“*Apakah jatuh cinta adalah sebuah kesalahan? Kenapa tidak ada yang mengizinkan cinta ini bersemi? Bahkan kamu ... ah, aku menyesal telah jatuh cinta*.”
...~•~...
Tama berlarian menuju pintu saat mendengar suara knop dibuka. “Kamu pulang,” ucapnya lega.
Victor menatap Tama dari atas sampai bawah. Gadis itu berantakan, dengan mata merah dan bengkak. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?” tanyanya.
“Aku pikir kamu tidak akan kembali!” Tama menjatuhkan dirinya pada Victor, dan tentu saja langsung dihindari. “Kemana saja kamu tiga minggu ini? Aku pikir kamu sudah-“
“Mati?” Victor mendorong Tama ke samping. “Karena itu kamu mengambil alih rumahku?”
“Tidak! Setelah sekian lama tidak bertemu, apa kamu tidak berminat bersikap lebih baik padaku?” sungut Tama. “Aku mengkhawatirkanmu sepanjang hari, jadi setiap pulang dari yayasan, aku menunggumu di sini.”
“Baiklah, maafkan aku.” Victor mengambil ponsel di tangan Tama, lalu mengetik sesuatu. “Suasana hatiku sedang cukup baik. Kamu boleh melihat apa yang kulakukan.”
Victor tidak becanda tentang suasana hatinya yang baik. Terlihat jelas saat dirinya melenggang sambil bersenandung, meninggalkan Tama yang langsung menonton video musik yang ditunjukkannya.
Video itu menampilkan seorang penyanyi misterius yang bernyanyi sambil menggesek biolanya. Nadanya mengalun dengan dramatis, memberi suasana sendu pada pendengarnya. Liriknya lebih menyentuh lagi.
“Keren, bukan?” Victor kembali dengan senyum bangga.
“Kamu menghabiskan tiga minggu untuk menonton video ini?”
Victor menyentil dahi Tama. “Payah. Video ini baru dirilis dua hari yang lalu. Aku yang merekamnya.”
Tama mengedipkan matanya dua kali. Masih tidak mengerti. Pikirannya terfokus pada sikap Victor yang normal, tidak sinis. Sikap yang membuat hatinya terasa hangat. Mustahil Victor lupa dia membenci Tama, ‘kan?
“Apa kamu sudah siap?” Seorang pria berwajah imut muncul dengan kikuk. “Kamu di sini juga?”
“Lihat, penyanyi kita sudah muncul.” Victor menepuk bahunya dengan senyum yang semakin merekah. "Dia genius yang mampu bernyanyi sambil bermain biola."
“Kita saling mengenal?” tanya Tama pada pria itu.
Tawa Victor pecah dengan begitu nyaringnya. “Sudah kubilang, tidak akan ada yang mengenalimu.”
“Aku Ray.” Ray mengelus tengkuknya sendiri.
“Sudah kubilang, kamu harus berhenti melakukan itu.” Victor menarik tangan Ray. “Itu membuatmu tampak tidak percaya diri. Tanpa tahu masa lalumu pun, orang pasti akan mengganggumu.”
“Tolong jangan menatapku terlalu lama,” ucap Ray yang tidak nyaman dengan tatapan Tama.
Yang disinggung justru menatap Ray semakin lekat. Ia tidak percaya pria manis ini adalah Ray. Sebelumnya Ray menutup sebagian besar wajahnya dengan poni, siapa yang menyangka dibalik poni itu dia terlihat tampan?
“R-ray? Ray sungguhan?” Tama mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
“Terkejut kan? Aku yang memotong rambutnya.” Victor melipat tangannya, sekali lagi membanggakan diri. “Lain kali wajahmu harus masuk kamera. Visual sebagus itu, sayang jika tidak dimanfaatkan.”
Wajah Ray memerah sampai pangkal telinganya. Rasanya memalukan, karena dia tidak pernah mendapat pujian sebelumnya. “Apa makan malamnya jadi?” alih Ray.
“Tentu saja! Kita harus merayakan keberhasilan besar ini!” Victor diam sejenak kemudian menyeka jejak air mata di pipi Tama. “Penampilan adalah hal penting bagi seorang perempuan. Bersiaplah kalau kamu mau ikut.”
Tama berteriak sambil menutup wajahnya. Dia baru ingat dengan penampilannya yang kacau karena terus-terusan menangisi Victor. “Tu-tunggu di sini,” ucapnya, kemudian berlari ke rumahnya.
“Teriak apa sih, kami sudah melihatnya sejak tadi,” sorak Victor diiringi kekehan renyah.
Entah memang Victor yang memutuskan untuk berhenti membenci, atau perasaan itu memudar karena mereka lama tidak bertemu. Yang jelas, itu membuat Tama bahagia. Pandangannya tidak lepas dari Victor yang menceritakan kegiatannya tiga minggu terakhir.
Daripada bunuh diri, Ray memutuskan untuk menerima bantuan dari Victor. Jadi, dia mengunjungi rumah Ray untuk mengetahui bagaimana kehidupan pria malang itu. Juga memikirkan apa yang bisa mereka lakukan.
“Dan, bum! Aku terkejut saat melihat biola dan beberapa alat musik di rumahnya. Rumahnya hampir seperti studio musik.”
Victor langsung memutuskan untuk menjadikan Ray sebagai penyanyi. Memang tidak berada di bawah agensi besar atau pun muncul di TV, tapi siapa peduli? Muncul di media sosial lebih menguntungkan akhir-akhir ini.
“Dia menghabiskan kesendiriannya dengan menciptakan beberapa lagu. Semuanya sangat luar biasa, akan sia-sia jika tidak dipublikasikan!” jelas Victor.
Victor menggunakan uang pribadinya untuk menyewa studio, mengurus legalitas dan hak cipta lagu-lagu Ray. Tidak sulit, sebab dia mengenal banyak orang dari berbagai kalangan melalui yayasan sosial.
Menyewa jasa editor profesional untuk mengurus video musiknya. Melakukan promosi besar-besaran, dan selesai. Lagu itu rilis, dan segera menjadi trending topic, yang membuat suasana hati Victor berada di puncaknya.
“Itu luar biasa!” puji Tama. “Tapi kenapa harus menghilang? Setidaknya bawa aku ikut serta.”
“Kamu itu menyebalkan. Aku membencimu, ingat?” tegas Victor. “Kalau kamu ikut, hanya akan membuatku muak dengan berbagai pertanyaanmu. Tidak akan ada progres di dalamnya.”
“Kamu masih membenciku?” Bibir Tama maju dua senti saat Victor menyinggung kebenciannya.
“Menurutmu?” goda Victor.
“Sepertinya kita turun di halte ini,” sela Ray.
“Kalau kamu menjadi anak baik, dan berhenti menentangku, aku bisa pertimbangkan untuk bersikap biasa.” Victor bangkit dari tempat duduknya. “Ayo turun.”
Tama, Victor dan Ray jalan beriringan, memasuki lantai tiga dari sebuah restoran mewah di tepi pantai. Mereka sudah memesan meja yang berada di balkon, dengan pesona langit malam sebagai hiasannya.
“Aku pikir saat pertama kali bertemu, kalian tidak saling mengenal.” Ray tanpa disangka membuka pembicaraan.
Ray sengaja membisu selama bertahun-tahun. Mampu mengubah banyak hal mengenai pemuda itu dalam waktu yang relatif singkat, mungkin hanya bisa dilakukan Victor. Figur Victor semakin mengagumkan di mata Tama.
Percakapan berlanjut dengan menyenangkan. Selagi menunggu pesanan datang, mereka membahas hal-hal acak. Melompat dari satu topik ke topik lain, mengatakan apa saja yang melintas dalam pikiran.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah mengeluarkan terlalu banyak uang. Bukankah ini berlebihan?” Ray memandang hidangan mahal yang tidak pernah berani ia idamkan seumur hidupnya.
“Sudah-sudah, kita makan saja. Kalau kamu takut aku bangkrut, suruh saja dia yang bayar. Ayahnya kaya raya,” gurau Victor. “Karena itu aku mengajaknya.”
Tama terdiam sejenak saat dirinya ditunjuk, kemudian ikut tertawa bersama Victor. “Tentu saja. Jangan khawatir Ray,” hiburnya.
Tepat setelah Tama menyuap makanannya, terdengar suara ribut dari balkon di sebelah mereka. Ada dua perempuan yang sedang berdebat, lebih tepatnya salah satunya terus berbicara dengan nada tinggi. Meraung dan menangis.
Suara heboh di sekitar membuat percakapan mereka tidak terdengar jelas. Tama berdiri, berniat melerai mereka. Namun, tiba-tiba saja perempuan berambut pendek itu melompat dari balkonnya.
Tama berseru, hampir berlari ke tepi balkon mereka. Hanya saja, Victor menahan lengan Tama dan membalik badannya dengan kasar. “Jangan lihat. Isi perutmu akan keluar semua kalau melihatnya.”
Suara teriakan sahut-menyahut setelahnya. Tentu saja. Batu-batu tajam yang tadinya ditujukan sebagai hiasan, kini berlumuran darah. Tubuh yang menyedihkan teronggok di atasnya.
Seseorang baru saja bunuh diri.
...~•~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Auraliv
dimataku juga thor😍
2023-01-18
0
Auraliv
rasa benci bisa dilupa ya?🤣
2023-01-18
0