“*Sebesar apa kesalahan yang telah kamu lakukan? Apa kamu dihukum? Seberat apa hukumannya? Ah, aku yakin apa pun itu, tidak akan lebih berat dibanding hukuman yang aku terima. Aku*...”
...~•~...
“Hei, aku bawa makanan. Ayo sarapan bersama!” seru Tama seraya membuka pintu rumah Victor tanpa permisi. Gadis itu membatu melihat pemandangan di depannya.
Satu detik, Tama berkedip. Tatapannya ke wajah Victor kian turun menuju leher pria itu.
Dua detik, Tama mengedipkan matanya lagi. Victor memiliki bahu yang bidang dan sedikit merendah.
Tiga detik. Mara Tama berhenti di boxer pendek berwarna hitam yang menjadi satu-satunya kain di tubuh Victor.
“Bukankah biasanya perempuan akan berteriak lalu kembali menutup pintu di saat seperti ini?” Victor melipat kedua tangannya di depan dada. “Mau menungguku membuka semua?”
Tama seketika menutupi wajahnya yang memerah. Bagaimana mungkin ia bisa tidak berpaling menatap Victor yang tanpa busana? Memalukan sekali. Tama bahkan tidak berani bergerak untuk sekedar menutup pintu.
“Kamu memang tidak seperti perempuan pada umumnya. Tetaplah seperti itu hingga satu jam ke depan,” ucap Victor sebelum berjalan menuju kamar mandi.
“Apa yang kulakukan?” sesal Tama. Gadis itu terduduk lemas di depan pintu. Ia mengibaskan tangan, berusaha mengurangi sensasi panas di wajahnya. Ingin rasanya ia bersembunyi di lubang dan menimbun dirinya sendiri.
Tama refleks berteriak saat Victor muncul hanya berbalut handuk. Lagi? Kenapa hari ini dimulai dengan begitu memalukan?
“Kenapa kamu belum memakai bajumu?!” pekik Tama.
“Kamu kira aku menyimpan pakaian di kamar mandi?” Victor mengangkat bahu, melenggang memasuki kamar. “Lagi pula, siapa yang menyuruhmu pagi-pagi bertandang ke rumah seorang pria?”
Tama menggerutu karena tidak bisa membalas perkataan Victor. Ia meninju lengan pria itu begitu ada kesempatan. “Ini hukuman untuk janji yang kamu langgar.”
“Pulang sebelum matahari tenggelam dan mengangkat telepon?” Victor tersenyum miring. “Itu bukan janji. Kamu menolak janji kelingkingnya, bukan?”
“Konyol,” dengus Tama. Memberikan sepiring sarapan pada Victor. “Ngomong-ngomong, apa artinya sekarang kamu resmi menjadi pamongku?”
“Jangan mimpi.” Victor melahap sarapannya.
“Kamu pembohong! Kemarin kamu menyebut dirimu pamongku. Tidak adil!” Tama memukul-mukul lengan Victor.
Victor menahan tangan Tama dengan mudah. “Aku akan bertemu dengan beberapa orang nanti. Kalau kamu hanya bermain-main dan tidak segera menghabiskan makananmu, sebaiknya kamu tinggal saja.”
“Aku ikut.”
Dengan begitu, acara sarapan bersama itu selesai dengan cepat. Dan seperti biasa, Victor dan Tama berjalan sejauh satu setengah kilometer menuju yayasan.
“Apa kamu memang selalu datang sesiang ini?” ketus Vero yang sedang bersandar di gerbang yayasan.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Tidak sekolah?” balas Victor.
“Mana ada yang sekolah di akhir pekan begini.” Vero berjalan lebih dulu memimpin jalan masuk. Seolah dirinya adalah tuan rumah. “Tidak ada yang bisa menemani aku, jadi aku mampir ke sini.”
“Lain kali, setidaknya beri kabar dulu jika ingin datang. Aku sibuk sekarang, kamu tunggu di-“
“Bagaimana ini?” ucap seorang ibu-ibu yang tidak sengaja memotong kalimat Victor. Wajahnya terlihat khawatir, dan ia berpegangan erat pada lengan Ginette. “Dia selalu mencoba bunuh diri saat tidak diawasi.”
“Ibu tenang saja. Dia belum lama menghilang, kita pasti bisa menemukannya,” hibur Ginette.
“Bunuh diri? Siapa?” Victor mengangkat alisnya.
“Untung kamu di sini. Tolong bantu kami mencari Lora, dia gadis yang sudah membuat janji temu denganmu hari ini. Semakin banyak yang membantu, semakin baik,” pinta Ginette.
“Apa Lora itu perempuan yang datang bersamamu?” tanya Vero.
“B-benar. Apa kamu melihatnya?” jawab ibu Lora ragu-ragu.
“Aku melihatnya meninggalkan yayasan sekitar sepuluh menit yang lalu.” Vero berpikir sejenak. “Ekspresinya serius sekali tadi.”
“Benarkah? Ke arah mana?” Victor menarik Vero untuk ikut dengannya. “Ayo, tunjukkan jalannya.”
Vero belum sepenuhnya mengerti situasi itu. Akan tetapi, melihat ketegangan di wajah semua orang, ia mengurungkan niat untuk bertanya. Ia membantu menyusuri jalan mencari gadis itu.
“Kehidupan mengutukku,” ucap Lora.
Gadis yang dicari-cari para pengurus yayasan itu ditemukan sedang berdiri di pembatas jembatan. Matanya sayu menatap sungai yang memanjang dan berliku. Bibirnya datar. Tangannya mengepal.
Lora tidak sendiri. Ada seorang wanita bernama Elayne yang menemani gadis itu. Elayne bersandar pada pembatas jembatan, melihat sisi lain sungai. Memusatkan perhatiannya pada cerita yang disampaikan Lora.
“Aku hidup dalam kutukan akibat kesalahan yang tidak lagi bisa kuingat,” ulang Lora. “Dari segala bentuk hukuman, kenapa aku harus menjalani hukuman paling mengerikan? Hidup abadi, tidak bisa mati meski aku menginginkannya.”
“Tidak peduli sekuat apa kamu berusaha, kamu tetap tidak bisa mati,” sambung Elayne. Ia mengusap pergelangan tangannya. “Aku tahu betapa menyedihkannya itu.”
“Mengerikan!” tegas Lora. “Aku dipertemukan dengan banyak orang, untuk kemudian dipaksa berpisah oleh kematian. Aku tidak pernah bisa menghindari siklus pertemuan. Pada akhirnya, aku harus melihat orang terdekatku merenggang nyawa.”
Elayne diam cukup lama. Mungkin masih mencerna apa yang didengarnya. Sedangkan Victor sibuk menahan Tama untuk tidak ikut campur. Biarkan mereka berbicara sampai selesai.
“Banyak manusia serakah yang ingin hidup abadi, tapi bagiku, keabadian adalah kutukan,” lirih Lora.
“Aku tahu rasanya, aku juga pernah mendapat kutukan itu.” Elayne menghembuskan nafas. Ia membalikkan badannya untuk melihat ke sisi yang sama dengan Lora. “Aku sudah menemukan cara untuk menghapusnya.”
“Bagaimana?” Lora menatap Elayne penuh antusias. “Apa kamu menemukan pola segelnya? Apakah ada roh suci membantumu? Beruntung sekali.”
Elayne tersenyum canggung, mulai kesulitan mengikuti alur percakapannya dengan Lora. “Aku tidak bisa memberitahu detailnya, tapi aku bisa mempraktikkannya padamu.”
“Benarkah?” Lora melompat turun. “Coba sekarang. Lakukan.”
“Baiklah, tutup matamu. Jangan mengintip.” Elayne melirik rombongan Tama dan mengedipkan sebelah matanya pada Victor. Senyumnya begitu misterius.
“Semacam teknik rahasia?” gumam Lora.
“Benar. Teknik rahasia yang tidak boleh dipertunjukkan kepada siapa pun.” Elayne bertepuk tangan di atas kepala Lora beberapa kali. Bergumam tidak jelas, diakhiri tepukan di kedua bahu Lora. “Selesai. Buka matamu.”
“Aku tidak merasakan perubahan apa pun.” Lora tertunduk. “Sepertinya setelah ribuan tahun, kutukan ini sudah menyatu dengan setiap sel di tubuhku. Mustahil untuk dihilangkan.”
“Bersemangatlah anak muda!” Elayne mengapit pipi Lora menggunakan telapak tangannya. Gemas sekali. “Ini bukan teknik yang memiliki reaksi cepat. Butuh beberapa waktu sebelum kamu merasakan efeknya. Ketika reaksinya timbul, kamu sudah tidak di dunia ini lagi.”
“Apa kamu juga sedang menunggu reaksi itu?”
“Benar. Mungkin waktuku tidak akan banyak. Aku sudah mulai merasakan efeknya sekarang.” Elayne menyatukan dahinya dan Lora. “Selagi menunggu, kamu harus menahan diri dari menentang dewa kematian. Dengan begitu barulah kutukannya dapat menghilang.”
Seharusnya itu kabar baik bagi Lora. Akan tetapi, kelihatannya dia tidak senang sama sekali. Jika kutukan itu dilepaskan, maka dia tidak punya alasan lagi melakukan semua ini. Lora...
“A-aku tidak tahu harus berkata apa. Ini mungkin momen yang paling kutunggu dalam rentang ribuan tahun hidupku.” Benar. Untuk sekarang, Lora hanya bisa berpura-pura melanjutkan perannya.
“Aku rasa mereka mencarimu.” Elayne menunjuk Victor. “Kenalanmu?”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments