Pria Bernama Victor

“*Jika waktu adalah uang, maka Victor pastilah orang kaya yang paling dermawan di muka bumi. Dia menghabiskan waktunya untuk membantu orang lain. Hidupnya tidak pernah tentang dirinya sendiri. Begitulah Victor, bahkan jauh sebelum yayasan ini berdiri*.”

...~•~...

“Maaf lama,” ucap Tama sambil membuka pintu. Namun, rumah itu kosong. “Vic! Aku membeli beberapa makanan untukmu. Apa kamu di kamar?”

Tidak ada jawaban.

Kesunyian itu membuat Tama merasa tidak nyaman. Victor tidak ada di kamar maupun kamar mandinya. Melihat ponsel yang tergeletak sembarangan, Tama yakin dia hanya pergi sebentar ke tempat yang tidak jauh.

Akan tetapi, meski di luar sudah gelap, Victor tidak kunjung kembali. Saat matahari terbit juga tetap tidak ada tanda-tanda pria yang disukai Tama itu telah pulang.

Percakapan tentang bunuh diri yang kemarin dibahas Victor membuat Tama khawatir. Pria itu dipenuhi oleh keinginan bunuh diri, bagaimana jika saat ini dia sudah melakukannya di suatu tempat? Tama menyesal meninggalkan Victor sendirian.

Lupakan berias. Tama berjalan cepat ke jalan raya, menghentikan taksi yang lewat, dan berangkat secepat mungkin menuju yayasan. Victor pasti masih hidup. Dia hanya tidak ingin tinggal di sebelah Tama. Dia mungkin sedang tidur nyenyak di salah satu ruangan yayasan.

“Apa Victor kesini?” tanya Tama tanpa basa-basi. Nafasnya tersengal karena berlari dari gerbang yayasan.

“Ada apa?” sambut Ginette. “Minum dulu, bicara baik-baik. Mukamu pucat, apa kamu sudah makan?”

“Victor, Victor menghilang.” Mata Tama terasa panas karena tidak bisa mengusir bayangan-bayangan kejadian buruk yang bisa menimpa Victor. “Kemarin aku bertengkar dengannya, lalu ... lalu dia pergi dan tidak pulang.”

“Duduk dulu, ya.” Ginette menuntun Tama. Ia memberi segelas air putih dan tidak berhenti mengelus punggung gadis itu. “Apa kamu sudah tenang?”

Tama mengangguk. Air matanya yang hampir jatuh seketika menguap. “Terima kasih.”

“Victor tidak menghilang, dia hanya sedang jalan-jalan. Bukankah tadi kamu bilang kemarin kalian bertengkar? Sudah kebiasaannya untuk berjalan saat perlu berpikir,” jelas Ginette.

“Tapi ...” Tama tidak yakin harus membicarakan catatan bunuh diri atau tidak.

“Walau dia berjalan tak tahu arah, Victor pasti bisa menemukan jalan pulang. Victor itu sedikit eksentrik, dia selalu bepergian dan pulang saat dia mau. Karena itu aku kurang setuju dia menjadi pamongmu,” lanjut Ginette.

“Kami bertengkar hebat kemarin. Bagaimana jika dia tidak mau kembali lagi?” tanya Tama.

“Kita bisa mengganti pamongmu,” tawar Ginette.

“Maksudku, tentang Victor. Apa yang akan kalian lakukan jika dia tidak pernah kembali? Apa yang akan terjadi pada yayasan ini? Kalian tidak khawatir?” desak Tama.

“Victor memberikan tanggung jawab atas yayasan kepadaku agar dia bisa bebas pergi.” Ginette diam sejenak. “Victor pasti kembali. Dia pernah beberapa minggu pergi, dan ternyata dia berada di luar provinsi.”

Seketika badan Tama terasa lemas. Ia menyandarkan punggungnya. Jawaban Ginette tidak membuatnya merasa lebih baik. Jika wanita itu tahu Victor yang sebenarnya-

“Dari reaksimu, sepertinya kamu sudah membaca catatan bunuh diri Victor.” Tama terlonjak. Ginette tahu? Lalu kenapa dia bisa tetap tenang? “Aku dan hampir semua pengurus senior tahu tentang catatan itu.”

“Apa kalian tidak takut dia akan bunuh diri sungguhan?” Nafas Tama tertahan. Ia sungguh tidak mengerti dengan orang-orang ini.

“Dulu, yayasan ini hanya yayasan kecil yang kantornya berada di sebelah rumah Victor, tempat yang kamu sewa saat ini. Saat dia mengunjungi kakakmu, adalah hari pertama kami berdiri,” jelas Ginette.

Saat itu Victor pergi semaunya tanpa persetujuan pengurus lain. Mereka bahkan tidak tahu kemana dan apa yang akan dilakukan Victor. Sikapnya membuat semua orang tidak puas. Jadi, begitu Victor kembali, Ginette memutuskan untuk berbicara atas nama kelompok.

“Aku mengenal Victor sejak dia masih di panti asuhan, kami tinggal di lingkungan yang sama. Dia selalu terlihat ... bagaimana mengatakannya? Cerah, mungkin.” Ginette bernostalgia. “Ketika dia kembali dari pemakaman Adriana, untuk pertama kalinya aku melihat Victor muram, sangat muram.”

Ginette merasa lidahnya kaku. Hatinya kelu. Jika kamu melihat matahari yang biasa bersinar tiba-tiba gelap gulita, pasti kamu paham perasaan Ginette saat itu. Dia hanya bisa diam memperhatikan Victor yang sedang menuliskan sesuatu.

“Victor besar di panti asuhan?” sela Tama, yang dibalas anggukan oleh Ginette.

“Saat dia selesai menulis, aku masuk. Siapa pun pasti akan penasaran tentang apa yang terjadi. Sebelum aku bertanya, dia sudah melarangnya. Jadi, aku to the point pada tujuan awalku. Dan dia memutuskan untuk memberi posisi ketua yayasan padaku. Begitu saja.”

“Tidak ada yang puas dengan keputusan itu. Kesannya seperti Victor melepas tanggung jawabnya begitu saja. Hari berikutnya, berita tentang Victor yang membantu Adriana dimuat di beberapa media, mendatangkan banyak donatur.”

“Maaf, menyela lagi,” kata Tama. “Aku rasa, cerita itu bisa diceritakan di lain waktu. Victor sedang hilang!”

“Ceritaku memang tidak menarik. Tapi tolong dengarkan sampai selesai.” Ginette tersenyum ramah. “Saat kantor kami masih di sebelah rumah Victor, kami sering masuk ke rumahnya. Lalu tanpa sengaja membaca catatan bunuh diri miliknya.”

Victor selalu menghindari topik itu saat ditanya. Sehari saja Victor tidak muncul, maka seluruh yayasan akan dilanda kekhawatiran. Seperti Tama saat ini, semua orang yang tahu takut Victor bunuh diri ketika sedang sendiri.

Meski begitu, setiap menghilang, Victor pasti kembali. Selalu ada donatur atau relawan baru ketika dia kembali. Terkadang juga menjadi bagian dari salah satu program yang dibuat yayasan, contohnya gerakan peduli kanker.

“Setelah beberapa kali membahas, kami rasa Victor hanya tidak bisa membiarkan dirinya berdiam diri di yayasan, sementara di luar sana ada banyak orang yang sedang berusaha bunuh diri.” Ginette tersenyum bangga.

“Dia selalu pergi untuk mencegah orang bunuh diri. Begitulah cara dia bertemu dengan para donatur dan relawan yang dibawanya saat kembali.”

“Kalian seyakin itu?”

“Aku melihat Victor tumbuh dewasa. Aku memang tidak mengenalnya secara langsung, tapi dia selalu ringan tangan untuk membantu sesama, menghibur yang bersedih dan banyak lagi. Kami yakin dia tidak ingin orang lain merasakan seperti yang ia rasakan.”

Ginette memberi pelukan hangat untuk Tama. Victor memang sulit untuk dipahami. Sebagian besar tindakannya akan membuat orang yang peduli padanya merasa khawatir.

“Hanya ingin memberitahu, aku tumbuh dengan keadaan ekonomi yang sulit. Suatu hari, adikku hampir bunuh diri karenanya. Terima kasih pada Victor yang menggagalkan percobaan itu.”

“Adikmu masih hidup?” Tama mengangkat kepalanya.

“Ya. Dia sering ikut kegiatan relawan.” Ruangan Ginette lengang sejenak. “Sometimes, reality is your perception. Kamu harus berpikiran positif, agar memberi aura positif pada Victor.”

Tama mencerna semua cerita Ginette. Wanita itu benar. Dia harus membuang jauh-jauh pikiran tentang Victor yang bunuh diri. Dia harus yakin Victor sedang menyelamatkan nyawa seseorang saat ini.

...~•~...

Terpopuler

Comments

Auraliv

Auraliv

aku sekarang lagi suka tipe karakter badboy. tapi setelah baca novel ini, aku jadi suka karakter cowok kayak victor... aku kalau jadi tama jga bakalan kejar terus 🤧😭

2023-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!