12. Kembali Ke Panti Asuhan

"Aku masih punya es krim di kulkas, apa kamu mau?" tanya Kak Anya mengalihkan perhatianku dari gambar itu.

Aku suka es krim. 

"Iya!" jawabku semangat. 

Kak Anya mengajakku ke dapur yang luas, ada beberapa orang yang memakai pakaian yang sama dengannya. Mereka tersenyum melihatku. 

Kami keluar dari dapur, ada taman di belakangnya dan Kak Anya memintaku duduk di kursi taman. 

"Kamu tunggu disini, Kakak bawakan es krimnya, ya!" katanya. Aku mengangguk.

Air mancurnya dikelilingi bunga-bunga. Dan pohon-pohon berjajar rapi di sisi taman berdekatan dengan pagar tembok yang tinggi itu. 

Di bawah sebuah pohon, aku melihat ada seseorang. Dia melambai padaku.

"Bara?" 

Aku berlari kecil menghampirinya. Senang rasanya bertemu dengan dia di sini.

"Kamu kok ada disini?" tanyaku heran.

Bara tak menjawab dia hanya tersenyum.

"Seharusnya kamu tidak kesini!" katanya. "Ayahmu baik-baik saja sekarang, jangan khawatir!" lanjutnya.

"Kamu yang bilang kalau ayahku sakit!" omelku gemas. Jika dia tidak bilang begitu kemarin, tentu aku tidak akan pergi dan menunggu ayah, siapa tahu ayah kembali ke panti dan kehilangan aku karena aku yang telah kabur.

Bara tertawa, "Iya, tapi dia sudah sembuh, kok!" kilahnya. Dia lalu menatapku.

"Sebaiknya kamu cepat pulang ke panti!" katanya.

"Lho, kenapa?" Aku duduk di dekatnya.

Bara tak segera menjawab, dia terdiam menatapku.

"Karena ... "

"Amara!"

Aku menoleh dan melihat Kak Anya melambai padaku dari kursi taman itu. Aku balas melambai ke arahnya.

"Bara. Loh ...?" Saat aku melihat ke arah Bara, dia sudah tak ada.

Ish!

"Kebiasaan!" Aku mendengus sebal. Bara selalu datang dan pergi secara tiba-tiba seperti itu. Heran!

Akhirnya aku kembali pada Kak Anya, dia melihatku dengan heran.

"Kamu kenapa kesitu?" tanyanya. 

Aku menoleh lagi ke arah pohon itu, ketika hendak menjawab kulihat Bara ada di sana, mengacungkan jari telunjuknya memberi isyarat agar aku diam.

"Amara?!"

"Eh, aku ... tadi ada kelinci di sana!" Duh, aku jadi berbohong! Semua ini gara-gara Bara!

Kak Anya menatap bingung, dia melihat ke pohon itu dan sekali lagi menatapku. 

"Baiklah, sebaiknya kita di dalam saja makan es krimnya!" ajaknya sambil menggiringku masuk kembali. 

"Lho, katanya mau makan es krim di luar?" tegur temannya Kak Anya. 

Kak Anya hanya mengerling menjawabnya. Dia selanjutnya mengajakku ke sisi ruangan lain, ada taman kecil yang lebih tersembunyi di samping rumah, berdekatan dengan pagar tembok yang sangat tinggi jika dilihat dari dekat begini. 

"Baiklah, kita disini saja!" kata Kak Anya sambil mengajakku duduk di sebuah gazebo. 

Gazebonya indah, dengan bunga yang merambat mengelilingi setiap tiangnya.

"Seperti di film Barbie ya, Kak!" ucapku tertawa.

Kak Anya melebarkan matanya, "Wah, kamu tahu filmnya, ya?" 

Aku mengangguk, "Dulu aku suka diajak nonton film sama Kak Marlin di televisi," jawabku sambil menyendok es krim.

"Apa dia kakakmu?" tanya Kak Anya sambil duduk di sebelahku.

Aku menggeleng, "Bukan, dia tetanggaku, suka mengajariku membaca."

"Oh, ya, apa sekarang dia masih suka mengajari kamu?"

"Nggak, terakhir kali aku malah diusir sama teman laki-lakinya karena katanya aku mengganggu!" Aku kesal kalau mengingat waktu itu.

Kak Anya sontak tertawa, "Kenapa diusir?" gelaknya. 

"Katanya, aku mengganggu karena mereka mau main dokter-dokteran!" Kusendok es krim banyak-banyak.

"Astaga!" Kak Anya hanya membuka mulutnya tanpa melanjutkan kalimatnya, lalu menggelengkan kepala.

"Sudah, makan saja es krimnya, habiskan!" ujarnya tersenyum.

"Kakak mau? Nggak apa-apa aku habiskan?" tanyaku seraya menyodorkan satu sendok es krim.

Dia terkekeh, "Baik, satu sendok saja, ya! Lalu sisanya habiskan sama Amara!" katanya.

Kak Anya membuka mulut menerima suapan dari tanganku. Setelah itu kami pun tertawa bersama karena dia menggelengkan kepalanya.

"Beku!"

Saat itu ada teman Kak Anya tadi datang mendekat, dan mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar karena mereka bicara berdua saja. Kak Anya mengangguk dan temannya itu pergi.

"Amara, ada Bunda Evie disini, kamu mau pulang?" tanyanya menatapku.

Aku urung menyuapkan sendok es krim terakhir. Terkejut dengan ucapannya barusan.

Bunda Evie? Kok Bunda tahu aku ada di sini? Apa aku akan dimarahi? Apa Bunda Evie marah?

"Nggak apa-apa, dia akan senang melihat kamu disini!" bujuk Kak Anya saat aku tengah berpikir.

Kesenangan tadi langsung lenyap, aku pun mengangguk.

Jantungku berdebar ketika berjalan mengikuti Kak Anya ke ruangan depan. Di sana, Bunda Evie dan Kak Ani duduk di kursi panjang yang bagus. Mereka langsung berdiri saat melihat kami datang.

"Amara! Astaga, Tuhanku!" Bunda Evie langsung menghampiriku, berlutut, dan memelukku. Kudengar isak tangisnya di bahuku.

"Kami mencari kemana-mana, Amara!" kata Kak Ani menatapku dengan cemas dan matanya berair.

Bunda Evie melepas pelukannya, dan menyentuh pipiku, menatapku dari atas hingga ke bawah.

"Apa kamu baik-baik saja? Kamu nggak terluka?" tanyanya dengan pipi basah.

"Tuan menemukannya pingsan di jalan karena kelelahan, karena hari sudah malam jadi Tuan membawanya pulang kesini!" terang Kak Anya.

Lagi-lagi tuan, siapa 'tuan' yang dimaksud Kak Anya?

"Iya, terima kasih atas bantuannya, maaf merepotkan!" kata Bunda Evie berdiri dan merangkulku.

Kak Anya tersenyum, "Tidak apa-apa, Tuan sepertinya menyukai Amara maka dari itu dia meminta saya menahannya selama satu hari," kekehnya, "padahal Tuan sendiri pergi entah kemana!"

Bunda Evie dan Kak Ani saling pandang dan menatapku.

Apa? Aku juga tidak tahu!

"Amara anak yang manis, kami sama sekali tidak merasa direpotkan!" kata Kak Anya mengusap pipiku.

"Baiklah, kami pamit sekarang, sekali lagi terimakasih karena sudah merawat Amara!" kata Bunda Evie. 

Kak Anya mengangguk seraya tersenyum, mereka lalu bersalaman. 

Sebelum pergi aku, rasanya aku ingin menoleh ke belakang. Ke atas tangga sana. Karena di sana ternyata ada seseorang yang tengah memperhatikan kami sedari tadi. Dia tersenyum padaku dengan wajahnya yang pucat. 

Wajahnya mirip dengan anak yang ada di lukisan itu.

Apakah dia anak dari 'tuan'?

...***...

Kami tiba kembali di panti petang hari. Sepanjang perjalanan tadi, Kak Ani tak henti-hentinya memujiku. Katanya aku terlihat manis dengan baju ini. Aku juga menyukainya. Akan kucuci sendiri baju ini agar tidak tertukar dengan anak lain.

Bunda Evie memegang tanganku saat berjalan memasuki panti. Bisa kurasakan tatapan benci dari Cindy dan teman-temannya dari sudut taman sana. Mereka pasti iri dengan baju bagusku.

Zian tersenyum dari balik poninya melihatku. Sepertinya aku akan berteman saja dengannya. 

Bunda Evie lalu mengantarku ke kamar. 

"Kamu istirahat saja, nanti Kak Ani yang bawakan makan malam ke sini, ya!" katanya tersenyum.

Aku menggeleng. Takut nanti dikatakan anak manja oleh yang lainnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!