“Benarkah alasannya sekonyol itu? Sepertinya tidak juga. Bukankah setelah mengetahui latar belakang ceritanya, kita bisa menarik kesimpulan berbeda?”
...~•~...
Chūnibyō. Beberapa orang menerjemahkannya sebagai sindrom kelas delapan. Pada usia itu, remaja memiliki daya imajinasi yang kuat. Terkadang mereka berimajinasi menjadi karakter dari sebuah cerita fiksi.
Lora mengalami sindrom itu sekarang. Ia percaya sihir dan kutukan itu nyata. Ia yakin dirinya telah dikutuk dengan keabadian. Dia membenci kehidupan yang memenjarakannya. Karena itu dia sering mencoba bunuh diri, menentang kutukan itu.
Mulut Tama menganga mendengar penjelasan itu. Apakah itu memungkinkan? Mencelakai diri sendiri karena imajinasi yang terlalu liar.
“Sebelumnya tidak separah itu,” jelas Ibu Lora. “Dulu, dia membicarakan sihir dan semacamnya hanya untuk menyemangati sahabatnya yang sakit parah.”
Ibu Lora berusaha menelan kesedihannya. “Menurut psikolog, dia menjadi seperti itu karena tidak bisa berbuat apa-apa saat sahabatnya meninggal,” lanjutnya.
Lora sudah kehilangan Ayahnya sejak lama. Selama masa-masa sedih itu, sahabatnya yang selalu mendukung dia. Mengembalikan semangatnya. Sejak sahabatnya masuk rumah sakit, dia sering menangis sendirian, tapi selalu kembali ke rumah sakit dengan senyum merekah."
“Lora tidak menjatuhkan sebutir air mata pun di hari pemakamannya,” lanjut Ibu Lora. “Mungkin terlalu menyakitkan, sehingga tidak ada air mata yang keluar.”
Tama menggenggam erat tangan Ibu Lora. “Pasti kamu sangat mengkhawatirkan putrimu. Kami akan berusaha sebaik mungkin membantunya.”
“Aku tidak membutuhkan kalimat hiburan, dia lebih membutuhkan itu. Dia menekan kesedihannya. Untuk siapa?” Ibu Lora memijat dahinya. “Putriku yang malang. Aku membawanya ke sini agar ia lebih bersosialisasi.”
“Aku tidak akan menjanjikan apa pun,” ungkap Victor. “Jangan berharap banyak dari kami. Kamu sudah membawanya ke psikolog. Aku rasa, itu lebih berguna.”
Ibu Lora kurang puas dengan jawaban itu. Bukankah seharusnya Victor menghiburnya? Dia memang bilang tidak membutuhkan itu, tapi tetap saja. Dia sangat ingin Victor berjanji, agar ia bisa sedikit lebih lega.
Victor tidak ingin mendengar apa pun lagi, jadi ia memutuskan untuk meninggalkan Ibu Lora bersama Tama. Di luar, terlihat Elayne sedang bersedekap.
Elayne meletakkan telunjuknya di depan bibir. “Menguping sedikit tidak apa, kan?” bisiknya sambil tersenyum usil. “Aku hanya sedikit penasaran dengan beberapa hal.”
“Terserah.” Victor melewati Elayne, lalu berjalan menuju ruangannya. “Aku rasa, ibunya bahkan tidak berniat merahasiakan kondisi putrinya.”
“Apa menurutmu aku penasaran akan Lora?” Elayne terkekeh geli. “Polos sekali. Asal kamu tahu saja, aku bukan tipe yang gampang penasaran dengan kehidupan orang lain.”
Victor melirik Elayne dari atas sampai bawah. Ia tahu betul bahwa gadis di depannya ini adalah orang kedua yang membuat janji dengannya setelah Ibu Lora. Dan tentu, keluhannya adalah dia ingin bunuh diri.
“Aku dengar, kamu menghubungi sosial media yayasan dan hanya mengatakan bahwa kamu ingin bunuh diri. Kamu tidak mau menceritakan apa pun, kecuali padaku.” Victor menjeda dengan sengaja. “Kamu penasaran tentang aku?”
“Bagaimana menurutmu?” Elayne tersenyum penuh makna.
“Sejujurnya, mendengar laporan tentangmu juga membuatku penasaran. Ditambah caramu menangani Lora. Mau bergabung dengan yayasan kami?” tawar Victor.
“Menyuruh seseorang yang ingin mati untuk bekerja, kamu ini sungguh kejam. Bagaimana bisa orang-orang menganggapmu penyelamat?” ejek Elayne.
Victor sendiri juga geli dengan anggapan itu. Dia ingin tertawa, tapi tidak jadi. Melihat Vero sedang memeriksa mejanya tanpa izin membuat rasa penasaran lebih menguasainya. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya.
“Mencari pisau,” jawab Vero acuh tak acuh. “Atau gunting juga tidak masalah.”
Melihat Vero tetap sibuk mengeluar-masukkan isi lemarinya membuat Victor kesal. Ia menarik remaja itu menjauh. “Berhenti mengacau. Kamu kira aku menyimpan benda seperti itu di sini?”
“Jadi dimana kamu menyimpannya? Pinjam sebentar.” Vero menunjuk Lora yang sedang duduk manis di sofa. “Gadis aneh itu terus mengoceh tentang kutukan. Dia juga tidak percaya dengan takdir kucing belang tigaku. Jadi kami mau membuktikan diri kami tidak mudah terbunuh.”
Maksudnya mau mencoba bunuh diri bersama? Victor tidak habis pikir dengan ide gila itu. Ah, tapi dirinya sendiri pernah mengajukan saran yang sama pada Ray. Ehem, bagaimana pun, Vero harus diberi pelajaran. Satu sentilan di dahi sepertinya cukup.
“Apaan sih!” pekik Vero.
“Kamu mengatai dia aneh, tidak pernah bercermin, ya? Setiap hari menyebut diri sendiri sebagai kucing belang tiga. Apa bedanya dengan gadis itu?” Victor mendengus. “Jangan mengotori ruanganku.”
“Siapa bilang aku mengotori ruanganmu? Dan apa maksudnya tidak bercermin?” sengit Vero. “Kamu menganggap aku aneh?”
“Hei,” panggil Elayne. Ia duduk di sebelah Lora. “Bukankah sudah kubilang, menentang dewa kematian akan membuat kutukannya sulit dihilangkan?”
“Aku tidak pernah setuju dengan idemu,” bantah Lora.
Entah bagaimana, ruangan kecil itu seketika dipenuhi oleh suara perdebatan. Dua orang dewasa melawan dua orang remaja. Dan bagian paling menggelikan adalah yang mereka perdebatkan sama sekali tidak penting.
Mereka seolah lupa dengan alasan mereka berada di sana hari ini. Jika bukan karena kedatangan Tama dan Ibu Lora, mungkin mereka tidak akan berhenti.
“Lihat saja, kamu akan menunduk kagum padaku suatu hari nanti!” Vero membuang wajahnya, setengah berlari meninggalkan yayasan.
Di lain sisi, Lora mengunci rapat bibirnya. Tidak ada yang ingin dikatakannya. Dia perlu waktu untuk mencerna semua kejadian yang dialaminya hari ini. Apa dia sungguh tidak boleh mencoba bunuh diri lagi?
Elayne menghela nafas panjang. “Sekarang, apa yang akan kita lakukan?”
“Kita?” ulang Tama. “Maaf?”
“Maksudku, aku dan Victor.” Elayne menggandeng tangan Victor. “Aku dengar, tuan penyelamat ini suka jalan-jalan. Mau jalan bersama?”
“Pasti ada kesalahpahaman di sini.” Tama menarik paksa tangan Elayne dari Victor.
“Tidak. Aku sudah membuat janji kencan bersama Victor. Jika tidak percaya, silakan tanya pada Bu Ginette.” Elayne tersenyum bangga.
“Aku tidak peduli apa yang dikatakan Ginette, tapi aku tidak akan kencan dengan orang asing. Maaf saja.”
“Elayne. 27 tahun. Virgo. Pelukis. 53 kg. 162 cm. Makanan favoritku cookies. Aku suka minum soda. Aku benci hewan melata. Aku menyukai warna abu-abu,” ucap Elayne. “Kamu sudah tahu banyak hal tentang aku, artinya sekarang aku bukan lagi orang asing.”
Victor melipat tangannya di depan dada. “Apa aku terlihat tertarik pada semua itu?”
Elayne tersenyum geli. Tentu saja dia mengerti maksud Victor. Dia hanya ingin bermain-main dan sedikit menguji pria di depannya ini. Baiklah. Saatnya serius.
Elayne melepaskan syal di lehernya. Kemudian sarung tangan. Sweater. Oh, kenapa dia memakai kemeja di dalam sweater? Tidak, yang lebih penting, kenapa dia juga membuat kancing kemejanya?
“Kamu mau apa?” Tama berusaha menahan pergerakan Elayne.
Elayne tidak menanggapi, terus melucuti pakaiannya sendiri sambil menatap lurus pada Victor. Tama ikut melihat ke arah pria itu, menemukan senyum miring yang aneh di wajahnya.
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments