Duduk terpaku di depan computer. Pandangan mataku lurus menatap microsoft excel yang penuh dengan angka-angka, sambil memijit pelipis. Selalu saja seperti ini. Setiap menghitung uang berapapun jumlahnya, sampai lima jam sekalipun mata tetap segar. Tapi setiap menghitung biaya cetak, mataku sudah sepet.
Sejak kecil aku bercita-cita jadi desainer fashion atau penyiar radio. Tak pernah sedikitpun terlintas terjun ke dunia bisnis/wirausaha. Aku benci matematika dan dunia bisnis berkaitan erat dengan matematika. Apalah daya, di zaman sekarang bukan kita yang memilih profesi tapi profesi yang memilih kita. Mungkin juga faktor keturunan. Mulai dari Mbah Buyut, Kakek, Om, Tante, sampai ke Mama terjun ke dunia bisnis. Sehingga jiwa bisnis mereka juga ada di diriku.
Jika mataku sudah sepet, jalan satu-satunya adalah menyegarkan mata. Caraku menyegarkan mata bisa nonton film yang aktornya ganteng atau melihat foto ‘roti sobek’ dari artis tanah air.
Kuraih smartphone yang sudah satu jam tak tersentuh. Waw, ternyata ada banyak sekali pemberitahuan masuk. Pemberitahuan pertama tertulis Agusta Wimala membagikan foto di instagram. Sejak pertemuan malam itu di acara Yogya TV, aku jadi mengidolakan chef asal Banjarmasin tersebut. Bahkan aku sengaja klik ‘nyalakan pemberitahuan’ di akun instagramnya.
Aku jadi penasaran chef itu membagikan foto apa ke instagramnya? Dengan lincah jariku menyentuh pemberitahuan tersebut. Terpampang jelas di depan mataku sebuah cover buku warna biru muda. Buku itu berjudul Perjalanan 1.827 Hari Agusta Wimala. “Oh, jadi dia juga menelurkan buku biografi seperti selebriti lainnya?”
Aku cek pemberitahuan lainnya. Pemberitahuan kedua tertulis ‘Agusta Wimala menambahkan anda menggunakan no.telepon’. Senyum semringah terlukis di bibirku. Ini kesempatanku untuk menanyakan tentang buku berjudul Perjalanan 1.827 Hari Agusta Wimala.
Sebelumnya aku ingin memastikan akun line ‘Agusta Wimala’ itu asli dipegang Mas Manis atau dipegang managernya?
Hello, makasih ya dah ngeadd aku. BTW akun line ‘Agusta Wimala’ itu asli dipegang Mas Agus atau dipegang managermu?
Beruntung dia lagi online jadi selang beberapa menit tulisan yang aku kirim untuknya di line telah terbaca. Tak sabar menunggu balasannya.
Ting!
Ini akun line pribadiku kok.
Betapa senangnya hatiku membaca pesan dariku. Waktu bertemu di acara tivi kemarin, tak sempat minta ID Line/whatsapp-nya. Ternyata tanpa aku minta, dia sendiri yang meng-add aku. Aku tak suka bernbasi-basi, langsung saja aku menanyakan sesuatu ke dia.
Aku : Mas, aku mau nanya nih buku itu berjudul Perjalanan 1.827 Hari Agusta Wimala itu terbit dimana? Indie atau mayor?
Agusta Wimala : Sementara terbit melalui self publishing dulu. Kalau respon bagus, pihak GPU bersedia menerbitkan ulang. Cetak 2.000 eksemplar tapi ku harus beli 125 buku. Discon 30% persyaratannya gitu.
Mataku melebar membaca pesan line darinya yang terakhir. Jadi seperti itu sistem penerbit mayor ternama di tanah air jika memilih tanpa seleksi? Satu sisi aku sedih karena merasa kecolongan. Andai aku mengenalnya sejak pertama kali dia tenar, pasti bukunya itu terbit di Penerbitku. Otomatis jika dia menerbitkan di tempatku, omset bakal naik drastis.
Mendadak teringat ucapan Mbah Buyut, “Tak ada istilah terlambat selagi niat baik.”
Secercah muncul harapan. Dengan semangat 45, aku harus bisa mengajak Mas Manis menerbitkan buku di tempatku. Berhubung jariku keriting ngetik chat, ada baiknya aku mengajaknya melalui video call.
Lagi-lagi keberuntungan menghampiriku. Sinyal smartphone lagi stabil dan dalam hitungan detik Mas Manis sudah menjawab video call dariku.
“Hello, Mas Agus. Kamu lagi sibuk gak? Kalo sibuk, aku matiin video callnya.”
“Aku lagi nyantai kok.”
“Mas, aku boleh nanya sesuatu?”
“Boleh. Nanya apa?”
“Kata kamu tadi kan, buku itu berjudul Perjalanan 1.827 Hari Agusta Wimala Sementara terbit melalui self publishing dulu. Kalau respon bagus, pihak GPU bersedia menerbitkan ulang. Cetak 2.000 eksemplar tapi ku harus beli 125 buku. Discon 30%. Yang mau aku tanyakan adalah royalti penulis berapa? Tetap 10%?”
“Iya, tetep 10%. Kalau novelmu?”
“Semua penulismayor ya 10% kecuali kalau self publishing keuntungan sepenuhnya milik penulis. Buku GPU harganya 60.000 ke atas, jika discont 30% ya kisaran 40.000. 40.000x125\=lima jutaan. Mending cetak sendiri, Mas.Biaya cetak 2000 eksemplar juga lima jutaan. Keuntungan buatmu 45%, 55% buat distributor dan toko buku.”
“Wuih, otak bisnis langsung jalan. Hahaha.”
“Kalau bukumu dijual GPU harga 80.000, dijamin GPU cair berat. Makanya Mas, the next kalau mau nerbitin buku di tempatku aja. Keuntungan sepenuhnya buat kamu.”
“Oke, ntar kalo aku mau menerbitkan buku, aku bakal menghubungi kamu.”
Mendadak sambungan telepon terputus dengan sendirinya. Aku coba cek kouta, ternyata kouta habis. Setidaknya aku sudah sempat mengajaknya untuk menerbitkan buku di penerbitku.
Seseorang menepuk pundakku. “Woy, pantes aja kerjaan lu ngitung biaya cetak nggak kelar-kelar. Ternyata lu lagi sibuk video call sama Mas Manis. Mana make modus nawarin nerbitin buku pula!”
Tanpa menoleh pun aku sudah tahu orang yang menyehtuh pundakku itu tak lain dan tak bukan adalah Adena Sasikirana Arundati. Mataku melotot ke arahnya. “Lu daritadi nguping pembicaraan gue sama Mas Manis ya?”
“Gue bukannya nguping, tapi nggak sengaja denger.” Adeena membela diri.
“Sama aja kali.”
“Kalau lu kangen Mas Manis samperin aja ke cafe Mie Bancir-nya. Pura-pura beli mie bancir gitu.”
“Hah? Jadi gue harus ke Banjarmasin Cuma buat pura-pura beli mie bancir?”
“Wah, kudet nih anak. Mas Manis lu itu buka cabang cafe Mie Bancir di Yogya.”
“Lu tau tempat cafe Mie Bancir Mas Manis yang di Yogya?”
“Tau dong.”
“Yuk, temenin gue ke sana. Gue mau sekalian ngasih novel ke dia. Waktu ketemu di acara TV gue nggak sempet ngasih dia novel.”
“Boleh. Siapa takut! Tapi lu ya yang neraktir gue.”
“Soal itu gampang.”
Aku dan Adeena pun menuju cafe Mie Bancir dengan mengendarai roda dua.
***
Waw, desain interior cafe Mie Bancir lumayan asyik. Seluruh dinding dilapisi wallpaper nuansa hutan. Tak ada kursi panjang atau meja, mungkin biar pelanggan seolah-olah makan piknik di alam terbuka.
Baru lima menit duduk, datanglah waiter dengan membawakan buku menu. Setelah lihat-lihat menu di mie bancir akhirnya aku memutuskan memesan menu mie bancir pangsit dan minumnya jus mangga. Sedangkan Adeena mememesan menu mie bancir original.
Tak lama kemudian waiter datang kembali kali ini membawa makanan dan minuman pesananku. Aku memerhatikan baik-baik bentuk mie bancir, siapa tahu bisa dijadikan ide nulis novel.
Mie bancir terbuat dari mie kuning atau mie merah. Penyajiannya sendiri dengan ayam suir, telur itik, bawang goreng dan dau seledri. Buru-buru aku mencicipi mie bancir. Ternyata rasanya mantap. Kata chef Bona, ‘mak nyus’. Bumbu sup khas Banjar, kecap manis, saus tomat, kol, bumbu penyedap, dan air kaldu ayam menyatu terus pecah dilidah.
“Gimana enak nggak mie bancirnya?” tanya Adeena. Pesanan dia belum datang.
“Lumayan daripada lu manyun.” Firasatku mulai merasa tak enak. Yakin 100% Adeena bakal menggodaku habis-habisan.
“Yang pasti enak dong. Masakan apapun yang dibuat chef Agus, tetap terasa enak dilidah lu. Secara yang masak orang dicintai,” celetuk Adeena. “Bisa-bisa pulang dari sini dia akan bikin novel berjudul Cinta Rasa Mie Bancir. Hahaha,” lanjutnya lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Uhuk ... uhuk!
Aku keselek begitu mendengar ucapan Adeena barusan. Dia bergegas nepuk-nepuk pundakku sambil menyodorkan air. Secepat kilat aku meneguk air yang diberikannya. Keseleknya sudah hilang. “Lu kenapa? Kok bisa keselek? Wah, jangan-jangan owner mie bancir lagi ngomongin lu.”
“Sotoy lu. Gue keselek gara-gara ucapan lu barusan. Nih, denger ya gue dan Mas Agus itu sekadar saling mengagumi aja.”
“Alah, sok artis lu pake nggak ngaku segala. Gue tau benih-benih cinta sudah mulai tumbuh di hati lu. Terbukti tiap lu chat dengannya senyum-senyum sendiri kan?”
Aku akui kali ini ucapan Adeena benar. Mungkin memang benih-benih mulai bersemi di hatiku. “Kalau lu ngaku cinta sama dia, gue nggak cemburu kok. Malah seneng akhirnya lu nemuin pengganti Mas Ariendra. Siapa tau kalian berjodoh.”
Sial, Adeena kembali mengingatkanku sama mantan. “Nggak mungkinlah aku berjodoh dengannya. Dia itu terlalu sempurna untukku. Lagian dia seleb, pasti banyak cewek yang antri jadi istrinya,” ucapku dengan raut wajah mendung.“
Berani taruhan sama gue nggak?” tantang Adeena.
Aku menaikkan satu alis. “Taruhannya apa dulu nih?”
“Kalau lu sekali lagi dipertemukan dengan Chef Agus, berarti dia jodoh lu. Dan lu harus memperjuangkan cinta ke dia.”
“Kalau ternyata gue nggak dipertemukan lagi sama Mas Agus gimana?”
“Berarti lu yang menang. Hmmm ... hadiahnya gue traktir lu makan di mie bancir tiap bulan selama satu tahun. Gimana?”
“Oke deal.”
Entah kesambet setan apa, aku menyetujui taruhan konyol dengan Adeena. Gimana kalau seandainya Adeena yang menang? Siapkah aku memperjuangkan cinta ke Mas Agus? Aku minder.
Di mata orang-orang mungkin aku terlihat sempurna, namun sebagai manusia biasa tentu aku juga memiliki kekurangan yakni bau badan, bubur ketek, suka kentut sembarangan, dan galak. Itu sebabnya Ariendra memutuskan hubungan denganku secara sepihak. Dia malu membawaku ke tempat umum.
Oh Tuhan apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membatalkan taruhan dengan Adeena? Jika membatalkan taruhan, itu berarti sama saja dengan menjilat ludah sendiri? Adeena pasti akan semakin menggodaku. Mendadak ngeri jika membayangkan hal itu terjadi.
Pantang bagiku menjilat ludah sendiri. Mau tak mau, aku tak punya pilihan lain. Mungkin sebaiknya dijalani dulu. Di lubuk hatiku terdalam juga ingin berjodoh dengan Mas Manis. Semoga langit dan bumi merestui apa yang ada di lubuk hatiku itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments