“*Dan beginilah kenyataannya. Seperti inilah masyarakat yang sebenarnya. Masyarakat yang sangat aku benci, melebihi apa pun. Tapi, apa yang bisa kulakukan*?”
...~•~...
“Apa tidak masalah membiarkannya pergi begitu saja?” tanya Tama. “Bagaimana jika dia mencoba bunuh diri lagi?”
“Tidak dalam waktu dekat ini.” Victor merebahkan badannya di atas sofa. Sungguh, tubuhnya merindukan tidur yang nyaman.
“Kamu yakin?”
“Seyakin matahari masih terbit dari timur.” Victor diam sejenak. “Selagi dia masih berkoar-koar untuk bunuh diri, dan melakukannya di tempat ramai, artinya dia masih ingin bertahan.”
“Maksudnya?”
“Jika dia diam saja dengan masalahnya, pasti dia akan bunuh diri karena terlalu tertekan. Namun, kalau dia mengutarakan perasaannya, hatinya akan terasa lebih lapang. Kamu tidak belajar hal semacam itu?”
Orang yang bunuh diri adalah orang yang tidak mampu menanggung masalahnya sendiri. Dan mereka enggan untuk membaginya dengan orang lain. Sementara orang yang bersorak ingin bunuh diri sebenarnya sedang meneriakkan permintaan tolong.
“Orang seperti Vero hanya butuh dukungan. Sayangnya, dia tidak bisa mendapatkannya.”
“Kamu tidak akan membantunya?” desak Tama.
“Dengan apa? Menjadi saudaranya? Jangan gila. Sudah kubilang, aku tidak ingin terlibat dengan siapa pun.” Victor memejamkan matanya. “Sudahlah, aku mau istirahat.”
Tidak terlibat dengan siapa pun. Maksudnya, tidak memiliki hubungan dengan siapa-siapa. Tidak bergantung, atau menjadi tempat bergantung. Victor yakin mereka hanya akan menjadi penghalangnya untuk bunuh diri. Membuat Victor ragu dengan keputusannya.
Meski begitu, setelah seharian beristirahat, Victor dengan isengnya diam-diam menghampiri rumah Vero. Tidak sopan memang, tapi Victor terus menguping keributan yang terjadi sebelum Vero muncul dengan seragam sekolah lengkap. Ayah dan anak itu saling mengumpat.
“Oh, kenapa kalian di sini?” Vero mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Wajah kusutnya seketika berubah jadi senyum menjengkelkan. “Merindukanku, ya?”
“Aku sedang jalan-jalan pagi, dan dia sedang menguntitku. Itu saja,” dalih Victor.
“Aku kira kalian pacaran.” Vero memimpin jalan.
“Sungguh? Apa menurutmu kami cocok jika bersama?” Tama tersenyum lebar.
“Mana mungkin,” ketus Victor.
“Sepertinya begitu. Dia terlalu kasar.” Melihat sindirannya tidak mempengaruhi Victor, Vero pun menghentikan basa-basinya. “Jadi, ada perlu apa kamu mencariku?”
“Sudah kubilang, kami-“
“Aku bukan orang bodoh. Jika sedang jalan-jalan, untuk apa berdiri seperti tadi di depan rumahku?”
“Aku hanya penasaran, karena suara orang yang ribut itu sepertinya tidak asing.” Victor mengangkat bahu. “Lagi pula, memangnya kamu pernah memberikan alamatmu?”
“Pembohong,” gerutu Vero.
Sebenarnya, itu tidak sepenuhnya kebohongan. Victor memang tidak mengetahui alamat Vero, dan dia menemukannya tanpa sengaja saat berjalan di sekitar.
Victor sibuk memperhatikan tetangga Vero. Tatapan mereka jelas sedang merendahkan remaja itu. Beberapa bahkan tidak memelankan suara saat membicarakan percobaan bunuh diri Vero yang kesekian kalinya. Betapa bocah itu terlalu haus perhatian.
“Jangan bilang kalian mau ikut belajar.” Vero menghalangi jalan Victor.
“Sekolahmu, hm?” Victor bergumam kemudian mengangkat kepalanya. “Ya sudah, sana. Belajar yang rajin. Bahkan meski kamu kucing jantan belang tiga, jika mati begitu saja hanya akan membuat keistimewaanmu sia-sia.”
“Kalian mendengarnya? Pria itu bilang kucing jantan belang tiga!” celetuk seorang remaja yang lewat di dekat mereka.
“Hahaha, sepertinya si bodoh itu akhirnya berhasil membodohi seseorang,” timpal temannya.
“Orang bodoh mana yang akan percaya omong kosong itu?”
Olok-olokan terus berlanjut hingga membahas percobaan bunuh diri Vero kemarin. Mereka menyesal karena Vero ternyata tidak jadi bunuh diri. Di sisi lain, itu membuat mereka senang, karena taruhan yang mereka pasang benar.
Gerombolan itu berbicara lantang selagi berlalu menuju kelas masing-masing. Begitu saja. Seolah orang yang mereka bicarakan tidak dapat mendengarnya. Seolah pembicaraan itu tidak menyakiti siapa pun.
“Yaaah. Saatnya berpisah. Sampai jumpa.” Vero meninggalkan Tama dan Victor tanpa menoleh sedikit pun. Seakan tidak mendengar apa pun. Atau dia pura-pura tidak mendengarnya?
Tangan Victor mengepal. Kemarahan membara di hatinya. Dia sudah melihat pemandangan seperti ini ratusan kali, dan rasanya tetap sama. Pada akhirnya ia hanya bisa menghembuskan nafas kasar, dan pergi.
“Vic ..,” lirih Tama. Si cengeng ini telah membasahi wajahnya dengan air mata. Jelek sekali.
“Apa?” ketus Victor.
“Kasihan,” rengek Tama. Perlahan, tangisnya semakin menjadi-jadi. Berisik dan membuat orang-orang mulai memperhatikannya.
“Diam!” bentak Victor. Suasana hatinya sedang tidak baik. Mana ada waktu untuk menanggapi gadis merepotkan di depannya ini. “Jika kamu bersuara lagi, aku pastikan kamu menyesal.”
Tama menahan nafasnya. Namun, air mata itu terus mengalir. Vero begitu menyedihkan. Keluarga, tetangga dan teman. Semua mengisyaratkan untuk menyuruhnya tiada.
Entah itu serius atau hanya cemoohan, pasti berat bagi remaja itu menghadapinya. Lingkungan yang tidak menerima keberadaannya. Pantas saja dirinya ingin mengakhiri hidup.
“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan?” ucap Victor setelah dirinya merasa tenang. “Tidak ada.”
“Tapi ... dia ...”
“Tidak ada yang bisa kita lakukan. Masyarakat memang seperti itu. Orang biasa seperti kita mana bisa mengubahnya.” Victor menatap ke kejauhan.
Bagi orang lain, bunuh diri itu hanya bahan candaan. Mereka begitu yakin orang di dekat mereka tidak akan pernah bunuh diri. Karena itu, kalimat “sebaiknya kamu mati saja” sangat mudah keluar dari mulut mereka.
Bahkan dalam bentuk candaan sekali pun, perlukah mereka menyuruh orang lain untuk mati? Bukan hanya Vero, orang paling bahagia di dunia juga pasti akan terluka karena kalimat itu.
“Sifat itu sudah mendarah daging. Meluas di setiap lingkungan. Apa kamu ingin membungkam mulut mereka semua?” Victor mengeratkan kepalan tangannya. Dia sedang berbicara pada Tama, tapi jelas pikirannya sedang berada di tempat lain.
“Aku tidak membutuhkanmu lagi! Kenapa kamu tidak mati saja?! Hidupku hancur karenamu!” Teriakan menyedihkan itu bergema di kepala Victor. Berulang dengan susunan acak.
Terkadang, “candaan” itu dilontarkan tanpa rasa bersalah hanya karena pendengarnya adalah seseorang yang ceria. Namun, mereka mana mungkin tahu bagaimana kondisi hati seseorang. Mungkin saja orang itu diam-diam sudah berpikir untuk bunuh diri, dan memantapkan niatnya karena “candaan” itu.
Lalu, apa yang akan mereka lakukan saat salah seorang diantara mereka bunuh diri? Mereka dengan tidak tahu dirinya merasa ikut berduka cita. Beramai-ramai menunjukkan kesedihan mereka. Bulshit.
Apa mereka tidak sadar perlakuan mereka turut ambil bagian saat orang itu memutuskan untuk bunuh diri? Bohong jika mereka tidak menyadarinya. Masyarakat adalah pembunuh paling menjijikkan dengan kepura-puraan mereka.
“A-aku...” Tama terisak.
Tama mengutuk dirinya sendiri di dalam hati. Victor selalu menganggapnya sebagai gadis yang terlalu banyak bicara. Akan tetapi, saat ini, di saat paling dibutuhkan, mulutnya justru terasa kaku. Tidak ada satu kata pun yang terlintas untuk diucapkannya.
Lupakan. Di situasi ini, tindakan akan selalu lebih berguna dibanding kata-kata. Tama memeluk erat Victor. Setidaknya, dengan begitu mungkin kemarahan Victor akan sedikit mereda. Begitu pula kesedihan yang dirasakan Tama.
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Auraliv
ini kalau dibikim series atau drama pasti seru 🥰
2023-01-18
1
Auraliv
benar juga ya, ini authornya kuliah jurusan psikologi ya?😅
2023-01-18
1