Dimana Keadilan Itu?

“Hidup ini memang tidak adil. Kehidupan memang bukanlah tempat bagi keadilan, bukan? Mereka bilang, keadilan tertinggi berada di sisi-Nya. Kita hanya akan mendapatkan keadilan di kehidupan setelah mati. Aku ingin membuktikannya, itu saja.”

...~•~...

“Dalam keadaan digerayangi pun aku masih percaya padanya. Perbuatan tidak pantasnya itu karena dia sedang mabuk. Mungkin ada masalah besar hingga dia melampiaskan dengan minuman keras,” lanjut Adriana.

Will adalah pria yang sangat baik. Dia ramah. Sifatnya sempurna, bukan tipe yang suka mabuk-mabukan. Adriana semakin yakin bahwa Will memang hanya sedang dalam masalah ketika pria itu tertidur sebelum berbuat lebih buruk.

Adriana menghirup nafas dalam. Ceritanya mencapai titik yang paling menyesakkan. Dia menenangkan dirinya cukup lama sebelum melanjutkan cerita.

“Saat membantu membereskan rumah dan kamarnya, aku menemukan ponsel yang tidak pernah kulihat. Aku tidak curiga, tapi aku membukanya karena penasaran,” jelas Adriana.

Ponsel tak terkunci itu menyimpan banyak video dan foto tak senonoh milik Will. Pasangannya selalu berganti-ganti, membuat Adriana merasa pilu. Belum lagi pesan-pesan yang tersimpan di sana.

“Aku tidak bisa menungguinya sepanjang malam, jadi kuputuskan untuk meminta penjelasan keesokan harinya. Kamu tahu bagaimana reaksinya?” tanya Adriana tiba-tiba.

Victor menggeleng ragu-ragu. “Dia menyangkal dan berusaha membujukmu?”

“Aku harap begitu! Tapi dia justru terlihat lega. Aku seperti melihat orang lain saat dia mengatakan dia tidak perlu berpura-pura lagi.” Adriana berusaha menahan amarahnya.

Bagi Will, perempuan hanya makhluk rendahan. Jika bukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka untuk memenuhi nafsunya. Benar-benar seorang bajingan bermuka dua.

Selama dua tahun pacaran dengan Adriana, Will berulang kali mencoba menyentuh gadis itu, tapi tidak berhasil. Jika bukan karena kekayaan keluarga Adriana, dia pasti sudah mencampakkan gadis itu sejak lama.

“Aku terlalu kecewa untuk marah. Saat aku memutuskan hubungan, dia mengancamku. Dan begitulah rumor itu beredar.” Adriana menghela nafas, kemudian tersenyum. “Ceritanya berakhir di sana.”

“Cerita itu berakhir dengan kamu yang meminum racun serangga,” sangkal Victor. Adriana pun menanggapinya dengan tertawa.

”Keluargaku sangat menjunjung tinggi norma-norma. Saat rumor tentang aku yang menggunakan tubuhku untuk menjebak Will beredar, mereka marah besar dan mengunciku untuk merenung,” ungkap Adriana.

“Kamu kecewa karena keluargamu tidak mempercayaimu?”

“Rasanya seperti kamu sedang menginterogasiku,” ucap Adriana. “Ketika merenung, aku hanya terpikir tentang dunia yang tidak adil. Dan ide gila untuk menuntut keadilan langsung kepada-Nya muncul begitu saja.”

Victor membeku. Dia iri. Adriana bunuh diri seketika saat dia berpikir ingin bunuh diri. Sedangkan Victor ... sudah 16 tahun sejak keinginan itu muncul di pikirannya, tapi ia tidak pernah melakukan apa pun hingga sekarang.

“Kamu butuh sebuah pelukan?” tawar Victor. “Melihatmu tetap tersenyum membuatku kesal. Bukankah kamu marah dan sakit hati? Seharusnya kamu menangis sekuat mungkin.”

Adriana menangis dalam pelukan Victor. Pria itu benar. Dia marah, benci dan ingin mengamuk. Bagaimana bisa orang seperti Will dapat memutar balikkan fakta dengan begitu mudah?

Semua limpahan kekecewaan Adriana terhenti begitu Tama memasuki ruang inap. Memaksanya kembali menjadi seorang kakak yang kuat dan perkasa.

Setelah pamit untuk pergi, Victor memutuskan untuk duduk sejenak di koridor bagian luar rumah sakit. Dia menyesali keputusan yang baru saja dibuatnya. Tidak seharusnya ia menggunakan yayasan untuk hal ini.

“Maaf, aku salah paham padamu.” Tama menyerahkan sebotol minuman kemudian duduk di sebelah Victor.

“Menurutku, itu wajar saja,” balas Victor. “Rumor itu pasti membuat Adriana dibenci oleh banyak orang. Sebagai seorang adik, kamu hanya ingin melindunginya.”

“Kamu tahu banyak, ya. Aku berharap menjadi tempat kakak mencurahkan semua perasaannya.” Tama menunjukkan kecemburuannya dengan sengaja.

“Terkadang, seseorang memaksakan diri untuk menjadi kuat demi orang yang ingin dilindunginya. Di hadapan orang itu, dia tidak boleh terlihat lemah,” jelas Victor.

“Ucapan orang tua. Aku tidak mau menerimanya,” gumam Tama.

“Aku tahu kamu mengerti maksudku.” Victor tertawa singkat. “Ngomong-ngomong, bagaimana mungkin orang-orang percaya begitu saja pada rumor itu?”

Tama menghela nafas. “Will punya bukti rekaman saat kakak menuntunnya ke tempat tidur saat dirinya mabuk. Di rekaman itu, kakak juga terlihat seperti mencari sesuatu, bahkan memeriksa ponsel Will.”

Will terkenal sebagai pria baik-baik, tidak pernah tersentuh minuman keras. Pasti Adriana sengaja membuatnya mabuk untuk niat yang buruk.

Entah apa yang ditemukan Adriana dalam ponsel Will, sehingga membuatnya langsung pulang. Mungkin sesuatu yang bisa digunakan untuk mengancam. Siapa yang tahu. Niat buruknya menyebar sebelum terlaksana.

“Siapa yang menyebarkan rumor itu?” tanya Victor.

“Will merasa aneh saat bangun di pagi hari, jadi dia memeriksa CCTV kecil yang disimpannya. Melihat gerak-gerik mencurigakan kakak, membuatnya gelisah. Ia pun menceritakan pada teman kantornya, dan begitulah.”

Tama menjelaskan dengan lesu. Selain pernah kuliah di Universitas yang sama, Adriana dan Will hampir tidak pernah berinteraksi. Sulit membayangkan hal semacam itu dapat terjadi.

“Kakak tidak mungkin seperti itu,” ucap Tama. “Aku yakin ada alasan kenapa kakak ada di rumah Will.”

“Aku mengerti, tetaplah percaya padanya.” Victor berdiri dan menepuk pelan puncak kepala Tama. “Terima kasih minumannya.”

Mendengarkan cerita Adriana dan Tama memacu semangat aneh dalam diri Victor. Ia tidak bisa membiarkan semua berlalu begitu saja tanpa melakukan apa pun.

Tiga hari berikutnya Victor telah menyibukkan diri di kota itu. Ia menghabiskan waktu, tenaga dan uangnya untuk menyelidiki kehidupan Will. Mencari celah dari dirinya yang “sempurna”.

Dari cerita Adriana, Victor sudah tahu bahwa Will adalah pria yang bejat. Namun, setelah ia menelusuri sendiri, ia sadar, ternyata Will lebih rendah dari binatang.

Ada puluhan wanita yang menjadi korban dari ancaman Will. Belasan diantaranya juga korban pelecehan, bahkan ada beberapa yang dipaksa menggugurkan kandungan.

Will menggunakan topengnya dengan baik hingga semua kejahatan itu tidak tercium. Sosok yang begitu rendah dan menjijikkan.

Victor menyerahkan semua bukti yang didapatnya pada Ayah Adriana. Ia bahkan membujuk korban-korban Will untuk bersaksi. Dengan begitu, kasus mereka pun diangkat ke meja hijau.

“Kamu melakukannya dengan berlebihan,” gurau Adriana. “Tidak perlu sejauh itu hanya untuk seseorang yang baru kamu temui satu kali.”

“Aku melakukannya karena aku mau,” sangkal Victor. “Dan aku sudah menganggapmu teman sebelum kita bertemu.”

“Terima kasih,” ucap Adriana. “Terima kasih telah mencarikan keadilan untukku.”

Adriana menggenggam erat tangan Victor, kemudian menarik bibirnya yang pucat untuk tersenyum. Begitu tulus hingga membuat kedua matanya tertutup.

“Itu sudah bukan senyum palsu,” batin Victor. “Terlihat tenang dan tenteram.”

Victor tidak pernah tahu seseorang bisa meninggal dalam keadaan yang begitu menenangkan. Adriana terlihat bahagia di akhir hayatnya. Seolah-olah hidupnya diberkati dengan hal-hal baik.

...~•~...

Terpopuler

Comments

Auraliv

Auraliv

huaa... suka karakter victor😍

2023-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!