Saya tersenyum puas memandangi ruko dua lantai. Ruko ini adalah cabang ketiga warung mi bancir saya. Letaknya di Banjarbaru. Pertama terjun di bidang wirausaha kuliner penuh rintangan. Diamuk preman, dipaksa tutup sama saingan, dikomplen pembeli dan lainnya. Namun, saya berhasil melaluinya. Perlahan mimpi saya memiliki cabang banyak segera terwujud.
Saya melangkahkan kaki memasuki warung mi bancir. Sesekali berhenti mengecek meja makan beserta kursinya untuk memastikan sudah rapi nan bersih.
“Pagi Chef,” sapa pria berkulit cokelat, agak tambun dan berkumis tipis.
Dia adalah Zaini. Posisinya di sini sebagai kurir. Padahal dia murid saya sewaktu jadi guru tata boga di SMK Banjarmasin.
“Pagi juga. Gimana, semua sudah beres?”
“Sudah, Chef.”
“Bagus.”
Satu per satu tamu mulai berdatangan. Mereka dari golongan keluarga, kerabat terdekat, pelanggan setia Mi Bancir yang di Banjarmasin Pelaihari serta Hulu Sungai, Bupati, Wali Kota, Gubernur dan para wartawan stasiun televisi lokal. Tak ingin mereka menunggu lama, saya langsung memulai acara grand opening Mi Bancir.
Rangkaian acaranya sendiri sederhana. Pembukaan pidato singkat sebagai terima kasih atas kehadiran para tamu, pembacaan kalam Ilahi, doa bersama dibimbing Ustaz, dan sesi tanya jawab untuk wartawan.
Tibalah di sesi tanya jawab.
“Apa motivasi Chef Agus membuka cabang warung mi bancir di Banjarbaru ini?”
Saya fokus pertanyaannya. Pandangan saya tertuju ke wanita yang berdiri di seberang warung bancir ini. Wanita itu adalah cinta pertama saya. Pikiran saya mulai bernostalgia ke beberapa tahun silam.
...***...
Galeri audisi
Dari kejauhan saya memperhatikan seorang wanita cantik sedang mempresentasikan hasil masakannya. Semakin saya memperhatikannya, semakin besar getaran di hati ini. Mungkin ini namanya terpesona. Yang membuatku terpesona dengannya, rambut sebahu, pipi chubby tetapi hidung mancung dan kalau dilihat-lihat dari wajahnya, sepertinya dia balasan Arab.
"Perkenalkan dirimu," kata Chef Junaidi. Konon katanya juri tergalak. Entahlah. Saya di rumah tidak punya televisi, jadi tidak tahu seberapa galak juri di kompetisi ini.
"Perkenalkan, nama saya Naura Khairunnisa. Dari Banjarmasin."
Oh, namanya Naura. Nama yang cantik. Dan sama seperti saya orang Banjarmasin. Entah kenapa hati saya semakin berbunga.
"Kamu bawa masakan apa?"
"Saya bawa gangan asam iwak patin bebanam (bakar)."
Tiga juri mencicipi masakan Naura. Sesaat kemudian Chef Junaidi meleleh apa yang dia makan. Mendadak firasat saya jadi tidak enak.
"Kuahnya pucat seperti orang sakit kanker. Lalu, masakannya hambar seperti hidup orang jomblo tahunan."
Antara ingin ngakak, tapi prihatin. Ternyata Chef Junaidi galaknya itu nyelekit. Satu sisi receh juga.
Seseorang menemukan pundak saya. Saya menoleh ke samping. "Hei, Bro. Diliat aja tuh cewek. Kenalan sana."
"Nantilah. Kalau kami sama-sama lolos audio dan masuk galeri."
Itulah awal mula saya jatuh hati dengan Naura.
...***...
Zaini menyenggol tangan saya seraya berbisik, “Chef, ayo jawab pertanyaan wartawan yang itu.” Jarinya menunjuk ke wartawan wanita berambut sebahu.
Seketika saya tersadar dari lamunan. Astagfirullah, efek bertemu lagi dengan Naura, jadi ingat masa-masa berkompetisi. Yup, saya dan Naura sampai ke final. Saya pikir Naura mudah didekati karena sama-sama di Banjarmasin. Ternyata salah. Sikapnya selalu judes ke saya. Entah salah apa saya ke dia. Ah, sudahlah.
“Tadi pertanyaannya apa?” Saya berbisik ke Zaini.
“Dia nanya motivasi Chef buka cabang di sini.”
Saya mengangguk. Kembali memegang mic.
“Maaf saya kurang fokus. Motivasi saya sederhana, saya ingin terus melestarikan masakan Banjar. Siapa tahu anak muda di Banjarbaru belum mengenal masakan Banjar. Tentunya mengembangkan rezeki saya juga. Hehehe.”
Detik demi detik terus bergulir. Tanpa terasa seluruh rangkaian acara grand opening telah terlewati. Walau agak kurang fokus, akhirnya semua berjalan lancar.
...*** ...
Ting!
Muncul notifasi WA. Saya baca pesan di Wa. Dari editor penerbit.
Mas, resep sudah selesai? Hari ini deadline loh.
Saya balas.
Dikit lagi. Nanti siang saya kirim ke email.
Daripada saya melamun Naura terus, lebih baik saya menulis resep. Saya beranjak ke meja kerja. Baru buka laptop Hp berdering lagi. Ada 1 pesan Wa lagi. Ketika dilihat, panjang umur Naura. Baru diomongin dia chat.
Ketika warung mi bancir mau tutup, Naura menyapa saya dan meminta nomor WA. Saya kasih. Kesempatan untuk mendekatinya.
Awalnya kami chat hanya sekadar basa basi, menanyakan kabar, lagi ngapain. Berhubung saya paling malas mengetik chat. Saya telepon dia aja. Naura mengizinkan telepon malam-malam. Kami bertukar cerita awal mula mendirikan usaha kuliner. Namun, akhirnya dia menanyakan hal yang kurang mengenakan. Dia menanyakan resep mi Bancir. Dari sini saya tahu tujuan Naura meminta nomor WA saya. Saya harus jawab apa?
Tak sengaja saya mematikan sambungan telepon. Dia mengirimkan pesan WA.
Chef Naura : Kok ditutup sih? Saya salah nanya ya? Maaf deh kalau kurang berkenan pertanyaannya.
Saya : Kalau resep mi Bancir punyamu apa aja?
Saya balikin pertanyaannya. Siapakah dia membocorkan resep ya?
Setelah bermenit-menit Naura tak kunjung membalas, saya melanjutkan menulis resep.
...***...
09.00
Saya sudah berada di warung Mi Bancir. Masih sepi. Dari kejauhan Cafe Naura rame. Kemarin saya ada lihat Cafe Naura laun hingga menu baru. Saya jadi penasaran ingin mencicipi masakan Naura apalagi menu terbarunya itu. Namun, satu sisi gengsi ke sana.
Tiba-tiba Zaini datang. Pucuk dicintai ulam pun tiba. Semringah terlukis di bibir saya.
"Pas banget kamu datang sekarang."
Dengan ekspresi bingung, Zaini berkata, "ada apa ya, Kak?"
"Nggak ada apa-apa. Saya cuma mau minta tolong."
"Mintol apa?"
"Tolong kamu ke Cafe Naura. Kamu beli makanan terenak dan menu barunya."
Saya merogoh saku dan memberikan uang ratusan ribu ke Zaini. "Ini uangnya."
"Siap, Kak."
Zaini bergegas menyerang ke Cafe Naura. Selang 10 menit Zaini kembali membawa plastik berisi masakan Naura. Langsung saya bawa ke dapur untuk mencicipi masakannya.
Ketika saya cicipi, ternyata enak juga. Pas di lidah. Naura cerdas mengkolaborasikan dua menu berbeda menjadi nikmat. Saya semakin mengagumi Naura.
“Ciyeee ... senyum-senyum sendiri abis cicipin masakan kafe seberang. Naksir sama Chef Naura ya?” goda Zaini.
“Apa sih. Biasa aja tuh. Tapi kok kamu tahu pemiliknya Chef Naura?”
“Calon istri saya jadi manager di Kafe Naura sekaligus tetangga serta sahabat Chef Naura.”
“Oh.” Saya ber-oh- ria. “Oh, iya, kamu tau udah berapa lama Chef Naura mendirikan kafe di seberang?”
“Sudah beberapa tahun lalu. Kenapa? Penasaran ya? Kalau naksir, deketin lah, tanya sendiri.” Zaini balik menggoda saya.
“Sudah, kamu balik kerja sana. Sudah ada orderan masuk?” Saya mengalihkan pembicaraan.
“Sudah, Bos. Ini saya mau antar menu ke Martapura. Saya permisi dulu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments