“Hidup ini memang sulit, tapi bukan berarti kita boleh menyerah. Mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidup hanya karena terhalang oleh satu-dua masalah adalah orang yang pengecut.”
...~•~...
“Jangan jadi pengecut. Bunuh diri itu bukanlah sebuah pilihan! Lari dari masalah tidak akan menyelesaikan apa-apa,” ucap Tama dengan semangat membara.
Victor tersenyum sinis sebagai tanggapan. Dia tahu Tama tidak berbicara padanya, tapi ceramah tidak berkesudahan mengenai berartinya hidup itu membuatnya merasa jengkel. Dia muak. Tama telah merusak sorenya yang nyaman.
Bagaimana dengan lawan bicara Tama? Pemuda itu sudah mendengar deretan omong kosong ini lebih lama dibanding Victor. Jika tidak dihentikan, Tama pasti tidak akan berhenti.
“Sudahlah, nona. Percuma kamu membujuknya,” ucap Victor, beranjak mendekat. “Biarkan saja dia melompat. Apa urusannya denganmu? Toh kamu tidak mengenalnya.”
“Tidak memiliki hubungan bukan berarti aku tidak boleh peduli, kan?” sengit gadis itu. “Aku bukan tipe yang bisa duduk dengan tenang melihat orang lain ingin bunuh diri.”
"Oh?" Mulut Victor membulat dengan wajah tak acuh. "Kamu peduli padanya? Aku kira kamu hanya sedang berusaha membuat hidupnya semakin tertekan. Bagian mana dari kalimatmu yang menunjukkan kepedulian? Apakah saat kamu mengatakan kamu peduli padanya? Saat mengatakan masalah yang dihadapinya tidak sulit?"
Victor terkekeh, lalu melanjutkan, “Kamu bahkan tidak tahu apa yang dilaluinya selama ini. Hanya karena kamu melarang dia bunuh diri, bukan berarti kamu peduli padanya.”
Victor menghembuskan nafas panjang. Melampiaskan semua kekesalannya sungguh kegiatan yang melegakan. “Sebaiknya kamu pergi saja. Kamu tidak akan sanggup menyaksikan adegan selanjutnya.”
Tama seperti ingin membantah, tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah. Ia tersenyum dan menyingkir dengan suka rela. “Kuserahkan sisanya padamu, Vic,” lirihnya.
Victor tidak akan memusingkan bagaimana gadis itu mengetahui namanya. Atau kenapa sikapnya berubah tiba-tiba. Yang terpenting adalah dia sudah pergi.
Victor ikut berdiri di tembok pengaman bersama pria yang ingin bunuh diri itu, memperhatikan tanah yang akan menyambut jika sampai mereka terjatuh.
“Aku tidak yakin melompat dari lantai tiga akan membuat kita mati. Kurasa, setidaknya harus dari lantai empat, dan disambut oleh tembok beton," ujar Victor.
“Terima kasih.”
Victor menoleh dan membaca kalimat itu tertulis di layar ponsel pemuda di sebelahnya. “Tidak bisa bicara, ya?” tanyanya secara frontal, lalu melanjutkan dengan gerakan tangan. “Pakai bahasa isyarat saja. Bisa, 'kan?”
Pria itu mengangguk, menggerakkan tangannya untuk mengatakan, “Bisa.”
“Tadinya aku heran, kenapa kamu diam saja mendengar ocehan gadis tadi. Ternyata...” Victor meregangkan otot-otot lengannya.
Pemuda di sebelah Victor tidak menanggapi. Dia hanya melirik layar ponselnya sejenak, kemudian menatap matahari yang kian turun. Seperti sedang terburu-buru.
“Kamu belum memberitahuku pendapatmu,” ucap Victor lagi. “Apa kamu yakin kita pasti mati jika melompat di sini?”
Pemuda itu memiringkan kepala, tanda tak mengerti. Rasanya seperti ada yang salah dari ucapan Victor hingga ia tidak tahu harus memberi respon seperti apa.
“Aku hanya ingin tahu seberapa besar peluang kita akan tewas jika melompat di sini." Victor mengangkat bahunya. "Siapa namamu?”
“R-a-y,” eja Ray dengan bahasa isyarat. "Apa yang kamu lakukan di sini? Sebaiknya kamu pulang."
“Aku juga selalu ingin bunuh diri. Sayangnya, aku pengecut, jadi tidak pernah mencobanya.” Victor tersenyum lebar. “Tapi kurasa, jika seseorang menemaniku, aku mungkin akan memiliki keberanian. Ayo bergandengan tangan dan melompat bersama!”
Ray dengan cepat menyambar uluran tangan Victor. Bukan untuk berjabat tangan, melainkan untuk mendorong Victor turun dari tembok pengaman.
“Jangan bermain-main!” amuk Ray. Tidak ada suara amukan, tapi ekspresinya sudah cukup untuk mengatakan betapa marahnya dia.
Victor sama sekali tidak menyangka Ray akan melakukan itu. Ia dengan cepat menetralisir kekagetannya, kemudian menopang dagu ke tembok pengaman dengan santai.
“Aku serius. Bukankah akan menyenangkan jika kita memiliki teman untuk diajak mati bersama? Kita mungkin juga akan sampai di dunia berikutnya pada saat yang bersamaan. Kita tidak akan kesepian.”
“Hentikan omong kosongmu dan pergilah,” tegas Ray melalui kedua tangannya.
“Aku penasaran. Kamu sepertinya berniat melarangku bunuh diri. Lalu kenapa kamu sendiri malah ingin bunuh diri?”
Ray melirik layar ponsel, kemudian mengabaikan Victor. Matanya fokus menatap langit yang sudah berubah menjadi jingga.
“Ah ... kamu tidak seru.” Setelah berpikir beberapa saat, Victor memutuskan untuk balik badan dan pergi. Sesuai keinginan Ray.
“Mood-ku tiba-tiba hilang. Aku akan bunuh diri lain kali saja. Semoga ber-”
“Tahan dia!” teriak Tama sambil menunjuk ke arah Ray.
Victor berbalik dan mendapati Ray sudah bersiap menjatuhkan dirinya. Sungguh detik-detik yang sangat menegangkan ketika ia reflek meraih lengan Ray. Terlambat satu detik saja, Ray pasti sudah bergelimang darah di bawah sana.
“Apa yang kamu lakukan?!” Tama berlari, dan segera membantu menarik Ray agar bisa naik kembali ke sisi atap. “Jangan menyia-nyiakan hidupmu!”
Dalam situasi menegangkan yang mempertaruhkan nyawa Ray itu pikiran Victor justru larut dalam imajinasinya sendiri. Ia melihat tanah di bawah sana dengan tatapan kosong, membayangkan tubuhnya terbujur tak bernyawa.
“Jika aku mencondongkan badan, aku pasti akan ikut jatuh bersama Ray. Seharusnya itu akan menjadi kecelakaan, bukan bunuh diri. Jika mati saat membantu orang ... aku tidak mungkin menyesal, kan?”
Victor tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia selalu ingin bunuh diri. Perlahan ia melemaskan dirinya agar mereka jatuh bersama. Akan tetapi ...
“Tolong, lepaskan aku.”
Suara serak itu menarik kembali kesadaran Victor. “Kamu tidak bisu?” tanyanya.
“Itu tidak penting sekarang! Cepat tarik dia, aku sudah tidak kuat,” ucap Tama.
Victor benar-benar lupa bahwa Tama masih di sini. Ia tidak punya pilihan selain menarik Ray dan menyelamatkannya. Saat kondisi mereka sudah lebih baik, sekeliling mereka gelap gulita.
“Tanganku sakit,” keluh Tama, bersandar ke tembok.
“Maaf,” tulis Ray di ponselnya. Ia hanya bisa bersimpuh dengan wajah yang tertunduk. Air matanya satu per satu mulai berjatuhan.
“Bukankah tadi kamu bisa bicara? Untuk apa menulis dan menggunakan bahasa isyarat?” keluh Victor acuh tak acuh dengan keadaan Ray. Tidak seperti orang yang baru saja menyelamatkan orang yang akan bunuh diri.
Tama melirik Ray dan Victor secara bergantian. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Ia tidak sanggup melihat wajah tertekan Ray, tapi ia juga tidak ingin disalahkan oleh Victor.
Ray menunduk semakin dalam kemudian berkata dengan lirih, “Seharusnya kalian tidak menyelamatkanku.”
“Kenapa kamu begitu ingin mengakhiri hidup?” jengah Tama. “Orang lain mati-matian bertahan hidup, dan kamu malah menyia-nyiakan hidup yang kamu miliki."
“Aku lapar,” potong Victor. Pria itu berdiri, memperhatikan area hutan di sekitarnya. “Dimana kita? Apa ada tempat makan di dekat sini?”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
🌺Mamie Ericka🌺
auto jadi daftar rak buku thor, ceritanya sangat menarik berbeda dengan cerita kebanyakan 👍 keren pokoknya 👍👏
2022-12-27
0
Auraliv
penulisannya rapi banget. btw ini si aku yg diprolog itu victor ya?
2022-12-24
0