“*Kalau kamu memang sangat menyukaiku, seharusnya kamu akan melakukan segalanya untukku. Bukankah orang yang jatuh cinta mampu melakukan hal-hal gila? Membunuhku yang merendahkan perasaanmu pasti hanya perkara mudah*.”
...~•~...
“Aku merindukanmu. Sudah lama kamu tidak mengunjungi yayasan,” seru seorang remaja yang langsung bergelayutan pada Victor.
“Aku banyak urusan belakang ini.” Victor menepuk pelan punggung remaja bernama Luna itu. “Kamu tidak ke sekolah?”
“Kamu selalu bilang begitu padahal cuma jalan-jalan dan enggan muncul di yayasan.” Luna menggembungkan pipinya karena kesal. “Kamu bahkan tidak tahu sekarang hari Minggu.”
“Benarkah? Maaf, maaf, aku lupa.” Victor tertawa lebar. "Bagaimana sekolahmu? Baik-baik saja?"
Tama menggigit bibir bawahnya. Sejak kemarin, Victor selalu mengarahkan tatapan dingin dan berbicara dengan nada sinis padanya. Ia pikir, itu memang sifat Victor, tapi melihat pemandangan di depannya saat ini ...
Sepertinya Victor memang membenci Tama. Perbedaan sikapnya terlihat sangat jelas, membuat Tama iri. Apa gunanya tetap mengikuti Victor, jika dia hanya akan sakit hati?
Luna mengintip dari balik tubuh Victor. “Relawan baru yang kamu bawa?”
“Tidak penting. Mana yang lain? Apa mereka pergi jalan-jalan?” Victor merangkul bahu Luna, membawanya menjauh. “Ada kejadian apa saja di yayasan?”
Tama tidak berhasil membujuk dirinya sendiri untuk meninggalkan Victor. Dia ingin tetap berada di dekat pria itu bahkan meski ia terlihat seperti penguntit. Tama akan pergi kemanapun Victor pergi.
Victor berbelok, memasuki area bermain anak-anak. Dia menyapa dan ikut bermain bersama mereka. Untuk sedetik, Tama pikir Victor yang membencinya mungkin cuma ilusi.
“Apa kamu membuat kakak marah?” ucap Luna yang entah sejak kapan telah berada di hadapan Tama.
“Ya?”
“Sepertinya kamu membuat kakak sangat marah, dia bahkan tidak mau membicarakanmu.” Luna memperjelas pernyataannya.
“Oh- ah, sepertinya begitu,” balas Tama canggung.
“Sepertinya kamu melakukan hal yang sangat buruk. Aku tidak pernah melihat kakak marah,” gumam Luna. “Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Luna, 16 tahun. Aku sudah dua tahun tinggal di sini. Salam kenal.”
“Aku Tama, dua-“
“Mau ikut bermain?” Tanpa menunggu reaksi Tama, Luna menarik perempuan yang lebih tua darinya itu.
Berada diantara anak-anak itu ternyata lebih seru dari yang dibayangkan Tama. Bahkan meski Victor menghindari kontak mata, setidaknya pria itu tidak menunjukkan rasa tidak sukanya terang-terangan.
“Anda sudah akan pulang?” Seorang pria berperawakan tinggi dan wajah kasar menghampiri Victor.
“Begitulah. Ada masalah?” jawab Victor.
Pria kekar itu tidak mengatakan apa pun, tapi wajahnya seperti enggan membiarkan Victor pulang. “Kamu baik-baik saja?” kata pria itu pada akhirnya.
“Apa aku terlihat sakit?” Victor memasang ekspresi bingung. Sejujurnya, dia paham arah pembicaraan ini, tapi dia tidak ingin melanjutkannya.
“Kamu sehat, aku bisa melihatnya.” Pria besar itu mengangguk dengan tidak puas. “Akhir-akhir ini aku memikirkan sesuatu.”
“Jika itu menjengkelkan, aku tidak mau dengar.”
“Aku mulai menyesal menyerahkan jagdkommando padamu. Saat malam, terkadang aku bermimpi kamu-“
“Joe,” sela Victor. “Aku tidak mencampuri urusanmu tanpa izin. Jadi, tolong lakukan hal yang sama padaku.”
“Jika kamu menggunakannya, rasanya seperti aku sendiri yang melakukannya,” lanjut Joe. “Itu menakutkan.”
“Bukankah itu bagus?” Victor tersenyum miring. “Menahan khawatir dan takut adalah hukumanmu. Mau menyerah?”
“Kamu adalah penyelamatku,” desis Joe. “Jauh berbeda dengan anak-anak itu.”
“Lebih menyiksa bukan? Jika tidak begitu, mana pantas disebut sebagai hukuman.” Victor mengangkat bahu. “Lagi pula aku mungkin tidak akan pernah menggunakan jagdkommando. Memakan banyak waktu dan terlalu menyakitkan.”
“Tidak. Bukan hanya tentang itu.” Joe buru-buru menyangkal. “Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu. Walau bukan karena jagdkommando, aku tidak ingin kamu-“
“Ayolah, Joe. Aku sudah bilang untuk tidak ikut campur dengan hidupku,” potong Victor. Dia melambai dan pergi. “Jalani saja hidupmu. Ada banyak hal lain yang harus kamu pikirkan.”
Ada banyak hal yang ingin Tama tanyakan, tentang Joe, Luna, dan lainnya. Namun, tanpa mencoba pun bisa dilihat Victor enggan untuk menanggapi. Taman akan menyimpan pertanyaan itu hingga suasana hati Victor sudah lebih baik.
“Luar biasa.” Victor berhenti melangkah. “Untuk seorang anak manja, kamu cukup hebat karena tidak mengeluh setelah berjalan 2 Km bolak balik.”
Jantung Tama seakan mau meledak saat mengetahui Victor bicara padanya. Ia bahkan tidak yakin akan membalas seperti apa. “A-aku-“
“Pergi.”
Tatapan dingin itu mengingatkan Tama bahwa ia adalah orang yang di blacklist oleh Victor. Tangan yang dilipat di depan dada itu jelas ingin mengusirnya sejauh mungkin. Tama menggeleng. “Tidak.”
Victor menghela nafas. “Kamu mau apa di rumahku? Menggodaku?”
“Kamu sama brengseknya dengan Will,” gumam Tama. “Berwajah dua.”
“Ho ... kenapa kamu baru menyadarinya sekarang?” Victor menurunkan tangannya. “Mengetahui pria yang kamu sukai tidak sehebat yang kamu bayangkan, pasti mengecewakan. Bukankah itu alasan bagus untuk pergi?”
Tama menggeleng sekuat tenaga.
“Kamu orang paling memuakkan yang pernah aku temui. Tidak peduli apa pun yang kamu lakukan, tidak akan ada yang berubah. Kalau segitu inginnya membuatku menyukaimu, tunggu aku mati.”
Bola mata Tama membulat, tidak percaya dengan yang didengarnya. Jangan, tidak boleh menangis. Tama berusaha menahan air matanya.
“Apa? Masih bersikeras? Baiklah.”
Victor menarik tangan Tama dengan kasar ke dalam rumah. Dengan wajah kaku, ia memaksa Tama memegang benda aneh yang terlihat seperti pisau. Benda itu memiliki tiga sisi tajam yang saling berpilin. Dan sekarang, ujungnya mengarah ke ulu hati Victor.
“K-kamu mau apa?” Tangan Tama gemetaran dalam cengkeraman Victor.
“Membuktikan perkataanku. Bukankah sudah kubilang, aku tidak akan menyukaimu kecuali aku mati,” murka Victor. “Bukankah kamu sangat ingin menarik perhatianku? Bunuh aku, dan kamu akan berhasil!”
Tama menggenggam erat-erat gagang pisau aneh itu. “Benar! Seperti itu. Bukankah ditolak mentah-mentah itu menyakitkan? Kamu sakit hati, kan? Dorong sekuat tenagamu, dan bisa dipastikan aku tidak akan selamat. Dendammu akan terbalaskan.”
“Omong kosong!” teriak Tama. Tangan kirinya yang bebas melayang ke pipi Victor, menahan segala kalimat provokasi yang ingin pria itu muntahkan. “Omong kosong! Aku membencimu! Sangat membencimu!”
Rasa perih membuat Victor tersadar dan melepaskan tangan Tama, membiarkan pisau aneh miliknya terjatuh. Setelah dentingan pisau berhenti, hanya suara isak Tama yang tersisa di rumah kecil itu.
“Apa yang baru saja kulakukan? Aku ... lepas kendali,” batin Victor, menjatuhkan dirinya.
Menit-menit panjang dalam keheningan berakhir saat Tama berhenti menangis dan mengatakan, “Kamu pasti akan sangat menyukaiku jika tadi aku membunuhmu.”
Tentu saja. Victor akan sangat-sangat berterima kasih jika Tama membantu keinginan terbesarnya. Tama akan lebih berjasa dibanding panti asuhan yang membesarkan Victor. Akan tetapi, Victor tidak akan menjawab pertanyaan itu.
“Aku membacanya,” lirih Tama. “Saat kamu mandi, aku membaca buku yang kulihat tadi pagi. Tentang kamu yang ingin bunuh diri.”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Auraliv
Pantas Tama ngikutin terus, ternyata dia baca bukunya dong. btw thor, itu yg bagian kalimat pembuka di setiap bab adalah kalimat catatan di buku victor ya?
2023-01-18
1