Suara Kambing Hitam yang Teredam

“Aku adalah kambing hitam. Sudah takdirku untuk selalu menjadi orang yang salah. Tidak boleh ada penyangkalan. Tidak boleh membela diri. Percuma. Semuanya sia-sia. Tidak akan ada yang percaya ataupun peduli.”

...~•~...

Ian dan Elia adalah sepasang kembar perempuan dan laki-laki. Lahir dan tumbuh bersama membuat mereka tidak terpisahkan. Mereka dapat saling mengerti, meski hanya lewat tatapan mata. Pasangan kembar memang sering kali memiliki insting seperti itu, bukan?

Terbiasa saling berbagi membuat mereka berpikir kehadiran seorang adik lagi akan sangat menyenangkan dan mereka bertiga akan saling menyayangi. Sayangnya, kenyataan jauh berbeda dari ekspektasi mereka. Orang dewasa ternyata memberi lebih banyak perhatian pada pendatang baru itu.

Biasanya, apa yang didapat Ian, Elia akan mendapatkannya juga. Namun, saat bayi kecil itu mendapat sesuatu, mereka dilupakan. Pasangan kembar itu saling tatap, ada kemarahan yang sama di hati mereka.

Kecemburuan yang bahkan tidak disadari kedua orang tua mereka itu membesar tanpa bisa dikendalikan. Mereka mulai melakukan hal-hal buruk dan menuduh adik merekalah yang bersalah.

Melihat si adik hanya dimarahi saat di rumah saja mulai membuat mereka bosan. Anak yang menyita semua perhatian itu harus dibenci juga di sekolah. Di jalanan. Dimana pun ia berada.

Harapan Ian dan Elia terkabul. Adik kecil mereka dibenci, dikucilkan bahkan dibully di sekolah. Perbuatan mereka semakin menjadi-jadi, hingga membuat si adik drop out dari sekolah.

Lalu, apa yang dilakukan Ray, sebagai si adik? Tidak ada. Lebih tepatnya, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.

Pada awalnya, ia selalu membela diri dengan mengatakan yang sebenarnya. Ian dan Elia memfitnahnya. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang percaya.

Semakin Ray membela diri, semakin ia disalahkan. Ia lelah. Biarkan saja mereka marah, Ray tidak akan mengatakan apa pun lagi untuk membela dirinya. Ia berjanji pada dirinya untuk tidak pernah bicara lagi.

“Karena itu kamu bisu?” Victor menanggapi seadanya.

Ray mengangguk. Tenggorokannya gatal karena ini pertama kalinya ia berbicara lagi dengan orang lain.

“Makan dan minumlah. Wajahmu pucat.” Victor menambah lebih banyak makanan ke piringnya.

“Bukankah diam justru hanya akan memperburuk keadaan?” desak Tama. “Apa karena itu kamu ingin bunuh diri?”

“Apa urusannya denganmu?” Alis Victor menukik tajam. Ia masih kesal dengan sikap Tama sebelumnya. Gadis itu mengutip omong kosong mengenai kehidupan dari berbagai sumber, seolah dia tau segalanya.

“Kurasa kamu benar.” Ray memainkan jari-jarinya di bawah meja, seolah menggambarkan pergulatan antara hati dan pikirannya. “Kamu benar. Segalanya menjadi lebih buruk setelah aku membisu.”

“Pada awalnya, aku adalah kambing hitam dari semua kesalahan Ian dan Elia. Setelah membisu, aku menjadi kambing hitam untuk kesalahan semua orang. Teman, guru, pengurus sekolah, rekan kerja, semuanya. Apa pun hal buruk yang terjadi seketika akan menjadi salahku.”

Ray tersenyum getir saat mengingat kembali semua kejadian yang menimpa dirinya.

“Aku masih belia saat itu. Ketika aku sadar bahwa diamku justru memperburuk keadaan, semuanya sudah terlambat. Keadaannya membuatku tidak mungkin untuk berbicara lagi.”

Ray mengangkat kepala, melihat Victor dan Tama secara bergantian. Ia menarik paksa sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun, kepedihan dan tragedilah yang membayang di wajahnya. Rasa sakit dari masa lalu benar-benar telah menghancurkan dirinya.

“Aku sudah terbiasa dipukul sampai tubuhku mati rasa. Aku sudah terbiasa dibentak dan dimaki, rasanya seperti aku akan menjadi tuli karenanya.”

Victor menyingkirkan piringnya. Selera makanya hilang tak bersisa. “Terbiasa.” Victor membeo. “Kalau begitu, kamu pasti sudah cukup kuat untuk bertahan di situasi itu, bukan?”

“Sampai kemarin, aku masih bisa. Tapi hari ini aku menyesal sudah dengan percaya diri mengatakan pada diri sendiri bahwa aku pasti bisa bertahan. Aku menyesal sudah melayangkan harapan tinggi bahwa hari esok akan lebih baik.”

“Andai aku lebih berani, andai aku tidak pernah menyerah untuk membela diri, andai aku tidak membisu.” Suara Ray bergetar, begitu pula tubuhnya.

Victor langsung membantu Ray untuk meminum segelas air putih. Bibirnya terkatup rapat tanpa ekspresi, tapi percayalah, hatinya sangat tersentuh dengan kehidupan Ray.

“Jangan dilanjutkan jika tidak mau pingsan,” ucap Victor datar.

“Kamu seorang pria.” Ray menahan lengan Victor. “Apa menurutmu aku cantik seperti seorang perempuan? Apa aku menaikkan birahimu?”

Victor memperhatikan wajah Ray dengan saksama. Hanya mulut dan ujung hidung yang dapat dilihat dengan jelas, sedangkan matanya tertutup dibalik poni Ray yang panjang.

“Tidak,” jujur Victor. Dia memang tidak tertarik pada hal yang berbau seperti itu. Lebih tepatnya, selain mati, tidak ada yang menarik perhatiannya.

“Tentu saja! Karena itu tidak ada yang percaya pria bejat itu melecehkanku!” bentak Ray. Pemuda yang lama membisu itu melepaskan semua kemarahannya dalam satu teriakan. "Pria mana yang akan melecehkan pria lain yang bahkan tidak terlihat menarik?"

“Jika aku tidak lemah, hal itu tidak akan terjadi! Jika aku ... jika aku tidak membuat diriku bisu, mereka tidak akan berpikir bahwa aku yang menggoda pria tidak tahu malu itu.”

“Lalu, kamu akan tetap bisu hingga akhir hidupmu?”

Ray hanya diam. Air mata yang terus berdesakan keluar membuatnya kembali membisu. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya sekarang. Bukankah mati akan jadi pilihan terbaik? Tidak akan ada lagi penderitaan yang ia rasakan.

“Ini kartu namaku.” Victor meletakkan kertas kecil ke atas meja. “Jika ada yang kamu inginkan, cari saja aku. Entah ingin mati atau hidup, apa pun itu.”

Setelah meletakkan beberapa lembar uang kertas, Victor pun beranjak pergi. Ia melirik sejenak pria tua pemilik rumah makan. Beruntung dia tuli. Jika tidak, mungkin dia akan mengganggu percakapan mereka.

“Apa tidak masalah meninggalkan Ray seorang diri?” tanya Tama, menyusul langkah Victor.

Victor melanjutkan langkahnya seolah tidak mendengar apa pun. Jika dibiarkan, Tama pasti akan pergi dengan sendirinya. Mungkin?

“Kamu yakin dia akan baik-baik saja jika ditinggalkan sendiri? Dia tidak akan mencoba bunuh diri lagi, kan?” Tama memperjelas pertanyaannya.

“Kalau kamu peduli, kenapa tidak menemaninya? Untuk apa mengikutiku?” usir Victor.

“Tapi kamu kan pamongku, tentu saja aku akan mengikuti tindakanmu.”

“Ya?” Victor menghentikan langkahnya. Ia menatap gadis asing itu dari atas sampai bawah dengan saksama. Ia sama sekali tidak mengenalnya. “Kamu pasti salah orang.”

"Berhenti sebentar," ucap Tama dengan nafas tersengal akibat mengikuti langkah Victor yang panjang dan cepat. “Tadi aku terlalu fokus pada Ray, sehingga tidak langsung mengenalimu. Tapi aku yakin, kamu memang Victor.”

“Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang sepertimu. Ganggu orang lain saja." Victor mengibaskan tangannya.

“Aku serius. Pagi ini Bu Ginette sudah menyetujui kamu yang akan menjadi pamongku. Bukankah seharusnya kamu mengikuti arahan yayasan?”

Victor terkekeh. “Kamu percaya diri sekali saat membawa nama Ginette. Kamu pikir aku akan takut hanya karena dia ketua yayasan?” ejek Victor. Ia memangkas jarak antara wajahnya dan Tama.

...~•~...

Terpopuler

Comments

🌺Mamie Ericka🌺

🌺Mamie Ericka🌺

Seketika aku jatuh cinta dengan Victor 😂😂 karakter benar-benar mind blowing banget!

2022-12-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!