Amara (Bukan Anak Terbuang)
Aku memiringkan kepala ke kiri, dan Denis mengikuti. Begitu juga saat aku berganti posisi ke kanan, bocah itu juga mengikutiku. Kulirik Mimi, bahkan kucing putih kecil itu juga memiringkan kepalanya. Namun, matanya yang bulat dan terang menatap aku dan Denis bergantian. Hidungnya bergerak lucu seakan sedang membaui kami berdua.
"Kamu ngapain?" tegurku pada bocah ingusan itu. Bocah culun, tapi sayangnya sahabatku.
"Lah kamu juga ngapain?" tanyanya balik tanpa menegakkan kepalanya, masih miring menatapku.
"Miaw?!" Suara itu terdengar dari mulut kucing putih bersih yang ada di hadapan kami.
"Kamu juga kenapa ikutan, Mimi?!" Kudorong hidung Mimi yang basah dengan telunjuk. Kucing itu lalu menggosok wajah dengan kaki kanannya, dan sesekali menjilati kakinya.
"Sudahlah! Kalian malah mengganggu saja!" gerutuku seraya beranjak berdiri. Kesal rasanya.
Denis dan Mimi pun ikut berdiri dan melangkah mengikuti.
Tadinya aku sedang melihat lubang di kayu kering, ada sesuatu di dalamnya yang bergerak-gerak. Aku yakin isinya adalah telur naga, dan itu adalah bayi naga yang baru saja menetas.
Bercanda, hehe.
"Kamu kok gak manggil aku kakak? 'Kan aku lebih tua, Denis!" tegurku memperingatkan dia.
Denis, bocah ingusan yang pendek gemuk itu hanya mendongak menatap datar.
"Apaan? Kita hanya beda dua tahun, Amara!" sanggah Denis mencebik.
"Kata siapa?" tanyaku heran.
"Kata mamaku," sahut Denis sambil mengelap ingusnya dengan ujung kaosnya.
Uh, jijik.
"Mama bilang, kamu itu cuma anak umur delapan tahun yang sok tahu, harusnya aku nggak boleh main sama kamu!" ungkap Denis, dia lalu menoleh padaku sambil menggigit lidahnya.
"Mamamu kok gitu?" ketusku. Mama Denis memang galak, selalu berteriak. Aku mencuci tangan di kran depan rumahnya saja diteriaki.
Denis nyengir sambil mengangkat bahu.
Kami lalu berjalan menuju bukit kecil di belakang komplek perumahan, di mana ada sebuah pohon oak besar di sana. Aku biasanya main ke sana dan bermain sebagai putri.
Kami hampir sampai ketika terdengar teriakan dari bawah, dan ketika kami menoleh, terlihat seorang wanita dengan daster dan roll rambut di kepalanya berkacak pinggang sambil mengacungkan spatula. Wajahnya yang memakai masker putih itu terlihat menyeramkan apalagi dengan matanya yang membelalak begitu.
Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Maaf Denis, tapi mamamu sangat lucu.
Denis mengembuskan napas malas, ia lalu menoleh padaku.
"Aku harus pulang," ujarnya malas, matanya memicing menahan sinar matahari yang mulai turun ke peraduannya di atas sana.
Aku pun mengangguk. Kupandangi punggung gemuk Denis yang bergerak menjauh kembali turun bukit. Sampai akhirnya hanya aku dan Mimi saja.
"Kamu juga mau pergi?" tanyaku.
Anak kucing itu mengeong pelan menjawabku lalu menggelisir di betisku. Itu artinya dia mau main.
Aku pun tersenyum.
"Baiklah, kamu jadi ksatria saja hari ini!" kekehku sambil memakaikan sapu tangan kecilku ke lehernya. Tapi Mimi malah jadi 'reog' karena drama giginya yang menyangkut saat mandi.
"Mimi, sini! Aku lepas dulu kainnya!" teriakku mengejar kucing itu mengitari pohon.
Sampai akhirnya dia berhasil kutangkap, meski hasilnya adalah bajuku kotor dengan tanah merah dan lumpur. Tapi aku senang bisa mengejarnya, Mimi juga menciumiku sampai aku tertawa karena geli.
"Maaf ya, kamu panik ya gara-gara tersangkut." Kulepas saputangan yang sudah berubah warna itu, Mimi pun berlari dari pangkuanku. Aku ingin mengejar tapi urung, karena ternyata induknya datang menjemput.
"Baiklah, kamu pulang saja," Senyumku lalu melambaikan tangan pada Mimi.
Mimi mengeong sebentar sebelum pergi mengikuti induknya pergi ke sisi lain bukit.
Fuhh!
Aku kembali sendirian. Karena lelah, aku memilih duduk bersandar di bawah pohon. Kuangkat tanganku, menghalangi sinar matahari yang petang itu masih terang. Angin berhembus pelan, membuatku mengantuk. Sepi rasanya saat tak ada orang lain di sisiku.
"Hei, Gadis manis!"
"Aaakhhh!"
Aku terperanjat kaget, dan langsung bangun terduduk. Kuputar kepala mencari siapa yang memanggil tadi. Tapi tidak ada siapa-siapa. Rasanya merinding tangan ini saat mendengar suara seseorang, tapi tak melihat wujudnya.
"S-siapa?" tanyaku dengan takut. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, tak ada orang.
"Halo!" Seseorang muncul dari atas pohon, bergelantung terbalik begitu saja di depanku dengan kaki yang berada di dahan pohon. Tangan dan rambutnya menjuntai di sana.
"Aaahh!" Kulempar ranting yang bisa kugapai dengan sembarangan pada orang itu.
"Akh!" Terdengar teriakan darinya.
Orang itu terjatuh di depanku, aku melompat menjauh dan bersembunyi di balik pohon. Badannya kecil, dia menggeliat sambil mengerang memegangi pinggangnya, meringis kesakitan. Rambutnya tergerai menutupi wajahnya, tapi dari pakaiannya sepertinya dia itu anak laki-laki.
"Aduh! Pinggangku!" keluhnya sambil meringis kesakitan.
Matanya lalu terarah padaku, aku langsung bersembunyi lagi.
"Hei, kesini! Aku 'kan nggak jahat!" panggilnya sambil berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya yang dipenuhi daun kering dan lumpur.
Aku mengintip, takut pada orang asing ini meski iya, dia anak yang cukup tampan menurut ku.
Badannya sama denganku. Hanya saja kulitnya lebih putih dan rambutnya yang ikal sebahu itu terlihat berantakan.
"Kamu siapa? Anak laki-laki kok rambutnya panjang?" tanyaku heran, meski aku masih enggan keluar dari tempatku, masih mengintip melihat dia dari balik pohon.
Anak itu menoleh, lalu memiringkan kepalanya, dan kemudian tersenyum.
"Kesini!" panggilnya melambai.
"Mau ngapain?" tanyaku malas. Eh, takut!
"Mau kenalan," sahutnya seraya berjalan mendekat.
"Jangan kemari! Kamu 'kan orang asing!" Kuacungkan ranting pohon yang aku temukan di dekat kakiku, cukup panjang hingga aku arahkan kepadanya.
Dia menghembuskan nafas panjang, lalu duduk di akar. Menempatkan kedua sikunya di atas lutut.
"Makanya aku mau kenalan. Biar nggak dikira orang asing!" ujarnya.
Aku masih mengintip, wajahnya terlihat murung. Sorot matanya mendadak layu, senyum bibirnya tak nampak lagi.
Apa dia sedang sedih?
"Aku Amara, kamu siapa?" tanyaku. Melihat dia dengan wajah seperti itu, tanpa aku sadari melangkah mendekat ke arahnya dengan perlahan.
Dia pun menoleh dengan wajah terperangah senang.
"Aku Belvara, panggil saja Bara!' balasnya riang.
Aku pun tersenyum.
"AMARA!"
Aku menoleh ke bawah bukit, dan melihat ayah melambai di sana. Dia memanggil lagi.
"Ayahku sudah pulang, aku harus pergi membantunya!" pamitku sambil beranjak dari tempatku.
"Tunggu!" seru Bara. Aku menoleh, menunggu dia bicara. Bara terlihat ragu-ragu.
"Anu ... apa besok kamu kesini lagi?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Aku memang biasa main disini, kok!" jawabku.
Wajah Bara pun kembali ceria, lalu mengangguk.
Aku pun segera berlari menuruni bukit, tak peduli dengan napasku yang terengah. Ayah tersenyum melihatku. Dan aku berlari menabraknya langsung memeluknya.
"Ayah sudah pulang!" Aku mendongak. "Ayah bawa apa? Biar Ara bantu bawa!" tanyaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
☾⃟ℳoon - Moon 🌙
Karya baru,nyimak dulu ya kak, semangat
2022-11-21
0