Dua Pemikiran

“*Tidak masalah, ‘kan, walau pemikiran kita berbeda. Bukankah yang terpenting tujuan kita sama? Dua tangan akan lebih mudah untuk menyelamatkan sebuah nyawa*.”

...~•~...

Tama menahan nafasnya saat wajah Victor hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Jantungnya seketika berdebar sangat cepat.

“*Adegan romantisnya datang secepat ini*?” pikir Tama yang tengah menutup matanya rapat-rapat.

“Dengar. Yayasan itu berdiri karena aku yang mendirikannya. Aku yang menunjuk Ginette untuk menjadi ketua yayasan, aku juga bisa memberhentikannya kapan pun. Kamu pikir dia berani mengaturku?” bisik Victor.

“Tidak! Jangan memecatnya.” Tama mundur dan menundukkan wajah. “Aku yang membujuk Bu Ginette, dan mengatakan kamu pasti mau, sebab kita sudah saling mengenal sebelumnya."

"Heh. Terlalu mudah untuk ditebak." Victor memututar bola matanya.

“Mulai besok, aku akan magang di yayasanmu. Aku mohon, jadilah pamongku," pinta Tama.

“Aku sibuk, dan aku tidak ingin ada pengganggu dalam kegiatanku,” tegas Victor.

“Tapi...”

Victor mengangkat sebelah alisnya. “Apa masalahnya? Kamu masih bisa meminta orang lain untuk membimbingmu.”

Tama melirik ke arah lain, ragu-ragu menjawab, “Tentu saja karena aku ingin berada di dekat orang yang kusukai.”

Victor tidak dapat menahan tawanya. “Ah, ternyata begitu. Karena aku seorang pria, kamu ingin merayuku agar mempermudah nilaimu.”

Tama ingin membela diri, tapi Victor lebih dulu menepuk pundaknya. “Suasana hatiku sedang baik. Anggap saja hari ini tidak pernah ada, dan kerjakan praktik lapanganmu dengan baik dan benar.”

“Aku tidak begitu.”

Victor melenggang untuk meninggalkan Tama. Tidak ada gunanya dia berbicara dengan gadis seperti itu. Tipe gadis yang ia harap tidak akan pernah berurusan dengannya.

“Haah ... kenapa kamu masih mengikutiku?” jengkel Victor.

“Ti-tidak apa-apa. Hanya kebetulan kita akan pergi ke arah yang sama,” balas Tama yang membuat Victor mempercepat langkahnya. “Tunggu!”

“Pergilah,” geram Victor. Tama lebih menjengkelkan dari pada yang dipikirkannya. “Jalan duluan. Kalau memang kita ke arah yang sama, aku akan membiarkanmu.”

“M-masalahnya, aku tersesat. Kamu ‘kan tahu aku masih baru di kota ini.” Wajah hingga telinga Tama memerah. Ia merasa seperti anak kecil yang mudah tersesat.

“*Memangnya cuma dia yang tersesat*?” batin Victor. Victor mendengus, memutuskan untuk menyimpan hal itu sebagai rahasianya. Dia harus menyelamatkan reputasinya!

“Kamu membenciku?” Tama berusaha menghilangkan kesunyian antara dia dan Victor.

“Ya.”

“Kenapa? Aku benar-benar tidak berniat merayumu, aku memang menyukaimu. Apa itu salah?” sergah Tama.

“Kita bahkan tidak saling mengenal. Meski begitu, entah itu benar atau tidak, aku tetap akan membenci orang sepertimu," ungkap Victor.

“Saat terakhir kali kita bertemu, kamu juga berkata seperti itu. Memangnya apa kesalahanku?”

Victor diam sejenak. “Tidak ada. Hanya saja kamu berpikir layaknya sebagian besar masyarakat. Pola pikir yang aku benci. Jika reinkarnasi itu nyata, aku yakin aku akan tetap membencimu di kehidupan selanjutnya.”

“Apakah seburuk itu?”

“Tidak buruk, tapi aku membencinya.” Victor menghembuskan nafas berat. “Saat mengatakan bahwa dia menyia-nyiakan hidupnya, sementara seseorang di luar sama sedang berjuang untuk bertahan hidup, apa yang kamu pikirkan?”

Tama tahu itu bukanlah pertanyaan sungguhan, jadi dia tidak menjawabnya. Tama hanya diam dan mendengarkan dengan saksama.

“Memangnya, membandingkan kehidupan dia dengan orang lain akan meringankan bebannya? Tidak. Tanpa kamu bicara pun, dia pasti sudah mengerti bahwa banyak orang ingin berada dalam keadaan sehat seperti dirinya.”

Victor menumpahkan semua isi pikirannya. Ia mengerti bahwa Tama sedang berusaha untuk menyelamatkan Ray agar tidak bunuh diri. Membuat Ray mensyukuri hidupnya.

Namun, Ray tidak membutuhkan itu. Jika bisa, dia pasti akan merelakan hidupnya untuk dimiliki orang lain. Melihat Tama mengatakan berbagai kata motivasi yang sudah pasti diketahui oleh semua orang, rasanya menjengkelkan.

Entah sudah berapa kali Ray mendatangi tempat itu dengan tujuan bunuh diri. Lalu, dia akan berusaha menguatkan hatinya sendiri menggunakan kata-kata motivasi yang sama. Mungkin hari esok akan lebih baik.

Victor terdiam untuk ke sekian kalinya. Ia merasa bodoh. Apa yang ia coba lakukan? Meski sudah dijelaskan dengan baik, Tama tidak akan mengerti perasaan itu.

Masyarakat tidak akan pernah menerima alasan apa pun untuk bunuh diri. Itulah kenyataannya.

“Apa kamu juga begitu? Berulang kali menguatkan diri sendiri.” Tanpa aba-aba, Tama telah melingkarkan tangannya di pinggang Victor. “Jika kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, kamu bisa mencariku.”

Kapan terakhir kali ada yang memeluk Victor sambil menanyakan perasaannya? Victor tidak ingat. Mungkin tidak pernah.

Ingatan masa kecil yang dimilikinya hanyalah suara ribut pertengkaran. Dan saat menuju dewasa Victor telah membuang semua perasaannya.

“Saat di atap itu, kamu bilang ingin bunuh diri,” lirih Tama. “Aku tidak akan membiarkannya.”

“*Aneh. Seharusnya aku sudah tidak bisa menangis. Kenapa sekarang*...?”

Victor menahan tubuh Tama saat gadis itu ingin melepaskannya. Sekali lagi, untuk menjaga reputasinya, Tama tidak boleh sampai melihat bulir-bulir yang mendesak keluar dari mata Victor.

“Detak jantungmu sangat cepat,” gumam Tama. “Apa aku membuatmu berdebar-debar?”

“Sembarangan.” Victor mendorong Tama menjauh, sebelum gadis itu mendongak dan melihat matanya yang masih basah. “Aku hanya kaget.”

“Kamu membalas pelukanku. Apa itu artinya kamu sudah tidak membenciku?” Tama tersenyum lebar.

“Hanya dalam mimpimu.” Victor mempercepat langkahnya agar Tama berhenti membahas kejadian barusan. “Sudah jalan utama. Kita berpisah di sini.”

“Tidak mau.”

Sepertinya, reaksi Victor terhadap pelukannya membuat Tama menjadi lebih berani. Lihat saja tangannya yang bergelantungan di lengan Victor.

“Lepas.”

“Enggak mau.”

“Lepas.” Victor menyentakkan tangannya. “Sekali lagi kamu berbuat seenaknya, akan kubuat kamu mengulang praktik lapanganmu.”

“Biar tiap hari menemanimu di yayasan?” goda Tama.

Saat kuliah, ada banyak gadis yang mendekati Victor dengan agresif layaknya Tama. Namun, tetap saja pria itu tidak sanggup menghadapi Tama. Setidaknya ia tidak membenci gadis-gadis itu, tidak seperti Tama.

Menjijikkan. Victor sangat ingin mengumpat pada gadis itu. Namun, apa gunanya? Diperlakukan dengan kasar saja tidak membuat gadis itu pergi, apalagi hanya dengan kata-kata. Victor memutuskan untuk menghemat energinya dengan mengabaikan Tama. Hanya saja...

“Kamu mau mengikutiku sampai mana?" jengah Victor. "Apa yang mau kamu lakukan di rumahku?”

“Tidak ada. Aku ‘kan tinggal di sebelah untuk sementara waktu.” Tama mengedipkan matanya berulang kali.

“Sok imut, membuatku ingin muntah saja,” sarkas Victor sebelum membuka pintu rumahnya.

“Aku memang imut.” Tama mengedipkan sebelah matanya. “Persis seperti mendiang kak Adriana.”

Victor menghembuskan nafas dengan kasar. Biarkan saja gadis itu. Menanggapi narsismenya tidak akan memberi keuntungan apa-apa.

“Oh, benar. Jika kamu mau membuatku mengulang praktik lapanganku, artinya kamu mau menjadi pamongku. Sudah diputuskan, kamu tidak boleh mengingkarinya!” sorak Tama, lalu berlari memasuki rumahnya.

Setelah mengunci pintu, Tama memegangi dadanya. Ada debaran yang luar biasa di sana. Kebahagiaannya sudah memuncak. Momen yang selama tiga tahun terakhir diharapkannya akhirnya terwujud.

“Aku tidak tahu, aku akan sebahagia ini. Jika tidak mengendalikan diri, mungkin aku sudah menjerit saat menyadari itu adalah dia,” ucap Tama pada dirinya sendiri.

“Kuharap, setelah menyebut nama Adriana, dia akan ingat tentangku.”

...~•~...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!