“*Bersama keberuntungan yang dibawa, maka akan ada keirian yang mengikuti. Semua terjadi secara alami, tanpa disengaja. Seperti hidupku*.”
...~•~...
Victor melepaskan helm, lalu menyugar rambut berantakannya. Ia melirik pada belasan orang yang mendongak sambil mengangkat ponsel mereka. Satu-dua berbisik mendiskusikan apakah pemuda di atas sana sungguh akan melompat atau tidak.
"Memangnya ini tontonan?" Victor mendengus. Pagi ini Ginette menelepon tentang laporan percobaan bunuh diri, karena itulah Victor di sini. Namun, dia menyesal telah datang. Di hadapan orang seramai ini, dia tidak mungkin mengajak pemuda itu untuk bunuh diri bersama. "Ya, sudahlah."
“Hei, bocah,” panggil Victor. “Kamu baik-baik saja?”
“Apa aku terlihat baik-baik saja?” Remaja itu menunjukkan air matanya yang sudah berlinang. “Aku masih baik-baik saja,” ucapnya serak.
“Serius?” Victor mendekat. “Apa orang-orang ini tidak membuatmu merasa terganggu?”
“Jangan mendekat!” Remaja itu menunjuk ke lantai. “Satu langkah lagi, aku akan lompat!”
Victor menatap kaki remaja itu. Gemetaran. Bisa dipastikan, dia takut untuk melompat. Victor yakin, dia masih ingin tetap hidup.
“Apa kamu tidak masalah menjadi pusat perhatian begini?”
Victor mengintip, menemukan lebih banyak orang yang bergerombol di bawah sana. Mereka penasaran. Apa mereka menanti remaja ini melompat? Jangan-jangan mereka malah membuat taruhan.
“Sepertinya kamu akan viral karena ini,” ucap Victor. “Luar biasa, huh?”
“Dan sayangnya, saat itu terjadi aku sudah tidak bernyawa. Tidak bisa menikmati kepopuleran itu. Begitu, bukan?” sinis remaja itu.
“Mungkin.” Victor melirik gerombolan lain di belakangnya. “Tapi sungguh, aku tidak nyaman dengan tatapan mereka. Mau mengobrol di tempat lain?”
Remaja itu tersenyum semakin sinis. “Percuma. Kamu tidak akan bisa membujukku. Kamu kira aku akan percaya? Aku tahu apa yang kamu rencanakan. Membawaku pergi, mengucapkan kata-kata manis, kemudian meninggalkanku sendirian lagi.”
Victor mengedip dua kali. Dia bahkan tidak pernah memikirkan hal seperti itu. Dan jika pernah, dia tetap tidak akan melakukannya. Victor tidak suka ikut campur dengan keputusan orang yang ingin bunuh diri.
“Kamu sungguh berpikir aku akan melakukan itu?” tanya Victor tak percaya.
“Tidak perlu pura-pura bodoh. Semua orang tahu siapa Victor. Pencegah bunuh diri terbaik di kota ini. Ada puluhan orang berhutang nyawa padanya. Bla-bla-bla.”
Victor tidak kuasa menahan tawanya. “Begitukah mereka menilaiku? Aku penasaran kenapa akhir-akhir ini orang-orang selalu menghubungi yayasan untuk kejadian begini. Dan ternyata, inilah alasannya.”
“Berhenti tertawa,” jengkel remaja itu.
“Maaf, maaf. Aku hanya terkejut, bagaimana bisa mereka berpikir begitu?” Victor mendekat dan memelankan suaranya. “Sebenarnya, sebagian besar yang kutemui berakhir bunuh diri sungguhan.”
“Mau mempermainkan aku, ya?!” Remaja itu mengibaskan lengannya, membuat Victor hampir saja terjun bebas.
Para penonton histeris, tapi Victor memberi isyarat agar mereka tidak mendekat. “Tenang saja, aku masih hidup!” soraknya.
“Sayangnya, aku masih hidup,” ulang Victor dalam hati. Lagi, dan lagi, dia hampir mati. Hanya hampir. Kenapa tidak mati sungguhan agar semuanya berakhir? Semakin dipikirkan, semakin menyebalkan.
“Maaf, aku tidak bermaksud.” Remaja belasan tahun itu memalingkan wajahnya dengan perasaan bersalah. Bagaimanapun, memang tidak seharusnya ia mendorong Victor.
“Sudahlah.” Victor menghela nafas. Mungkin dia kurang beruntung saat ini. “Jadi, bagaimana? Mau pindah tempat? Aku bisa membuatmu lebih yakin untuk bunuh diri, tapi tidak di depan semua orang.”
“...”
“Aku bisa lihat bahwa kamu sedang takut. Apa gunanya berlama-lama dengan puluhan penonton di sini, tapi pada akhirnya tidak jadi bunuh diri?” bisik Victor.
“Ya! Benar! Aku memang takut! Lalu, kenapa? Apa urusannya denganmu?!” bentak remaja itu. “Aku tidak akan ikut denganmu. Titik!”
Victor menatap pemuda itu tanpa berkedip. Tentu saja, pada akhirnya dia mengikuti Victor tanpa perlawanan.
“Kamu membawa motor seperti orang gila,” keluh Vero.
Remaja yang beberapa saat lalu hampir membuat Victor merenggut nyawa itu terduduk lemas. Melompat dari tempat tinggi adalah cara bunuh diri terburuk yang dapat dipilih oleh seorang yang fobia pada ketinggian.
“Bukankah kamu terlalu lancang, berbicara seperti itu pada orang yang jauh lebih tua?” Victor melepas resleting jaketnya. “Walaupun wajahku seperti ini, aku sudah 29 tahun.”
“Tanpa diberi tahu pun, aku bisa melihat kamu sudah tua. Ada banyak keriput di dahi, pipi dan sisi matamu. Orang bodoh mana yang akan salah sangka?” Vero mengangkat bahunya acuh tak acuh.
“Dengan kelakuan seperti itu, aku rasa tidak akan ada yang mau berteman denganmu. Karena itukah kamu berkeliaran di jam sekolah?” sindir Victor.
Vero berhenti memandangi sekelilingnya, fokus pada pembicaraannya dengan Victor. “Memang tidak punya.”
“Aku bisa lihat, sejelas kamu melihat keriputku.” Victor terkekeh. “Aku jadi sedikit menyesal membawamu ke ruangan pribadiku.”
“Mereka semua sialan! Aku sudah mencoba berteman baik-baik, dan ini yang kudapat.” Vero menunjuk pipinya yang membiru. “Mereka malah memukuliku! Selalu saja begitu.”
Vero memeriksa ponselnya sejenak, kemudian membuangnya sembarangan ke meja. “Orang-orang di media sosial ini sama saja. Mereka terus mengatakan hal-hal buruk. Aku ingin mati saja. Apa kamu punya pisau?”
Victor memeriksa ponsel bocah itu, melihat apa saja isi sosial medianya. Keluhan tentang hidup. Dirinya yang tidak punya teman. Keluarga yang tidak peduli. Dan semua komentar yang menyebutnya mencari perhatian. Beberapa bahkan melontarkan anjuran untuk bunuh diri.
Masyarakat yang menjijikkan. Victor berpikir begitu, tapi mungkin dirinya tidak jauh berbeda. Dia jelas-jelas juga sering menyuruh orang untuk bunuh diri. Ray adalah contoh nyatanya.
Semakin banyak yang dibacanya, membuat Victor semakin kesal. Jadi, dia melempar ponsel itu kembali ke asalnya, membuat si pemilik yang sibuk berkeliaran sambil mengoceh menoleh.
“Kenapa kamu melemparnya? Kalau rusak bagaimana? Kamu mau ganti?” sangsi Vero. “Untung tidak retak.”
Victor menyentuh leher Vero, mengekspos garis kebiruan di sana. “Sepertinya masih baru.” Dia tahu betul tanda itu hanya bisa disebabkan oleh jeratan tali.
“Apa sih.” Vero menepis tangan Victor. “Memangnya aneh kalau aku mencoba gantung diri?”
“Tidak aneh.” Victor menangkap tangan Vero, menunjukkan goresan pisau di sana. “Ini juga tidak mengherankan. Tapi aku akui, ini bodoh. Kamu harus membuat luka yang lebih dalam jika sungguh ingin mati. Sekitar 2 cm.”
“Kamu bicara apa sih,” potong Tama yang baru saja masuk ke ruangan. “Jangan mengajarkannya cara bunuh diri.”
Victor memutar bola matanya. Dalam pembicaraan seperti ini, kehadiran Tama adalah hal yang paling tidak diinginkan olehnya. Gadis membosankan itu pasti akan mulai mengatakan bahwa hidup ini berharga. Atau semacamnya.
Ruangan itu seketika lengang. Victor enggan berbicara saat Tama berada di sana. Sementara Vero kehabisan kata-kata karena gadis yang sama. Tama pun menyadari bahwa dirinya sudah membuat suasana menjadi canggung.
“Ini membuatku gila,” ucap Vero pada akhirnya. Ia berdiri dengan jengkel. “Aku akan pergi saja. Tidak ada gunanya tetap di sana.”
“Silakan saja,” balas Victor dengan senang hati.
“Ya-ya. Seseorang terlihat seperti ingin mengusirku sejak tadi.” Vero berdecak kesal.
“Senang kamu menyadarinya.” Victor tersenyum mengejek. “Oh, benar. Aku penasaran, apa maksudnya, ‘aku seperti kucing jantan belang tiga’? Kamu menulis itu di sosial mediamu.”
“Kamu tidak tahu? Kucing jantan belang tiga itu langka dan dipercaya membawa keberuntungan.” Vero menyugar rambutnya, berlagak keren. “Aku tampan, gagah, berani dan cerdas. Bukankah aku sama seperti kucing itu?”
“Kamu terlalu percaya diri,” ejek Victor.
“Tapi, apa kamu tahu?” Vero beranjak pergi, lalu berhenti sejenak di depan pintu. “Menurut kepercayaan di beberapa tempat, mereka dibenci oleh rasnya. Ayah mereka yang merasa tersaingi bahkan tega mencelakai dan memakan mereka agar tidak tumbuh. Begitulah.”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments