. Menjelma menjadi apa pun yang kumau. Seperti mereka, para penghuni baru itu, misalkan. Bukan hal mudah tentunya, berhubung baru kali ini menemukan makhluk-makhluk sok suci yang senantiasa melafalkan kalimat-kalimat dan nama paling kubenci. Tuhannya.

Setiba waktu yang dinanti, barulah aku mampu bangkit dalam bentuk maya. Meninggalkan sisi jasadku yang masih belum berbentuk rupa. Tertimbun di bawah lapisan keramik dalam sana. Mengintip kehidupan mereka, serta menantikan celah yang tepat agar bisa segera menebar goda. Namun, sejauh itu masih terlalu dini untuk disimpulkan. Berhubung bibir-bibir para penghuni baru sialan itu, lagi-lagi menghiasinya dengan kalam-kalam tak kuharapkan.

‘Panas! Panas! Panas!’ jeritku sambil berusaha menjauh. ‘Berhentilah kalian mengucapkan kalimat-kalimat itu, Manusia!’

Tentu saja mereka sama sekali tidak mendengar atau bahkan berkenan menuruti keinginanku. Tetap saja lantunan itu terus menggema mengisi setiap detik waktu yang sangat diharapkan sejak tadi.

“Teruslah muraja’ah sampai menjelang datang waktu Isya nanti, ya, Anak-anak,” ujar seseorang yang baru kukenali sebagai sosok ibu dari dua anak perempuan berhijab tersebut. “Abi kalian masih di Mesjid. Nanti seusai salat, kita makan sama-sama di rumah.”

Abi? Masih ada satu lagi manusia yang belum kulihat rupanya, dan itu sangat ingin segera terlaksana. Secepatnyalah datang, lalu menghentikan semua kegiatan tiga perempuan tersebut agar tubuh ini lekas dingin seperti sedia kala.

Betul, sebagaimana yang telah diduga, begitu sesosok laki-laki berjanggut lebat masuk ke rumah, saat itulah aku mulai leluasa mendekati kembali mereka.

“Assalamu’alaikum ....”

“Wa’alaikumussalaam.”

‘Huh! Tidak perlu kalian berbasa-basi dengan kalimat-kalimat seperti itulah. Bukankah kalian sudah saling mengenal satu sama lain?’ gerutuku begitu hadir mengintip mereka berempat, lalu saling bersalaman serta mencium tangan si lelaki berjanggut tadi. ‘Mirip tampilan leluhurku .... ‘

“Abi mau makan? Anak-anak sudah menunggu dari tadi.”

Bagus! Kini saatnya akupun ikut bergabung dengan mereka. Menikmati semua hidangan yang tersaji, lantas memuntahkan sisanya ke atas piring-piring mereka. Hahaha. Dengan cara seperti itu, kelak rayu dan goda ini akan masuk ke dalam hati manusia, memudahkan racun-racun amarah menguasai kehidupan para insani.

“Jangan lupa, sebelum makan, kita berdoa dulu,” ucap si janggut lebat itu seraya menengadahkan tangan.

“Bismillahirrahmaanirrahiim, Allahumma bariklanaa .... “

‘Oh, tidak! Jangan lafalkan kalimat-kalimat itu! Aku jadi tidak bisa ikut makan bersama kalian! Tidak ... tidak ... tidaakkk!’

Sialan! Benar-benar hari yang nahas kali ini. Setelah sekian lama tidak menemukan secuil pun makanan, sekarang aku malah benar-benar tidak bisa ikut menikmati hidangan mereka. Dasar manusia-manusia pelit! Entahlah, setiap kali mencoba mendekati dan meraih sajian-sajian itu, rasanya mendadak seperti berubah menjadi bara panas yang siap meluluhlantakkan sekujur raga ini. Tidak sekali maupun dua kali, bahkan setiap saat mereka hendak bersantap. Kurang ajar!

Kabar kurang menyenangkan itu pun semakin bertambah, alih-alih ingin segera menuntaskan syarat terakhirku agar bisa mewujudkan raga, tidak satu pun hal yang mampu dilakukan. Menyelipkan ketakutan, maupun mencoba menampakkan diri dalam bentuk menyeramkan. Kekuatanku benar-benar hilang. Beda sekali dengan para penghuni terdahulu ....

“Bi, Umi dengar dari sebagian tetangga di sekitar sini, kata mereka rumah kontrakan yang kita tempati ini menyeramkan,” kata sosok si perempuan pada laki-laki berjenggot suatu ketika. “Sering ada penampakkan, gangguan jin, bahkan pernah beberapa kali para penghuninya hilang tak tentu rimba.”

“Menurut Umi sendiri bagaimana?” tanya si Janggut lebat.

Dengan wajah tenang, perempuan itu tersenyum. “Ya, emang ... kadang Umi juga ngerasa mendadak suka merinding sendiri. Tapi itu semua Umi hadapi dengan tenang dan lanjut berzikir, karena yakin Yang Mahakuasa akan melindungi kalau kita selalu ingat pada-Nya.”

“Itulah makanya, ketika akan memulai sebuah aktivitas, kita dianjurkan untuk selalu berdoa,” jawab si pihak lelaki. “Bahkan saat hendak tidur sekalipun, di samping menghiasai hati dan pikiran dengan kalimat-kalimat suci, juga sucikanlah tubuh kita ini dengan wudu. Insyaa Allah, kita akan dilindungi selama masa istirahat malam dari gangguan makhluk-makhluk yang berusaha berbuat zalim. Anak-anak sudah diajari begitu ‘kan, Umi?”

“Tentu, Abi. Malah ... kata beberapa tetangga juga, justru di kamar anak-anaklah sumber terbesar gangguan yang kerap dirasakan para penghuni kontrakan terdahulu.”

“Sudahlah, jangan terlalu banyak mendengarkan kata orang lain. Lebih baik sekarang kita fokus saja dengan kehidupan kita sendiri,” kata si lelaki berjanggut menengahi. “Kita syukuri saja, Alhamdulillah ... sekarang kita mendapatkan rumah kontrakan yang sangat terjangkau. Abi dengar, sih, rumah ini juga akan dijual murah oleh pemiliknya, Umi.”

“Masa, Bi?”

“Iya. Mudah-mudahan dengan sisa uang tabungan kita selama ini, bisa segera memiliki rumah ini, ya, Mi?”

“Aamiin yaa rabbal’aalamiin, Abi. Tapi tidak khawatir dengan kabar-kabar tentang--“

“Abi lebih takut Umi dan anak-anak makan dari hasil nafkah yang tidak halal, Umi. Untuk hal semacam itu, manusia lebih mulia derajatnya dibandingkan makhluk lain. Jadi, tidak ada alasan untuk takut, ‘kan? Ingat, kita punya Allah.”

Oh, tidak! Bahkan kini mereka berencana akan merebut tempat tinggalku selama beratus-ratus tahun lalu ini? Tidak! Jangan sampai itu terjadi. Aku akan tetap berusaha mengusir mereka. Tidak sudi harus terusir dari kediaman sendiri. Apalagi dengan meninggalkan jasad yang sudah nyaris sempurna dan tinggal menunggu beberapa jiwa lagi ....

Mungkin bisa dimulai dari kedua anak-anak itu. Jiwa mereka masih polos dan kerap masih harus selalu diingatkan. Artinya celah kekhilafan jauh lebih besar terbuka daripada orangtua mereka.

Baiklah, tunggu saja. Siapa yang bisa bertahan paling lama di sini. Aku atau mereka? Tidak peduli walaupun harus raga ini yang akan menjadi musnah selamanya.

...WASSALAAM...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!