Seluruh karyawan kafe sudah siap-siap mau pulang. Dua waiters lagi sibuk beres-beres. Naura lagi menghitung uang pemasukan hari ini. Sedangkan aku lagi duduk di depan menunggu jemputan calon suami. Berhubung Naura sudah tahu, jadi nggak backstreet lagi.
Sedikit aku ceritakan tentang calon suamiku. Namanya, Ahmad Zaini. Dia masih orang Martapura. Sama denganku. Kami kenal karena bertemu di Kopi Janji Jiwa setahun yang lalu. Yup, kami berdua sama-sama pencinta kopi. Sejak pertemuan itu, kami semakin sering bertemu secara tidak sengaja di kedai kopi lainnya.
Dari pertemuan nggak sengaja. Berlanjut sering chat. Bulan lalu dia datang ke rumah untuk melamarku. Ya, aku terima dong. Soalnya aku merasa nyambung mengobrol dengannya. Apalagi saat bahas kopi. Alasan kenapa backstreet dari Naura, padahal dia sahabat lama, bos dan tetangga pula, karena dia itu ember nauzubillah. Takutnya satu kampung nanti tahu bahwa aku dilamar. Aku maunya memberi tahu orang-orang ketika sudah ada tanggal ijab qobul.
Tinnn!
Suara klakson dari motor Zaini terdengar. Akhirnya dia datang juga.
"Maaf, nunggu lama. Tadi harus beres-beres warung dulu."
"Iya, kada papa. Ulun gin anyar tuntung beres-beres. Naura, ulun bulik bedahulu lah," (Iya, nggak apa. Aku juga baru beres-beres. Naura, aku pulang duluan ya." pamitku.
"Hadangi (tunggu) dulu!" teriak Naura dari dalam kafe.
Teriakan Naura membikin aku mengurungkan niat menaiki motor Zaini. Tiba-tiba Naura muncul. "Napa pulang? Kan kerjaan ulun sudah beres."
"Ada yang andak unda takunakan wan pacar nyawa." (Ada yang mau aku tanyakan ke pacarmu.)
"Ada apa ya, Kak?"
Zaini memang orang Martapura. Asal Kakek Neneknya. Dia lahir dan besar di Jakarta. Pulang ke Martapura karena ada problem keuangan di Jakarta. Pulangnya sekitar lima tahun lalu. Makanya bahasa sehari-hari yang dia gunakan masih Bahasa Indonesia banget. Namun, dia mengerti kok Bahasa Banjar. Kata cowok itu lidahnya saja masih kelu mengucapkan Bahasa Banjar.
"Sudah berapa lama kerja sama Chef Agusta?"
"Baru dua tahun. Awalnya ditempatkan di Cabang Banjarmasin. Eh, dipindahkan ke Banjarbaru."
"Posisi nyawa (kamu) di warung mi bancir apa?"
"Kurir pengantar makanan."
Jujur aku kurang suka Naura terkesan menginterogasi pekerjaan calon suamiku. Apa maksudnya coba?
"Berarti sering masuk dapur ngambil makanan dong ya? Nyawa (kamu) tahu lah, resep Mi Bancir Chef Agusta?"
Sekarang aku mengerti ujung perkepoan Naura. Dia ingin tahu di balik dapur warung mi bancir Chef Agusta. Aku berharap calon suami nggak keceplosan. Walau baru kenal setahun, tapi aku cukup tahu si Zaini itu aslinya polos dan ceplas-ceplos banget.
"Waduh, kalau soal itu Kakak tanya aja ke bagian koki warung mi bancir. Tugasku ke dapur cuma ambil makanan aja."
"Ya udahlah. Munnya kada tahu. Unda bulik badahulu aja," (Kalaunya nggak tahu. Aku pulang duluan.) ucap Naura disertai bibir cemberut.
Aku cekikikan dalam hati melihat ekspresi Naura kesal yang nggak berhasil mendapatkan info apa pun dari calon suamiku.
...***...
Sebelum pulang ke rumah, aku dan Zaini mampir ke Kopi Janji Jiwa dulu. Aku itu sehari nggak minum kopi berasa sakit kepala. Saking kecanduannya. Hari ini belum ada minum kopi.
Kopi favoritku di sini adalah kopi pandan sedangkan favorit Zaini Coffe Latte avocado.
"Athiyah, dari pertemuan pertama sama bos ikam tu kenapa kok ngerasa nggak sreg ya? Kesannya dia tuh pengen tau banget soal urusan dapur orang lain. Kok ikam tahan sih kerja sama orang macam Naura itu?"
Aku cekikikan. "Naura memang seperti itu orangnya. Kepoan, tukang julit, tukang ghibah, rese, tapi dia baik banget. Nggak pelit ngasih kasbonan ke karyawannya yang lagi butuh duit. Belum lagi kalau kafe rame, semua karyawannya dapat bonus dua kali lipat."
"Pantes aja ikam (kamu) betah di sana. Ada bonusannya sih."
"Bukan itu aja sih. Naura tuh sahabatku sejak lama banget. Terus aku punya hutang budi sama keluarga Naura jadi ya dibetah-betahin kerja di sana. Di tempat lain belum tentu senyaman kerja sama Naura kan?"
Manusia memang nggak ada yang sempurna. Walau aku nggak suka dengan sifat jeleknya Naura, tapi Naura tetap lebih banyak baiknya.
"Untung pian (kamu) tadi kada (nggak) keceplosan soal resep Mi Bancir Chef Agus."
"Soal itu aku jujur beneran nggak tau resepnya. Kalaupun tahu, aku nggak mungkin membocorkan rahasia perusahaan tempatku kerja. Bisa mampus dipecat. Nyari kerja susah. Apalagi aku lagi fokus ngumpulin biaya nikahan kita."
Aku tersenyum sipu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Zaini.
Tiba-tiba karyawan Kopi Janji Jiwa menghampiri kami. "Permisi, Kak. Kopi Janji Jiwa sebentar lagi akan tutup."
Dih, karyawan Kopi Janji Jiwa nggak peka dan nggak bisa lihat aku romantisan sedikit sama Zaini.
"Oh iya, Mbak. Lima menit lagi ya."
Selanjutnya aku dan Zaini buru-buru menghabiskan kopinya.
...***...
Posisiku di kafe memang manager. Harusnya salah satu tugasku hanya merencakan menu yang disajikan. Namun, Naura membebaniku tugas tambahan yakni belanja ke pasar. Biar Naura tinggal memasak. Bos satu itu paling nggak mau ke pasar katanya becek, berdesakan, bau jengkol dan ikan asin. Dia paling anti sama dua hal itu.
Di sinilah aku sekarang. Sebelum ke kafe aku ke Pasar Martapura dulu. Belanjanya sudah beres. Aku kembali melihat keranjang belanjaan sekali lagi. Takut ada yang ketinggalan. Bakal berabe diomelin Naura. Parahnya disuruh balik ke pasar.
Ayam, bumbu soto Banjar, bawang merah, bawang putih dan segala macam bahan untuk menu di kafe sudah ada. Aku bernapas lega semua sudah kebeli. Tinggal pulang berarti.
Aku berjalan menuju parkiran. Ketika di parkiran motor, aku melihat Naura lagi ada di toko mainan anak-anak. Ngapain dia ke sana? Perasaan dia nggak punya adik anak-anak. Untuk menjawab rasa penasaranku, aku menghampirinya.
"Oi, beapa pian (ngapain kamu) di sini?"
"Ading (adek)sepupuku mau ulang tahun. Jadi belikan dia mainan."
"Oh."
Aku beroh ria.
Aku melihat mainan yang dibelinya adalah tikus-tikusan dan kecoa-kecoaan. Aku jadi curiga, masa hadiah ulang tahun buat adik sepupu kayak gitu? Apa mungkin buat mengerjain adiknya itu?
...***...
Zaini
Lagi sibuk nggak? Klo nggak sibuk, jam makan siang kita ngopi bareng yuk. Aku nemu kedai kopi baru. Kata teman-teman enak.
Aku langsung membalasnya.
Wah, pas banget. Aku lagi ngidam kopi. Aku ke seberang atau kamu jemput aku di sini?
Dia membalas lagi.
Kamu di sana aja. Biar aku jemput.
Aku senyum-senyum sendiri membaca Whatsapp dari Zaini. Dikarenakan Zaini biasa memakai Bahasa Indonesia, aku pun juga berbahasa Indonesia dengannya. Aku melirik jam yang menempel di sudut dinding kafe. Lima menit lagi jam makan siang. Aku berkemas dulu.
Tiba-tiba Naura ada di sebelahku. "Athiyah, andak (mau) duit tambahan kada (nggak)?"
Dahiku berkerut. Nggak ada angin nggak ada hujan badai, Naura tahu-tahu menawarkan duit tambahan. Yang kutahu selama sahabatan, tetanggaan dan kerja sama dia, dia pelitnya nauzubillah. Pasti ada modus tertentu.
"Tergantung, duit tambahannya halal atau haram. Kalau halal ya siapa sih yang nolak? Kalau haram mah amit-amit jabang bayi menerimanya."
"Kalau membantu sahabat, tetangga serta bos itu dapat pahala, kan? Berarti uang dari membantu itu halal dong?"
Aku sudah bisa menebak arah pembericaraannya. Pasti minta tolong yang aneh-aneh. "Udah lah, kada usah bertele-tele. Andak (mau) minta tolong apa gerang (sih)?"
"Hadang." (tunggu)
Naura membuka tas tangannya. Lalu menyerahkan dua mainan yang dia beli di pasar tadi. Aku semakin heran, untuk apa diberikan kepadaku?
"Mun nyawa dapati (kalau kamu ketemu) pacar ke warung sebelah tolong andak (taruh) dua barang ini di dapurnya. Kalau perlu masukan ke panci berisi menu makanan."
Seketika aku mengelus dada. Kecurigaanku terbukti. Mainan yang dibelinya bukan untuk kado ulang tahun adik sepupunya. Melainkan untuk berbuat menjatuhkan Chef Agusta. "Astagfirullah. Ulun tau pian itu masih kesal wan Chef Agus gegara eliminasi. Kesal boleh, tapi jangan segitunya lah. Dosa tau. Andak (mau) dengarkan ayat Quran atau hadisnya?"
"Udah kada (nggak) usah ceramah. Subuh tadi unda (aku) sudah menonton acara Jamaah oh Jamaah. Soal dosa kaina unda (nanti aku) nanggungnya. Mau kada nih melakukan apa yang unda minta?"
"Ayuja. Kaina ulun (nanti aku) usahakan melakukan apa yang pian (kamu) pinta."
Aku memang sangat nggak suka dengan perbuatan Naura. Namun, aku nggak kuasa menolak permintaannya. Keluargaku ada hutang budi ke keluarga Naura. Abahnya dulu pernah melunasi hutang abahku yang cukup besar. Paling nanti nggak aku lakukan apa yang dia minta. Tinggal bohong sedikit saja bahwa dua barang ini sudah ditaruh di dapur warung Mi Bancir Chef Agusta.
...***...
Kamus Bahasa Banjar
Gin \= juga
Anyar \= baru
Tuntung \= selesai
Bulik \= balik
Bedahulu \= duluan
Hadang \= tunggu
Napa pulang \= apa lagi?
Takunakan \= tanyakan
Gerang \= sih
Beapa \= ngapain
Ading \= adik
Ayuja \= okelah
Kaina \= Nanti
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments