Author note : Ini adalah chapter kemarin yang aku upload ulang karena ada satu chapter yang terlewat. Silakan balik ke chapter sebelumnya untuk baca bagian yang terlewat:)
***
“Jika aku ingin bunuh diri, apa pun yang terjadi, aku akan tetap bisa melakukannya. Apa gunanya membawa Jagdkommando bersamamu?”
...~•~...
Tempat yang Victor sebut persembunyian itu sepi. Namun, terlihat indah dan menenangkan. Udara dingin yang dibawa angin laut seolah memperdaya, membuat Tama ingin melangkah mendekat.
“Hati-hati, tebing di sini tinggi.” Victor menahan lengan Tama, menariknya duduk di rumpun pohon terdekat. “Lihat dari sini saja.”
“Bagaimana kamu menemukan tempat romantis ini?” Tama menyenderkan kepalanya pada bahu Victor.
“Takdir, mungkin. Kepalamu berat, sana,” dengus Victor. “Aku rasa, melihat ini akan membuatmu lebih baik. Bagaimana sekarang?”
“Melihatmu ada di sini membuatku merasa tenang,” gumam Tama. Ia memeluk lengan Victor dengan kepala yang masih bersender. “Sangat nyaman.”
“Kamu menyukaiku?” tanya Victor pelan. “Seberapa besar? Apakah cukup besar untuk disebut cinta?”
“Kamu mulai menyukaiku?” Tama menegakkan tubuhnya dan menunjukkan antusiasme yang luar biasa.
“Tidak. Tidak akan pernah,” jawab Victor datar.
“Nanti jangan menyesal, ya. Hati-hati menjilat ludah sendiri.” Tama kembali ke posisi nyamannya di sebelah Victor. “Aku mencintaimu, tapi kalau kamu sedingin itu, mungkin suatu hari nanti aku akan membencimu.”
“Kenapa nanti? Benci aku sekarang,” perintah Victor. “Bukankah aku sudah menyakitimu?”
“Orang macam apa yang bisa mengendalikan perasaannya sendiri?”
“Banyak, kamu hanya tidak tahu.” Victor diam sejenak. “Jangan jatuh cinta padaku.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tampan-“
“Bagiku, kamu pria paling tampan di muka bumi,” potong Tama.
“Aku bukan orang yang baik-“
“Kamu menyelamatkan banyak orang, apa itu perbuatan jahat?” potong Tama lagi.
“Aku tidak kaya, jauh berbeda dengan orang tuamu.” Victor menutup mulut Tama dengan telapak tangannya, sebelum gadis itu kembali memotong pembicaraan. “Dengarkan saja sampai selesai.”
“Kenapa pakai tangan kiri, sih.” Tama menyeka bibirnya. “Lagian, aku tidak peduli tentang uang.”
“Apa hebatnya aku? Aku tidak memiliki kelebihan apa pun,” lanjut Victor. “Di luar sana, ada banyak pria hebat yang bisa kamu jadikan pasangan. Jangan aku, aku mengatakan ini untuk kebaikanmu. Jangan mencintai pria yang tidak akan pernah membalas perasaanmu.”
“Kamu terlalu rendah hati, aku bisa melihat banyak kelebihan kamu,” tegas Tama. “Dan akan aku buat kamu menyukaiku.”
“Apa susahnya menyerah? Aku akan mati sebelum kamu menyadarinya. Jangan membuang waktumu,” bentak Victor.
Benar. Segala hal yang dilakukan dan dikatakan Victor selalu menyakiti Tama. Seperti detik ini. Pria itu lagi-lagi membuat dada Tama terasa nyeri. Sakit hati.
Victor menurunkan nada suaranya dan berkata, “Hanya masalah waktu sebelum aku bunuh diri. Meski kamu membuang Jagdkommando, kamu tidak akan bisa menghilangkan keinginanku untuk bunuh diri. Aku masih bisa melakukannya dengan cara lain.”
“Aku tidak ingin dengar,” gumam Tama.
“Gantung diri, memotong urat nadi, racun, juga pistol milik Joe.” Victor menatap Tama dengan saksama. “Dan tempat ini adalah yang paling sering kupikirkan. Mati sendirian tanpa diketahui siapa pun. Membuat jasadku menghilang di laut yang luas, terurai sebelum ditemukan.”
“Mati dalam kesendirian adalah tujuanku,” tegas Victor. “Aku tidak mau ada yang mengetahui kematianku. Aku tidak ingin ada yang menangis atau pun tersenyum pada jasadku. Karena itu aku tidak terlibat dengan siapa pun.”
“Kamu sudah terlibat dengan banyak orang. Kamu berhubungan dengan orang-orang yayasan, orang yang kamu selamatkan, keluarga mereka. Dan banyak lagi,” ungkap Tama.
“Entah bagaimana kamu melihatnya, yang pasti perasaanmu tidak akan berbalas.” Victor menatap yakin. “Aku tidak jatuh cinta. Itu hanya akan menahanku untuk tetap hidup.”
“Hari ini kamu peduli padaku, besok akan lebih dari itu.” Tama menguatkan dirinya sendiri. Setetes saja air matanya jatuh, bisa dipastikan keyakinannya pun akan ikut runtuh. “Aku tidak akan membiarkanmu bunuh diri.
“Heh. Hahaha. Sikapku membuatmu percaya diri, ya?” Victor tergelak. “Aku tidak peduli meski pada akhirnya kamu akan sangat menderita. Aku mengatakan semua ini, karena itu yang melintas di pikiranku.”
“Kamu memikirkanku?”
“Aku memikirkan cinta.” Victor melamun, mengingat kilas balik dari kehidupannya. “Aku melihat banyak orang yang bunuh diri karena cinta. Seperti Alina yang tidak sanggup menghadapi penolakan dari saudari tirinya.”
“Aku tidak akan bunuh diri. Kita akan hidup bersama hingga tua.”
“Cinta tak berbalas. Putus cinta. Dikhianati orang yang dicintai.” Victor menyandarkan punggungnya. “Bahkan ada yang tetap bunuh diri meski telah berhasil hidup bersama orang yang dia cintai. Padahal sudah tidak ada pengganggu dalam hubungan mereka.”
“Mereka ...” Tama kembali diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
“Berbalas maupun tidak, tetap saja bisa berujung bunuh diri. Orang bilang, cinta itu ajaib. Aku rasa, memang benar.” Victor menutup matanya. “Terlalu ajaib untuk menjadi nyata."
“Mereka hanya salah memilih jalan. Ada banyak orang yang jatuh cinta dan melanjutkan hidupnya, entah cinta itu berbalas maupun tidak.” Tama mengeratkan pelukannya di lengan Victor. “Aku akan membuatmu menjadi salah satunya.”
“Aku iri pada mereka yang bisa dengan yakin mengatakan bahwa mereka telah jatuh cinta.” Victor menghembuskan nafas kasar.
“Kamu juga akan merasakannya. Segera,” lirih Tama dengan suara yang kian memudar.
“Kamu tidur?”
Victor membuang muka. Bisa-bisanya gadis itu tertidur di tengah percakapan. Dan, apa yang tadi dikatakannya? Victor juga bisa merasakannya? Maksudnya, Victor juga bisa jatuh cinta? Omong kosong.
Walau orang bilang cinta adalah perasaan, pada dasarnya semua dikendalikan oleh otak. Menyukai seseorang, benda, warna, makanan, semuanya karena kita berpikir itu hal yang bagus. Cinta juga sama.
Entah pada lawan jenis, sesama jenis seperti Alina, terpaut perbedaan usia yang jauh, seorang idola, atau bahkan karakter yang tidak nyata. Kita akan mencintainya jika kita berpikir begitu. Dan untuk Victor yang bahkan tidak percaya cinta ... itu jelas mustahil.
“Aku akan menahanmu.” Tama menggeliat, mencari posisi ternyaman untuk tidurnya.
Victor tidak mengerti, tapi sepertinya suasana nyaman ini membuat matanya terasa berat. Ia sudah separuh sadar saat membuka jaket yang selalu dipakainya.
Sebuah cahaya kekuningan menahan pandangan Victor. Apakah itu cahaya yang dilihat seseorang saat mendekati ajalnya? Jika ya, maka tujuan Victor telah tercapai.
“Apa kamu selalu melamun saat bangun tidur?”
Kesadaran Victor terkumpul dalam sedetik karena pertanyaan itu. Pandangannya menjadi lebih jelas, dan sekarang ia tahu bahwa itu hanya cahaya matahari terbit.
“Ini sunrise terbaik yang pernah aku lihat.” Tama melebarkan senyumnya. “Semakin baik karena aku melihatnya bersamamu.”
“Berhenti meracau, dan menjauh dariku.” Victor mendorong kepala Tama yang membuat kakinya terasa keram. “Siapa yang menyuruhmu menjadikan kakiku sebagai bantal?”
“Apa masalahnya? Kamu bahkan memberikan jaketmu agar aku tidak kedinginan,” gerutu Tama.
Syaraf dingin Victor tiba-tiba saja berfungsi. Bulu-bulu halus di setiap senti kulitnya berdiri. Ia menyesal tidur di area terbuka hanya memakai baju tipis. Hasilnya, saat ini hidungnya dipenuhi lendir dan terasa gatal.
“HACHIM!” Victor dan Tama bersin bersamaan.
“Sepertinya kita harus pulang sekarang, ya?” tanya Tama, canggung.
“Kecuali kamu ingin tetap di sini.” Victor berdiri dan merenggangkan tubuhnya. Posisi tidurnya semalam sangat tidak nyaman, membuat seluruh sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. “Ayo.”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Auraliv
Dialognya tak terduga. pecah🤣
2023-01-18
1