“*Ingat ceritaku tentang perempuan yang bunuh diri setelah berhasil hidup bersama orang yang dia cinta? Itulah sosok pria yang ditinggalkannya. Dia menjadi gila karena cinta. Kata itu lagi. Menyebutnya saja membuatku geli*.”
~•~
Mengeluarkan emosi adalah kegiatan yang paling melelahkan. Terutama jika dilakukan dalam keadaan perut kosong, dan setelah berjalan cukup jauh.
“Selamat makan.” Victor menyambut makanannya dengan antusias. Namun, sebelum menyentuh hidangan-hidangan lezat itu, dia terdiam sejenak. Berpikir, berjalan menuju meja pemesanan kemudian kembali lagi.
“Ada apa?” tanya Tama.
“Makan saja makananmu,” jawab Victor.
Tama orang yang cepat belajar. Dia sudah mengerti bagaimana kemarahan dan kebencian Victor bekerja. Dan ia tahu sikap seperti apa yang tidak akan memacu hal itu. Jadi, Tama tidak akan menghancurkan mood Victor dengan memaksakan pertanyaan tidak penting itu.
Tanpa percakapan, makan pagi—di waktu yang hampir siang—itu berakhir dengan cepat. Suasana tidak menyenangkan ketika menemani Vero sudah menghilang tanpa jejak, tapi hari ini belum berakhir.
“Bawa ini,” perintah Victor sambil menyerahkan kantong makanan yang diberikan kasir.
“Untuk makan siang?”
“Perutmu masih belum terisi penuh?" Victor memutar bola matanya dengan malas. "Berikan padanya.”
Tama mengikuti arah yang ditunjuk Victor dengan matanya. Ada seorang pria tua dengan pakaian lusuh di seberang jalan.
“Kamu ingin membantunya? Kenapa tidak bilang baik-baik? Dan juga, apa salahnya berikan sendiri?” Tama mengangkat kedua bahu. Walaupun protes, gadis itu tetap melakukan apa yang diperintahkan.
Victor menahan Tama, dan tersenyum penuh makna. “Perhatikan penampilan dan cara bicaranya. Ini akan menyenangkan,” ucapnya diiringi kekehan ringan.
Pria tua itu mencengkeram lengan Tama. Entah apa yang dikatakannya, tapi kelihatannya sangat heboh. Victor sungguh tidak bisa menahan tawanya melihat wajah ketakutan Tama. Gadis itu berlari kembali ke sisi Victor.
“Bagaimana menurutmu?” ejek Victor.
“Kamu mengerjaiku.” Tama mengatur nafasnya yang terengah-engah, sementara pria tadi masih marah-marah dari tempatnya.
“Tidak, aku hanya menyuruhmu melakukan sebuah kebaikan,” ucap Victor masih dengan tawanya.
Victor mengabaikan segala bentuk protes dan kecaman yang dilontarkan Tama. Ia fokus pada pria tua itu. Pria yang memutuskan untuk membawa bungkus makanan yang barusan diberi Tama bersamanya.
Mata mereka bertemu selama beberapa detik. Tatapan itu seolah sedang mewakili sebuah percakapan. Pria tua itu kemudian mendengus dan berbalik pergi.
“Jadi, apa yang kamu lihat?” tanya Victor. Ia tidak ingin lagi melihat arah kepergian pria tua itu.
“Maksudmu, penampilannya? Dia kotor, bau, tua, dekil dan jelas tidak terurus. Bahasanya kasar sekali. Dia sepertinya meracau, mengatakan aku membunuh istrinya,” jelas Tama. “Kamu mengenalnya?”
“Tidak juga.” Victor menimbang sejenak, kemudian mengganti jawabannya. “Aku hanya sedikit mengenalnya. Apa kamu ingat ceritaku tentang wanita yang bunuh diri, meski telah berhasil bersama dengan pria yang dicintainya?”
“Ingat.” Tama mengangguk mantap. “Tapi kamu tidak mengatakan alasannya bunuh diri. Tidak mungkin karena bahagia, kan? Pasti ada masalah lain.”
“Masalah lain?” Victor berusaha berpikir keras. “Suaminya mencintainya, bekerja keras membiayai kehidupan mereka. Keluarga mereka menentang, tapi juga tidak bisa melakukan apa pun. Satu-satunya masalah yang dimilikinya adalah dirinya sendiri.”
“Aku tidak bisa menanggapi cerita yang tidak jelas ujung pangkalnya ini.” Tama menggaruk tengkuknya.
“Kamu tidak perlu mengetahui kehidupan mereka secara rinci. Cukup ketahui dua orang ini saling mencintai. Yang satu bunuh diri seraya menyesali perasaannya sendiri. Dan yang satu lagi menjadi gila karena ditinggalkan oleh orang yang paling dicintainya.”
Tama melenguh. “Aku tidak mengerti, kenapa kamu berkata begitu?”
Victor kembali melihat ke arah pria tua itu menghilang. Sedetik kemudian, wajahnya berubah menjadi santai kembali. “Tidak ada. Aku hanya ingin memberi nasehat. Cinta itu memperdaya. Jadi, jangan sampai kamu jatuh cinta.”
“Aku sudah jatuh cinta.” Tama menggenggam tangannya sendiri. “Dan kamu tahu siapa orangnya.”
“Berbicara tentang si tua itu, aku jadi ingat, bukankah ayahmu kaya raya?” Victor mengalihkan. “Dia pasti memberikan kehidupan yang mewah untukmu. Bagaimana rasanya tiba-tiba harus tinggal di kontrakan kecil dan mengikutiku jalan kaki berkilo-kilo meter?”
“Sulit. Kontrakan itu tidak lebih besar dibanding kamarku. Dan kakiku sakit setiap malam.” Tama tersenyum. “Anggap saja aku sudah terperdaya oleh cinta. Demi lebih dekat dengan orang yang kucintai, aku rela melakukan apa pun.”
“Aku membenci keluargamu.” Victor melirik alis Tama yang bertautan karena bingung. "Mereka sama buruknya dengan ayah- bukan cuma ayah, tapi semua orang di sekitar Vero."
“Kamu bahkan tidak mengenal keluargaku.”
“Saat pertama kali bertemu, aku mendengar mereka berbisik satu sama lain. Mencurigai bahwa aku adalah seorang wartawan yang menyusup. Bagaimana jika sampai berita esok hari memuat kondisi terkini Adriana?” jelas Victor.
Ketika itu, Victor masih berusaha berpikir positif. Namun, setelah bertemu lagi di hari kepergian Adriana, ia menyadari hal menjengkelkan itu. Tentang bagaimana keluarga itu menganggap percobaan bunuh diri Adriana sebagai aib keluarga.
“Mereka hanya mementingkan reputasi. Mereka seperti ingin menyumpahi jasad Adriana. Mereka-“
“Aku sudah tahu,” potong Tama. “Aku jelas paling tahu hal itu. Jangan dikatakan lagi.”
“Saat Alina melompat di restoran, pegawai di sana juga menganggapnya sebagai nasib buruk.” Victor terkekeh. “Menganggap orang yang bunuh diri menjijikkan, padahal merekalah yang mengakibatkan tindakan itu. Terkadang, aku berpikir, mungkin sudah saatnya manusia musnah.”
“Aku pikir, pembicaraan ini sudah berakhir.” Tama memalingkan wajahnya.
Sebagai orang yang paling dekat dengan Adriana, ia pasti terluka oleh sikap keluarga besarnya. Jika Ayahnya bukan kepala keluarga, mereka pasti melontarkan semua hinaan itu secara terang-terangan.
“Setelah kuperhatikan, sepertinya kamu tidak sampai menjijikkan seperti mereka.” Victor tersenyum dan mengusap puncak kepala Tama. “Setidaknya kamu masih memiliki hati nurani.”
Wajah Tama memerah. Ucapan Victor menghangatkan hatinya. “Terima kasih.”
“Jangan salah paham, aku hanya mengatakan bahwa kamu lebih manusiawi. Sekarang, pergilah ke yayasan.” Victor tersenyum mengejek. “Bukankah nona muda ini sudah kelelahan dan tidak sanggup lagi berjalan?”
“Apanya-“ Tama merasakan kakinya gemetaran. Berapa jauh ia berjalan sejak pagi? Empat atau lima kilometer, mungkin?
“Lihat?” Victor tertawa lepas. “Sana. Anggap saja ini perintah dari pamongmu.”
Mata Tama seketika berbinar saat Victor mengakui diri sebagai pamongnya. Namun, ia segera menggeleng dengan tegas. “Tidak mau. Aku tidak akan meninggalkan kamu sedetik pun. Siapa yang tahu kapan kamu akan kembali?”
“Tenang saja. Jika tidak ada halangan, aku akan di rumah sebelum matahari tenggelam.”
“Apa jaminannya?” tuntut Tama.
Victor mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji kelingking, mungkin?”
“Kamu ini umur berapa? Jari kelingking mana bisa dijadikan jaminan,” dengus Tama.
“Bukankah perempuan menyukai hal kekanak-kanakan begini?” Victor mengepalkan tangannya. “Bagaimana dengan tinju? Kamu bebas memukuliku nanti jika tidak menepati janji. Cukup adil?”
Tama memukul pelan tinju Victor. “Sudahlah. Pastikan saja ponselmu tetap menyala untuk mengangkat panggilanku.”
“Setuju. Sekarang, pergilah.”
Victor melambaikan tangan pada taksi yang ditumpangi Tama. Dalam satu lambaian, senyumnya lenyap. Ia menghembuskan nafas berat. Mengusir sambil tersenyum memang cara paling mudah untuk menghadapi seorang gadis muda seperti Tama.
Belakangan ini, Victor tidak memiliki banyak waktu sendiri. Banyak hal terjadi. Ia perlu berjalan dan memikirkan semuanya. Seperti biasa.
Ketika asyik berpikir, Victor bertemu lagi dengan pria tua tadi. Akan tetapi, pria itu tidak menyadari keberadaan Victor karena sibuk memarahi setiap orang yang ditemuinya.
“Tidak memiliki orang untuk dimarahi membuatnya gila,” batin Victor. “Dia masih pria tua pemarah yang sama.”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments