Kak Ani datang menghampiriku, naik ke dalam mobil dan duduk di sampingku.
"Sakit, ya?" tanyanya menyentuh kakiku.
Aku mengangguk dengan kepala tertunduk. Malu karena tadi aku sudah mendorongnya sampai terjatuh.
"Tak apa, nanti Kakak obati!" kata Kak Ani sambil mengusap rambutku yang berantakan. Dia mengeluarkan ikat rambut dari saku celananya dan kemudian merapikan rambutku lalu mengikatnya.
Aku pun sedikit lega karena leherku akhirnya terasa sejuk.
Kak Gery mendekat dan berdiri di luar mobil.
"Amara, baik-baik sama Bunda dan Kakak ini, ya!" ucapnya menyentuh kepalaku. "Nanti kapan-kapan Kakak mampir ke sana!" tambahnya tersenyum.
Aku mengangguk saja mengiyakan. Kak Gery lalu bicara lagi.
"Kalau Kakak ke sana nanti Kakak bawakan buku cerita yang bagus-bagus, bagaimana?" katanya menatapku.
Aku mengangguk lagi. Aku suka buku cerita.
Kak Gery tersenyum lalu sekali lagi mengusap rambutku sebelum akhirnya menutup pintu mobil. Sebentar dia berbicara dengan Bunda Evie, sebelum akhirnya Bunda pun masuk ke mobil di ruangan depan bersama bapak sopir itu.
Mobil pun perlahan melaju, meninggalkan rumah sakit. Dari jendela mobil, kulihat Bara melambai dari balik pohon.
Ah, aku capek, Bara! Maaf gak bisa balas lambaian kamu!
Aku merebahkan kepala di pangkuan Kak Ani, ingin tidur tapi mataku tak bisa terpejam.
...***...
Ayah, Ayah ...
Apa Ayah memang meninggalkan aku?
Lalu ...
Ayah kemana sekarang?
Apa pulang ke rumah kita?
Amara sakit, Ayah!
Apa Ayah tidak tahu aku sakit?
Biasanya kalau aku sakit, Ayah yang mengompres keningku karena tidak punya uang untuk ke dokter.
Lalu bagaimana jika Ayah yang sakit?
Siapa yang akan membawakan Ayah minum kalau Ara nggak ada?
Ayah ...
...***...
"Amara, bangun! Kita sudah sampai!" Bahuku diguncang pelan sampai aku membuka mata. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada ayah di sini. Apa tadi? Apa aku bermimpi?
Kak Ani membantuku bangun.
"Sakit semua," keluhku.
Kak Ani tersenyum, "Nanti kamu minum obat lalu istirahat lagi, ya!" ucapnya.
Aku mengangguk sambil mengucek mataku.
Pintu mobil di sebelahku terbuka, dan bapak sopir itu muncul memintaku datang. Aku menurut saja dan merebahkan badanku di bahunya. Bapak sopir itu membawaku masuk ke panti menggendong aku yang lemas.
Banyak mata yang terarah pada kami saat melewati mereka. Entahlah, rasanya aku tidak suka dengan tatapan itu.
Dengan pelan, aku dibaringkan di tempat tidur.
"Istirahat ya!" kata bapak sopir itu tersenyum lembut.
Aku mengangguk.
Bunda Evie datang membawakan nasi dan sayur untuk aku makan sebelum minum obat. Aku jadi anak baik saja dan menurut. Disuapinya aku sampai makanan itu habis. Sampai akhirnya Bunda Evie pun pamit dari kamar dan menutup pintu.
Kulihat sekeliling kamarku.
Sedikit lebih besar dari kamarku di rumah. Ada lemari kecil, meja dan kursi di dekat jendela. Aku bangun dan melangkah ke sana dengan hati-hati, sakit lututku meski telah diobati tadi.
Dari jendela aku baru tahu kamarku ada di lantai atas, kulihat anak-anak bermain di bawah sana dengan riang.
Anak panti ...
"Ayah, apa aku jadi anak panti sekarang?"
...***...
Aku bangun dengan sedikit lebih ringan. Badanku sudah tidak sakit walaupun masih kaku rasanya. Apalagi, kaki ini, saat aku gerakkan terasa perih dan linu. Saat itu kudengar pintu diketuk dari luar. Aku pun turun perlahan-lahan dari tempat tidur.
Luka di lutut membuat aku sedikit kesulitan untuk berjalan saat hendak membuka pintu.
"Selamat pagi, Amara!" sapa Kak Ani tersenyum riang, di sebelahnya ada seorang anak kecil. Lebih kecil dari badanku.
"Pagi," balasku menatap anak itu. Dia bersembunyi di balik badan Kak Ani.
"Kamu mau mandi? Ayo, kita turun sama-sama!" ajak Kak Ani sambil menyodorkan ember kecil berisi peralatan mandi. Ada sabun cair di dalam botol kecil, pasta gigi dan sikat gigi juga.
"Handuknya kamu ambil di lemari," kata Kak Ani menunjuk ke dalam kamarku.
Aku pun berjalan, sedikit terpincang-pincang ke arah lemari dan membukanya.
Isinya pakaian anak-anak yang tidak kukenal, tapi tercium wangi pelembut pakaian yang biasa Ayah pakai kalau mencuci pakaianku.
Handuk, mana handuknya?
Ah, dibawah rupanya!
Ada dua handuk, merah dan biru. Kuambil salah satunya yang berwarna biru. Setelah itu kembali berjalan ke ambang pintu dimana Kak Ani menunggu.
Aku menoleh ke kanan dan kiri. Pintu-pintu itu rupanya adalah kamar anak-anak, sama sepertiku. Sama seperti Kak Ani, anak yang lebih dewasa mengasuh anak yang lebih kecil yang belum mandiri dan masih membutuhkan bimbingan.
Bahkan ada yang masih sangat kecil dan rewel, harus dipangku oleh kakak pengasuh. Ada juga anak yang nakal, malah berlari-lari seraya tertawa dikejar oleh anak lain. Suasana pagi sungguh ramai dengan berbagai celotehan dan teriakan anak-anak, tapi mereka terlihat ceria dan gembira.
Mataku membulat rasanya melihat suasana di belakang bangunan panti. Ruangan terbuka yang terang terkena sinar matahari langsung. Ada taman kecil di sana.
Ada jajaran pintu kamar mandi yang digunakan bergantian. Beberapa anak bermain satu sama lain selagi menunggu kamar mandi yang kosong. Beberapa kakak yang lebih dewasa tampak sedang menunggui mesin cuci, ada beberapa di pojokan sana. Satu lahan dengan jajaran tiang jemuran yang sudah setengahnya penuh oleh pakaian basah yang sudah digantung rapi.
Kak Ani mengajakku duduk di bangku beton di depan salah satu kamar mandi. Masih ada isinya karena pintunya tertutup. Terdengar suara air yang jatuh di lantai kamar mandi.
"Kamu tunggu disini, ya, Amara! Kakak mau memandikan Letta dulu!" kata Kak Ani. Aku mengangguk.
Kak Ani membawa Letta ke sisi lain, dimana ada bak air besar dengan dindingnya yang tinggi dan lebih luas. Letta dimandikan di sana, mungkin karena dia masih kecil jadi tidak apa-apa mandi di tempat terbuka seperti itu.
Pintu kamar mandi di depanku terbuka, dan keluarlah seorang kakak perempuan. Rambutnya basah, wajahnya terlihat segar dan tersenyum padaku.
"Kamu Amara 'kan ya?" sapanya.
Aku mengangguk. Dia lalu duduk di sebelahku, dan mengulurkan tangannya.
"Aku Tania, masih ingat?" tanyanya.
Aku menerima tangannya, tapi aku lupa. Maka aku pun menggeleng. Kak Tania pun tersenyum geli.
"Tak apa, kamu mau mandi? Mau Kakak bantu?" tanyanya melihat ember kecil di sampingku.
"Aku bisa mandi sendiri, karena kata Ayah, beliau sudah tidak boleh memandikan aku lagi kalau aku sudah umur tujuh tahun," tolakku.
Kak Tania terdiam sebentar, lalu kembali tersenyum.
"Baiklah, sini Kakak tunjukkan kamar mandinya dulu," ajaknya.
Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments