“Bunuh diri adalah pemikiran yang sempit. Begitulah pandangan dunia. Seakan mereka tidak tahu, hal-hal kecil pun mampu menghancurkan keinginan hidup seseorang.”
...~•~...
“Terima kasih.” Ayah Adriana menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat pada Victor.
“Anda tidak perlu sungkan. Saya melakukannya karena menganggap Adriana sebagai teman saya sendiri,” tolak Victor secara halus.
“Kamu berhak mendapatkannya. Jika bukan karena kamu, Adriana pasti akan direndahkan hingga akhir hayatnya.” Kalimat itu berhasil diselesaikan Ayah Adriana, meski tercekat di sana-sini.
Kepala dari sebuah keluarga terpandang pun juga seorang manusia. Dia memiliki perasaan. Hatinya pasti terluka atas nasib yang menimpa putri tertuanya. Mungkin juga ada penyesalan karena ia tidak bertindak lebih awal.
“Anda benar-benar tidak perlu melakukan ini. Saya membantu bukan untuk keuntungan pribadi,” tolak Victor lagi. “Ah, tapi, jika mau, Anda mungkin bisa berdonasi pada yayasan saya yang masih sangat baru.”
“Itu bisa dipikirkan nanti, tapi ini adalah untukmu yang bekerja seorang diri,” paksa Ayah Adriana.
Jika menolak untuk yang ketiga kali, Victor pasti akan dianggap meremehkan. Maka, demi kesopanan, ia hanya bisa menerimanya.
“Terima kasih.”
Sungguh, Victor sudah muak dengan kata-kata itu, yang sudah ia dengar berulang kali hari ini. Bisakah kata “terima kasih” dihilangkan saja dari dunia?
“Tidak perlu sampai memelukku!” protes Victor.
“Tidak adil! Waktu itu kamu memeluk kakak, masa sama aku tidak mau?” Tama protes balik.
“Dia membutuhkannya.”
“Aku juga!”
Victor memperhatikan mata Tama yang bengkak dan merah. Pasti ia menangisi kematian kakaknya selama beberapa jam terakhir.
“Kamu masih punya tenaga untuk omong kosong ini?” keluh Victor.
“Aku hanya ...” Tama menggigit bagian dalam pipinya. “Aku kecewa. Kenapa kakak tidak bercerita padaku?”
“Aku sudah bilang, ‘kan-“
“Kenapa dia meminum racun hanya karena pria seperti Will? Kenapa tidak melawan? Kenapa ... kenapa dia tidak bertahan sehingga bisa menjawab semua pertanyaanku?” Air mata Tama kembali berlinang.
Tadinya, Victor merasa empati pada Tama. Memang tidak mudah menerima kenyataan saat anggota keluargamu sudah meninggal. Apalagi karena bunuh diri.
Akan tetapi, ucapan Tama membuat Victor seketika mendorongnya menjauh. Apakah masalah Adriana begitu kecil hingga adik kesayangannya menggunakan kata “hanya”?
“Ada apa?” Tama mengusap jejak air mata di pipinya.
“Sebaiknya kita tidak pernah bertemu lagi.” Hanya itu yang keluar dari bibir Victor yang kemudian berlalu begitu saja. Tidak perlu basa-basi. Mungkin memang dirinya sedang sensitif.
Hari itu Victor menyadari sesuatu yang menyakitkan. Ia melihat betapa enggannya keluarga Tama mengurusi jenazah Adriana. Apakah karena gadis itu bunuh diri? Victor mendengar satu-dua yang menggosipkan Adriana.
Seandainya orang tuanya tidak kaya, apakah mereka akan menelantarkan jasad Adriana begitu saja?
Setelah pulang, Victor terus memikirkan hal itu. Tentang masyarakat yang menolak tegas bunuh diri. Apakah dia juga akan diperlakukan buruk jika bunuh diri?
Victor lelah bertahun-tahun melarikan diri dari keinginannya untuk bunuh diri. Keinginan yang bahkan datang tanpa alasan itu menakuti dirinya.
Membayangkan dirinya yang berjuang hidup sekuat tenaga, untuk kemudian melepaskan kehidupan begitu saja. Menyerah tanpa alasan. Tidakkah itu begitu menjengkelkan? Juga menyesakkan.
Pada awalnya, Victor memperbanyak sosialisasi agar dia bisa melupakan keinginan itu dengan perlahan. Namun, tetap saja, begitu ia sendirian, rasanya seperti tubuhnya bergerak sendiri ingin mencelakai diri.
Baiklah. Sekalian saja Victor mencari alasan untuk bunuh diri, agar dirinya tidak lagi digoyahkan oleh keraguan.
Hari itu, Victor mulai menulis catatan bunuh dirinya. Berisi alasan-alasan yang membuatnya ingin bunuh diri. Layaknya pesan kematian yang ditulis seseorang saat mendekati ajalnya.
Setelah tiga tahun, halaman berikutnya dari buku itu tidak kunjung terisi. Tidak ada yang dapat ditulis Victor. Dia sendiri masih belum mengetahui alasannya ingin bunuh diri.
“Selamat pagi!” Wajah ceria Tama muncul dengan meriah dari balik pintu. “Apa kamu sudah merindukanku?”
Mustahil. Victor tidak akan pernah merindukan gadis itu. Segala sikap yang ditunjukkan Tama hanya akan membuatnya muak.
“Pergi.” Victor menyimpan catatan bunuh dirinya di atas lemari kecil di sisi dinding.
“Apa itu?” Tama mengambil buku aneh yang kelihatannya baru saja dipakai Victor.
Victor merampas kembali miliknya, menatap tajam pada Tama. “Jika kamu punya sedikit etika, jangan pernah menyentuh barang orang lain tanpa izin. Dan kecuali jika aku mati, aku tidak mengizinkanmu membukanya!”
Tama terbata-bata, tapi tak ada satu kata pun yang meluncur keluar dari bibir tipisnya.
“Seandainya kamu belajar sedikit dari kejadian yang menimpa Adriana, seharusnya kamu tidak sembarangan masuk ke rumah seorang pria.”
Victor menyemburkan kata-kata paling pedas yang bisa dipikirkannya dengan cepat. Biarkan saja gadis itu gemetar sekalian, asal dia enyah dari pandangan Victor.
“Masih belum bergerak, mau aku seret?” Victor tersenyum mesum, dan menjilat bibir bawahnya. “Pilih mana? Seret keluar rumah, atau ke dalam kamar?”
“Aku yakin, kamu tidak akan melakukan keduanya.” Tama menahan nafasnya.
Wajah pria mesum memang tidak pernah cocok untuk Victor. Ia pun menghapus semua ekspresi itu dari wajahnya, lalu menghela nafas. “Terserahlah,” lenguhnya.
Tama menghirup oksigen sebanyak mungkin saat Victor berbalik. Seandainya pria itu sungguh melakukan hal buruk padanya, dia sudah bersiap untuk berteriak sekuat tenaga.
“Aku tidak akan menjadi pamongmu,” ucap Victor. “Bahkan meski kamu menempel 24 jam sehari padaku, aku tidak akan membimbing atau memberi nilai untuk apa pun yang kamu lakukan.”
“Aku tidak akan menyerah.” Tama mengepalkan kedua telapak tangannya. “Aku pasti akan membuatmu menerimaku.”
Victor mengerti, kata-kata tidak akan berpengaruh apa pun pada Tama. Jadi, ia menyeret gadis itu ke yayasan, menyodorkannya pada Ginette. "Urus dia. Aku tidak ingin melihat dia dimana pun aku berada.”
“Selamat pagi.” Ginette menyambut kedatangan Victor dan Tama dengan senyum mengambang. “Aku kira kamu tidak akan datang beberapa hari ke depan. Bagaimana kalian bertemu?”
“Pagi, Ibu Ginette,” balas Tama. “Hanya kebetulan bertemu saat aku tersesat.”
“Tersesat?” ulang Ginette.
“Aku pergi,” potong Victor yang tidak terima saat tuntutannya dianggap angin lalu.
“Kemana? Aku ikut.” Tama seketika membeku karena tatapan dingin Victor. Mendekati orang yang membencimu memang sesulit itu ternyata.
“Apa kamu sengaja ingin membuatnya takut?” Ginette memukul pelan lengan Victor, lalu beralih menatap Tama. “Bisa beri kami waktu bicara berdua, sebentar?”
“Bicara apa? Kamu yang paling tahu tidak ada seorang pun yang bisa mengubah keputusanku,” sinis Victor begitu Tama telah pergi. “Aku benci bepergian dengan seseorang di sampingku.”
“Untuk kali ini saja,” pinta Ginette. “Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena ayahnya sudah bersedia menjadi donatur utama kita. Jika bukan karena beliau, mungkin yayasan ini tidak akan bertahan lebih dari sebulan.”
“Itu saja?” Victor mengangkat sebelah alisnya. “Dia bukan satu-satunya yang membuat yayasan ini berkembang. Ada puluhan donatur tetap. Jika dia berhenti, aku bisa mencari penggantinya.”
“Aku tahu kamu hanya sedikit tertekan karena tidak pernah-“
“Tidak perlu positive thinking tentang aku. Apa pun yang akan kamu katakan, tidak akan berpengaruh." Victor membawa dirinya menuju pintu keluar.
Sebelum Ginette mencegah kepergiannya, Victor lebih dulu mengatakan, “Yayasan ini berdiri karena aku, dan aku yang mendatangkan para donatur itu. Kamu bersikap seolah ayahnya lebih berjasa di banding aku.”
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments