“Aku melihatnya. Aku mendengarnya. Mereka menganggap jasad itu sebagai pembawa sial. Bukankah itu mengerikan?”
...~•~...
“Bagaimana ini, Pak?” sebuah bisikan terdengar oleh telinga tajam Victor. “Restoran kita sudah mulai berkembang. Jika berita ini tersebar, para pesaing pasti memanfaatkannya untuk menjatuhkan kita.”
Victor menoleh, menemukan dua orang pria sedang saling bisik di sudut ruangan. Pria dengan setelan jas rapi menatap jijik pada tubuh perempuan yang melompat dari balkon restorannya.
“Pikirkan cara agar beritanya tidak meluas. Tutupi berita ini dengan sesuatu yang lain. Menyusahkan saja,” desisnya. Wajahnya berkerut, pergi tanpa menunjukkan kepedulian sedikit pun.
“*Cih. Orang-orang ini tidak punya empati*,” rutuk Victor dalam hati.
“Dia ... dia melompat ... tepat di hadapanku.” Teman perempuan tadi terduduk lemas, masih memandangi sisa darah di atas batu. “Dia melompat karena aku. A-apa yang harus kukatakan pada Papa dan Mama? A-Alina ...”
Perempuan itu berteriak sekuat tenaga, melepaskan semua beban di hatinya. Tidak. Dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Yesie tidak akan percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Tidak mungkin saudara tirinya sungguhan bunuh diri.
“Hahaha! Tidak mungkin! Aku pasti sedang bermimpi!” Yesie histeris. “Alina punya pacar. Mana mungkin dia menyukaiku. Aku harus segera bangun.”
“Sudah kubilang, jangan lihat.” Victor menutup mata Tama dengan telapak tangannya. “Kamu akan kehilangan selera makan jika melihat darah sebanyak itu. Lebih baik tenangkan dia. Kita akan ke rumah sakit.”
Tama mengangguk, lalu mendekati Yesie. Ia melakukan yang terbaik untuk membuat perempuan itu tenang. Namun, tetap saja sulit. Yesie semakin histeris begitu Tama memeluknya.
“Ini salahku,” ratap Yesie. “Aku bodoh. Aku tidak bisa menjaga adikku. Aku tidak pantas menjadi seorang kakak. Alina ...”
Tidak banyak yang bisa dilakukan Victor. Pria itu memilih untuk membantu petugas restoran mencegah pelanggan mengambil foto dan video. Yesie akan merasa tidak nyaman karenanya.
Setelah Yesie lebih tenang, mereka pun berangkat ke rumah sakit. Yesie dipenuhi oleh kecemasan, dan matanya menatap pintu UGD dengan penuh harap. Jika Alina tewas, itu akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya.
“Semua akan baik-baik saja,” hibur Tama.
“Papa. Mama.” Yesie berdiri menyambut pasangan yang berlari ke arahnya. Sedetik kemudian, ia tertunduk. Penjelasan apa yang bisa diberikannya tentang situasi ini? Dia tidak sanggup berbohong untuk hal sebesar ini. Akan tetapi, ia tidak mau Alina dibenci.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Mama. “Bagaimana dengan Alina? Apa yang terjadi?”
“Aku ... aku tidak bisa menjaganya,” lirih Yesie. “Alina terjatuh karena kelalaianku.”
“Apa benar dia terjatuh?” selidik Ayah. Ia berlutut di hadapan gadis itu dan menggenggam tangan Yesie. “Kabarnya, dia sengaja melompat dari sana.”
Yesie membatu. Punggungnya terasa dingin karena ketakutan. “A-alina ...” Berat sekali mengatakan fakta menyakitkan itu. Seandainya dirinya yang melompat-
“Apa Alina mengakui perasaannya?” tanya Papa dengan hati-hati. “Kamu menolaknya?”
Mata Yesie membola. Siapa yang memberitahu Papa? Ia yakin orang-orang yang mengantarnya ke rumah sakit sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Mendengar kejadian itu disederhanakan dengan dua kalimat rasanya menyakitkan.
Mama memeluk erat Yesie. Hanya air mata yang bisa menjelaskan rasa sakit di dadanya. Begitu pula dengan Papa. Lututnya lemah mengetahui kecurigaannya benar.
“Bisa bicara dengan keluarga pasien?” ucap Dokter yang keluar dengan wajah lesu.
“Saya ayahnya.” Papa berdiri dengan sigap.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan pasien, ia kehilangan terlalu banyak darah,” lanjut Dokter itu. “Alina sudah tiada.”
Yesie dan Mamanya seketika pingsan. Sementara, sang kepala keluarga tersungkur di lantai. Meratapi diri dengan keputusannya yang salah.
Andai dia tidak terlambat menyadari perasaan terlarang di antara kedua putrinya. Seandainya dia tidak mengatakan hal buruk saat memaksa Alina berhenti mencintai saudari tirinya. Kalau dia tidak membiarkan kedua gadis itu terlalu akrab, mungkin semua ini ...
Papa Yesie membenturkan kepalanya ke kursi rumah sakit. Pikiran bodoh apa itu. Tidak peduli sebesar apa penyesalannya, atau apa pun yang dikatakannya, sudah terlambat. Alina tidak mungkin kembali.
“Pulanglah. Kita sudah cukup membantu,” ucap Victor. Matanya mengawasi keluarga Yesie yang memasuki ambulans bersama jasad Alina.
“Aku harap, kita bisa bertemu sesering mungkin setelah ini.” Ray tersenyum lebar.
“Jangan temui aku, kecuali untuk hal penting,” pangkas Victor.
Ray beralih pada Tama. Ragu-ragu tersenyum dan berkata, “Kamu juga.”
“Kita bisa bertemu kapan pun,” balas Tama riang. “Semoga lagu kamu berikutnya juga sukses.”
“Kenapa masih di sini?”
“Aku?” Tama menunjuk dirinya sendiri.
“Menurutmu?”
“Ayolah. Kita sudah berteman, bukan?” Tama menyikut lengan Victor. “Apa kita akan pulang jalan kaki? Katanya kamu suka berjalan.”
“Aku tidak suka,” ketus Victor. “Hanya saja, berjalan membuat pikiranku bekerja lebih baik.”
“Kamu sepertinya sedang tidak mood. Kejadian tadi lebih mempengaruhimu dibanding aku, heh?” ejek Tama. “Padahal, tadi ada seseorang yang seolah ingin melindungiku dari pemandangan mengerikan.”
“Dan seseorang tidak patuh, sehingga jadi seperti ini.” Victor menarik pergelangan tangan Tama, mengekspos getaran yang tidak kunjung berhenti di sana. “Ada yang bilang, tremor bisa berakhir step atau kejang. Sudah seperti ini masih saja sempat mengejek orang lain.”
Tama mencengkeram tangan Victor. Sangat keras, hingga telapak tangan mereka memutih, kekurangan pasokan darah. “Aku tidak bisa melupakannya. Darahnya, teriakannya, dan wajahnya yang menderita.”
“Mau minta obat penenang?” tawar Victor.
“Tidak, seperti ini saja.” Tama bersender pada dada Victor. Tidak memeluk, hanya memastikan jantung di dalam sana masih berdetak seperti semestinya. Detak yang menyalurkan ketenangan pada Tama.
“Aku tidak mau terus diam seperti ini,” keluh Victor.
Tama ingin protes, tapi Victor lebih dulu menariknya. Mereka berjalan cukup jauh, memasuki hutan. Ini memang bukan pertama kalinya ia dan Victor berjalan bersama di area hutan. Hanya saja, sebelumnya mereka menelusuri jalan aspal, dengan lampu jalan yang terang.
Di tengah hutan pada malam yang gelap menimbulkan perasaan tidak nyaman. Tama tidak mengenal daerah ini, hanya senter ponselnya yang menerangi jalan. Walau dia mempercayai Victor sepenuhnya, ia tidak bisa mengusir bayangan hewan buas yang mungkin mereka temui nanti.
“Hei, Vic. Kita mau kemana? Ngapain?” tanya Tama untuk kesekian kalinya. Yang ditanya masih enggan untuk menjawab, tapi setidaknya, dia tidak melepaskan tangan Tama sedetik pun.
“Kamu takut?” Victor menarik Tama mendekat. Wajah seriusnya seketika berubah menjadi tawa melihat Tama mengangguk dengan kuat. “Maaf, maaf, aku terbawa suasana. Sekarang, lihatlah.”
Tama tidak mengerti. Lalu, begitu Victor menyingkir, ia bisa melihat laut yang sangat luas. Laut malam, dengan hiasan kerlap kerlip bintang di belakangnya. Juga, bulan setengah yang berusaha mendaki ke puncak khatulistiwa.
“Ini tempat persembunyianku,” ucap Victor.
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments