"*Dia meninggalkanku dengan segala perasaan menyesakkan ini. Dengan penyesalan yang pasti kuingat seumur hidup. Dengan luka yang tidak akan pernah sembuh. Kenapa tidak kamu bawa saja aku bersamamu? Bukankah kita saling mencintai*?"
...~•~...
"Akhirnya kamu sampai," sambut Ginnete. "Aku sudah berusaha untuk menyuruhnya pulang, tapi dia bersikeras ingin bertemu denganmu."
"Tidak masalah, aku juga sedang tidak sibuk." Victor berjalan melewati Ginnete. "Dia di ruanganku, 'kan?"
"Aku senang melihatmu sering berada di yayasan. Haruskah aku membuatkan minuman untuk kalian?" tawar Ginnete.
"Boleh." Victor berhenti sejenak sebelum memasuki ruangannya, menghadang Tama. "Kamu tunggu di sini saja. Aku tidak suka ada yang menginterupsi percakapanku. Apalagi oleh orang seperti kamu."
"Apa maksudnya itu? Bukankah kamu bilang akan mulai bersikap normal padaku?" Tama merengut, merasa telah dibohongi oleh Victor.
"Itu sudah menjadi aturan tidak tertulis di yayasan. Saat ada tamu untuk Victor, mereka akan mengobrol berdua tanpa gangguan siapa pun. Ayo, kamu ikut aku membuatkan minuman saja," bujuk Ginnete.
"Ayolah ... kamu kemana? Angkat teleponmu, atau setidaknya balas pesanku." Seorang wanita bergumam sambil menggigit ujung jarinya. Dia tidak bisa berhenti bolak-balik di ruangan Victor.
"Apa ada masalah?" tegur Victor.
"Aku tidak yakin. Adikku sama sekali tidak bisa dihubungi. Biasanya dalam keadaan mendesak sekalipun, dia akan menyempatkan diri untuk membalas pesanku." Wanita itu sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. "Ayolah, Alina, kamu di mana?"
Victor mengerjap, lalu menahan bahu Yesie. "Alina adikmu?" tanyanya tidak percaya.
"Memang kenapa? Kamu mengenalnya?"
"Apa kamu tidak ingat kejadia tiga hari yang lalu?" ucap Victor hati-hati. "Di restoran-"
Teriakan Yesie menghentikan kalimat yang ingin diucapkan Victor. Ia menarik rambutnya sekuat tenaga. "Tidak ... tidak ... i-itu tidak benar. Itu hanya mimpi buruk. Pagi ini Alina masih membalas pesanku."
Sisi kemanusiaan Victor bergetar mendengar teriakan demi teriakan yang dilontarkan Yesie. Jika kalian lupa, Yesie adalah saudara tiri Alina yang bunuh diri saat Victor, Tama dan Ray sedang makan malam bersama. Dia menolak cinta gadis itu.
Bibir Victor bergetar. Ia pernah menjadi keluarga dari seseorang yang bunuh diri. Bahkan dirinyalah penyebab insiden itu. Akan tetapi, dia tidak semenderita Yesie. Apakah ...
"Apakah sebenarnya kamu juga mencintainya?"
Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Victor. Pertanyaan yang jawabannya dapat disimpulkan sendiri oleh Victor. Lihatlah, Yesie semakin histeris menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Alina.
"Aku tidak seharusnya mengatakan hal itu ..." Yesie terduduk lemas di lantai. "Seandainya aku menjawab dengan cara yang lebih baik ... tidak, seharusnya aku jujur agar kami bisa bersama. Jika dia ingin melarikan diri, aku akan mendampinginya. Bahkan jika ia ingin mengakhiri hidup ..."
Victor yang awalnya hanya diam dan memperhatikan, bersimpuh di depan Yesie. Ia menggenggam erat tangan kanan Yesie, menepuk-nepuknya pelan. Yesie menggenggamnya balik.
"Dia bilang dia mencintaiku, tapi kenapa dia pergi begitu saja? Kenapa dia tidak mengajakku?" tuntut Yesie. "Aku ingin ikut dengannya. Aku mau mati saja ..."
"Aku mengerti perasaanmu." Victor mengangguk mantap. "Hei, kenapa kita tidak duduk di kursi saja? Lantai ini kotor dan dingin. Setelah itu kita bisa lanjut mengobrol."
Yesie menurut sambil bergumam, "Di dalam kuburan Alina pasti lebih dingin, lembab dan gelap. Dia sendirian dan kesepian. Haruskah aku menemaninya?"
Victor dengan sabar menenangkan Yesie. Membantunya untuk kembali sadar. Butuh waktu yang cukup lama, dan dia harus mendengar berbagai racauan Yesie yang tidak jelas. Setidaknya, usaha Victor berhasil.
"Apakah kamu sudah tenang?" Victor memastikan. "Kalau begitu, apa aku boleh tahu kenapa kamu ingin bertemu denganku?"
"Maafkan aku. Padahal aku hanya ingin berterima kasih karena kamu sudah menghalangi tamu restoran memotret kondisi Alina, tapi aku malah mengacau di sini," jelas Yesie. "Aku masih tidak percaya dia sudah meninggal. Aku bahkan berhalusinasi mendapat pesan darinya."
Hanya itu? Yesie telah membuang-buang waktu Victor yang berharga. Victor pun menghela nafas kecewa. "Tidak perlu dipikirkan, yang aku lakukan tidak banyak."
"Bagi kami itu sangat berarti. Jika tidak kamu halangi, maka wajah Alina akan terpampang di koran, surat kabar, dan media-media sosial. Menjadi tontonan. Dia sudah tiada, kami tidak akan bisa menerima jika seseorang menghujatnya."
"Aku mengerti."
"Alina adalah anak yang dibawa Mama saat menikah dengan Papa. Kami tidak memiliki hubungan darah, tidak pernah saling mengenal sehingga hubungan kami sangat buruk di awal. Kami saling membenci."
Yesie menerawang ke langit-langit. Mengingat bagaimana dulu ia sering bertengkar dengan Alina. Papa dan Mama mereka kewalahan, dan hampir menyerah. Kemudian ...
"Melihat kepribadiannya yang lemah membuatku kesal, sekaligus kasihan. Aku tidak mungkin diam saja saat saudariku hampir dirundung, 'kan? Jadi aku membantunya. Sejak itu, perlahan hubungan kami membaik."
Yesie sangat menyayangi Alina seperti adik kandungnya sendiri. Perasaan itu perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lain tanpa di sadari siapa pun. Tidak ada yang dapat mencegahnya berkembang semakin kuat.
Di sisi lain, Alina mulai memiliki perasaan yang sama, tapi dia tidak bisa menyembunyikannya. Mama dan Papa dengan mudah menyadari hal itu. Mereka mengajak Yesie berdiskusi, dan memutuskan bahwa kedua putri mereka harus mulai menjaga jarak sebelum terlambat.
"Saat itu aku sadar, bahwa perasaanku kepadanya ini salah. Menentang norma. Aku setuju dengan ide Mama, aku tidak ingin Alina terjebak dalam perasaan yang sama. Karena itu, saat dia menyatakan perasaan, aku menolaknya dengan tegas. Ternyata ..." Suara Yesie tercekat. "Maaf, aku malah bicara kemana-mana."
"Tenang saja. Di ruangan ini kamu bebas mengatakan apa pun." Victor tersenyum hangat. Dia tidak pernah mendukung hubungan sesama, pun tidak pernah menentangnya. Lebih tepatnya, Victor tidak peduli dan tidak ingin terlibat. Ia hanya tersenyum agar terlihat sopan.
"Kamu pria yang baik. Entah perempuan beruntung mana yang akan mendapatkanmu." Yesie balas tersenyum. Yah, perempuan beruntung yang dimaksud Yesie tidak akan pernah ada. "Oh, benar. Aku juga membawa sedikit sumbangan untuk yayasan. Sebenarnya, aku sedikit malu menyerahkannya, karena terlalu sedikit."
"Tidak perlu malu. Kami selalu menerima bantuan sekecil apapun, bukan hanya berupa materi. Kami juga akan senang menyambut relawan baru, jika kamu mau bergabung." Victor menerima amplop coklat yang diserahkan Yesie. "Lain kali kamu bisa langsung ke bagian administrasi."
"Tentu. Dan terima kasih tawarannya, aku akan memikirkannya. Untuk sekarang, aku izin pamit." Yesie bangkit, sedikit membungkuk, lalu meninggalkan ruangan.
"Lagi-lagi seseorang ingin mengakhiri hidupnya karena cinta." Victor melirik Tama yang berdiri seperti patung beberapa langkah darinya. Dia sudah begitu sejak mengantarkan minuman.
"Tenang saja. Aku tidak akan bunuh diri karena ditolak." Tama tersenyum lebar. "Kamu juga tidak."
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Auraliv
tama gemesin banget🤣
2023-01-18
1
Auraliv
sama, vic. aku juga tim netral kalau masalah itu😆. intinya gk mau terlibat
2023-01-18
1