NovelToon NovelToon

Amara (Bukan Anak Terbuang)

1. Amara Dan Seorang Anak Laki-Laki

Aku memiringkan kepala ke kiri, dan Denis mengikuti. Begitu juga saat aku berganti posisi ke kanan, bocah itu juga mengikutiku. Kulirik Mimi, bahkan kucing putih kecil itu juga memiringkan kepalanya. Namun, matanya yang bulat dan terang menatap aku dan Denis bergantian. Hidungnya bergerak lucu seakan sedang membaui kami berdua.

"Kamu ngapain?" tegurku pada bocah ingusan itu. Bocah culun, tapi sayangnya sahabatku.

"Lah kamu juga ngapain?" tanyanya balik tanpa menegakkan kepalanya, masih miring menatapku.

"Miaw?!" Suara itu terdengar dari mulut kucing putih bersih yang ada di hadapan kami.

"Kamu juga kenapa ikutan, Mimi?!" Kudorong hidung Mimi yang basah dengan telunjuk. Kucing itu lalu menggosok wajah dengan kaki kanannya, dan sesekali menjilati kakinya.

"Sudahlah! Kalian malah mengganggu saja!" gerutuku seraya beranjak berdiri. Kesal rasanya.

Denis dan Mimi pun ikut berdiri dan melangkah mengikuti. 

Tadinya aku sedang melihat lubang di kayu kering, ada sesuatu di dalamnya yang bergerak-gerak. Aku yakin isinya adalah telur naga, dan itu adalah bayi naga yang baru saja menetas.  

Bercanda, hehe.

"Kamu kok gak manggil aku kakak? 'Kan aku lebih tua, Denis!" tegurku memperingatkan dia. 

Denis, bocah ingusan yang pendek gemuk itu hanya mendongak menatap datar. 

"Apaan? Kita hanya beda dua tahun, Amara!" sanggah Denis mencebik.

"Kata siapa?" tanyaku heran. 

"Kata mamaku," sahut Denis sambil mengelap ingusnya dengan ujung kaosnya.

Uh, jijik.

"Mama bilang, kamu itu cuma anak umur delapan tahun yang sok tahu, harusnya aku nggak boleh main sama kamu!" ungkap Denis, dia lalu menoleh padaku sambil menggigit lidahnya.

"Mamamu kok gitu?" ketusku. Mama Denis memang galak, selalu berteriak. Aku mencuci tangan di kran depan rumahnya saja diteriaki.

Denis nyengir sambil mengangkat bahu.

Kami lalu berjalan menuju bukit kecil di belakang komplek perumahan, di mana ada sebuah pohon oak besar di sana. Aku biasanya main ke sana dan bermain sebagai putri. 

Kami hampir sampai ketika terdengar teriakan dari bawah, dan ketika kami menoleh, terlihat seorang wanita dengan daster dan roll rambut di kepalanya berkacak pinggang sambil mengacungkan spatula. Wajahnya yang memakai masker putih itu terlihat menyeramkan apalagi dengan matanya yang membelalak begitu. 

Aku ingin tertawa, tapi kutahan. Maaf Denis, tapi mamamu sangat lucu.

Denis mengembuskan napas malas, ia lalu menoleh padaku.

"Aku harus pulang," ujarnya malas, matanya memicing menahan sinar matahari yang mulai turun ke peraduannya di atas sana.

Aku pun mengangguk. Kupandangi punggung gemuk Denis yang bergerak menjauh kembali turun bukit. Sampai akhirnya hanya aku dan Mimi saja. 

"Kamu juga mau pergi?" tanyaku.

Anak kucing itu mengeong pelan menjawabku lalu menggelisir di betisku. Itu artinya dia mau main.

Aku pun tersenyum.

"Baiklah, kamu jadi ksatria saja hari ini!" kekehku sambil memakaikan sapu tangan kecilku ke lehernya. Tapi Mimi malah jadi 'reog' karena drama giginya yang menyangkut saat mandi.

"Mimi, sini! Aku lepas dulu kainnya!" teriakku mengejar kucing itu mengitari pohon. 

Sampai akhirnya dia berhasil kutangkap, meski hasilnya adalah bajuku kotor dengan tanah merah dan lumpur. Tapi aku senang bisa mengejarnya, Mimi juga menciumiku sampai aku tertawa karena geli.

"Maaf ya, kamu panik ya gara-gara tersangkut." Kulepas saputangan yang sudah berubah warna itu, Mimi pun berlari dari pangkuanku. Aku ingin mengejar tapi urung, karena ternyata induknya datang menjemput.

"Baiklah, kamu pulang saja," Senyumku lalu melambaikan tangan pada Mimi.

Mimi mengeong sebentar sebelum pergi mengikuti induknya pergi ke sisi lain bukit. 

Fuhh!

Aku kembali sendirian. Karena lelah, aku memilih duduk bersandar di bawah pohon. Kuangkat tanganku, menghalangi sinar matahari yang petang itu masih terang. Angin berhembus pelan, membuatku mengantuk. Sepi rasanya saat tak ada orang lain di sisiku.

"Hei, Gadis manis!" 

"Aaakhhh!"

Aku terperanjat kaget, dan langsung bangun terduduk. Kuputar kepala mencari siapa yang memanggil tadi. Tapi tidak ada siapa-siapa. Rasanya merinding tangan ini saat mendengar suara seseorang, tapi tak melihat wujudnya.

"S-siapa?" tanyaku dengan takut. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, tak ada orang.

"Halo!" Seseorang muncul dari atas pohon, bergelantung terbalik begitu saja di depanku dengan kaki yang berada di dahan pohon. Tangan dan rambutnya menjuntai di sana.

"Aaahh!" Kulempar ranting yang bisa kugapai dengan sembarangan pada orang itu.

"Akh!" Terdengar teriakan darinya.

Orang itu terjatuh di depanku, aku melompat menjauh dan bersembunyi di balik pohon. Badannya kecil, dia menggeliat sambil mengerang memegangi pinggangnya, meringis kesakitan. Rambutnya tergerai menutupi wajahnya, tapi dari pakaiannya sepertinya dia itu anak laki-laki. 

"Aduh! Pinggangku!"  keluhnya sambil meringis kesakitan.

Matanya lalu terarah padaku, aku langsung bersembunyi lagi.

"Hei, kesini! Aku 'kan nggak jahat!" panggilnya sambil berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya yang dipenuhi daun kering dan lumpur. 

Aku mengintip, takut pada orang asing ini meski iya, dia anak yang cukup tampan menurut ku.

Badannya sama denganku. Hanya saja kulitnya lebih putih dan rambutnya yang ikal sebahu itu terlihat berantakan.

"Kamu siapa? Anak laki-laki kok rambutnya panjang?" tanyaku heran, meski aku masih enggan keluar dari tempatku, masih mengintip melihat dia dari balik pohon.

Anak itu menoleh, lalu memiringkan kepalanya, dan kemudian tersenyum.

"Kesini!" panggilnya melambai.

"Mau ngapain?" tanyaku malas. Eh, takut!

"Mau kenalan," sahutnya seraya berjalan mendekat.

"Jangan kemari! Kamu 'kan orang asing!" Kuacungkan ranting pohon yang aku temukan di dekat kakiku, cukup panjang hingga aku arahkan kepadanya.

Dia menghembuskan nafas panjang, lalu duduk di akar. Menempatkan kedua sikunya di atas lutut.

"Makanya aku mau kenalan. Biar nggak dikira orang asing!" ujarnya. 

Aku masih mengintip, wajahnya terlihat murung. Sorot matanya mendadak layu, senyum bibirnya tak nampak lagi.

Apa dia sedang sedih?

"Aku Amara, kamu siapa?" tanyaku. Melihat dia dengan wajah seperti itu, tanpa aku sadari melangkah mendekat ke arahnya dengan perlahan.

Dia pun menoleh dengan wajah terperangah senang.

"Aku Belvara, panggil saja Bara!' balasnya riang. 

Aku pun tersenyum. 

"AMARA!"

Aku menoleh ke bawah bukit, dan melihat ayah melambai di sana. Dia memanggil lagi.

"Ayahku sudah pulang, aku harus pergi membantunya!" pamitku sambil beranjak dari tempatku.

"Tunggu!" seru Bara. Aku menoleh, menunggu dia bicara. Bara terlihat ragu-ragu.

"Anu ... apa besok kamu kesini lagi?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku memang biasa main disini, kok!" jawabku. 

Wajah Bara pun kembali ceria, lalu mengangguk.

Aku pun segera berlari menuruni bukit, tak peduli dengan napasku yang terengah. Ayah tersenyum melihatku. Dan aku berlari menabraknya langsung memeluknya.

"Ayah sudah pulang!" Aku mendongak. "Ayah bawa apa? Biar Ara bantu bawa!" tanyaku.

2. Ayah Terbaik

Ayah mengusap kepalaku lalu mengacungkan tangannya yang membawa keranjang buah, membuat aku suka melihat makanan tersebut.

"Ayah punya anggur merah buat kamu, tadi dikasih sama Bunda Evie," kata Ayah riang. "Kamu suka 'kan?"

Aku pun mengangguk dengan penuh semangat. "Suka!" teriakku.

"Kalau begitu ayo pulang. Ooh ... astaga! Kamu kotor sekali!" seru Ayah membelalak melihat rok dan bajuku penuh lumpur kering di bagian belakang.

"Tadi jatuh ngejar Mimi di bukit" tunjukku ke arah bukit tadi, dan saat aku melihat ke sana, kulihat Bara masih berdiri lalu melambai padaku. Aku pun balas melambai riang padanya.

"Kamu dadah sama siapa, Ara?" tanya Ayah heran.

Aku hanya terkekeh menjawabnya. Ketika kulihat lagi ke bukit itu, Bara sudah tidak ada di sana, sepertinya dia pulang. 

"Sudah, setelah ini kamu cepat mandi, nanti biar bajunya Ayah yang cuci," kata Ayah tertawa geli.

Kugelengkan kepalaku, "Tidak! Biar aku cuci sendiri saja!" tegasku. "Aku ingin belajar bantu Ayah di rumah biar nggak capek!"

Ayah tersenyum, mengangguk mengiyakan.

"Amara," panggil Ayah saat kami mulai masuk ke dalam pekarangan rumah dengan saling  berpegangan tangan.

"Ya, Ayah?" Aku mendongak menatap ayah.

"Apa kamu tidak sedih hidup sama Ayah?" 

Aku mengerutkan kening, bingung. "Ayah ngomong apa?" 

Ayah terlihat memejamkan mata sambil memijat pangkal hidungnya. Beliau mendongak sejenak lalu kembali menunduk tersenyum padaku.

"Besok ayah mau ajak Ara jalan-jalan, mau?"

Aku melompat senang. Sudah lama sekali sejak ibu meninggal, ayah belum pernah mengajakku untuk main lagi karena sibuk bekerja. 

"Tentu saja, Ayah!" jeritku senang. Kupeluk pinggang ayah dengan gembira.

"Terima kasih karena menjadi Ayah yang paling baik buat, Amara!" senyumku lebar, dan ayah pun ikut tersenyum. Namun, kulihat matanya berair menatapku.

Kami masuk ke dalam rumah, segera aku berlari ke dapur dan terdengar teriakan ayah yang menyuruhku untuk mandi.

"Cepat mandi! Ayah akan masak makan malam untuk kita!" teriak Ayah dari belakangku.

"Ya, Ayah!" Aku berteriak lagi, lalu tanpa menunggu diperintah untuk yang kedua kali segera berlari ke dalam kamar dan mengambil handuk.

Air keluar dari shower, aku mandi sambil bernyanyi seperti biasanya. Sabun cair yang ayah belikan untukku bulan lalu ku bubuhkan di spons mandi sedikit saja. Wanginya enak, aroma buah stroberi dan aku sangat suka sekali. Tidak rela rasanya jika dia akan habis dalam waktu yang dekat.

"Umm ... wangi!" seruku sambil memainkan busa sabun yang ada di tangan, sesekali meniupnya hingga tercipta sebuah gelembung, ku tiup sehingga beterbangan di udara.

"Ara! Apa kau ini putri duyung? Ayah sudah sangat lapar jika menunggumu berubah kembali menjadi seorang anak manusia!" teriak ayah dari luar kamar mandi. Aku tertawa kecil, menyadari jika terlalu lama telah berada di dalam sini.

"Ya, Ayah! Aku segera selesai!" teriakku, lalu bergegas untuk membasuh tubuh penuh busa sabun dengan air yang ada di bak. Agar cepat selesai.

Kamar mandi kami tidak besar, ada sebuah ember yang dijadikan sebagai bak dan juga ada shower karena aku ingat tahun lalu merengek memintanya kepada ayah. Melihat kamar mandi milik Denis aku merasa ingin kamar mandi di rumah ini memilikinya juga. Aku ingat ayah tidak punya uang waktu itu, jadi hanya menggunakan benda yang ada di gudang untuk membuatnya. Sebuah selang plastik panjang dengan ujungnya terikat pada sesuatu yang ayah beri banyak lubang, dan saat benda itu terpasang, maka jadilah shower buatan yang sama fungsinya seperti milik Denis. Ayah bilang, 'Yang terpenting sama seperti ini, kan?' Aku hanya mengangguk dengan semangat dan memeluk ayah dengan sayang.

"Amara!" teriak ayah lagi. Aku tersadar dari menatap shower darurat kami dan segera menyelesaikan mandiku.

"Astaga! Apa saja yang kamu lakukan, ha? Sebentar lagi kau bisa berubah menjadi putri duyung," ucap Ayah sambil tersenyum dan menyiapkan piring kosong di atas meja makan. Aku hanya tertawa malu, kemudian bergegas pergi ke dalam kamar untuk mengenakan baju.

Aku memakai piyama bagus yang ayah belikan dua hari yang lalu, meski terasa bahannya tipis, tapi ini lebih baik daripada piyama lamaku yang telah bolong di tepian bajunya, jahitannya sudah terlepas saat seseorang memberikannya kepadaku. Ayah menjahitnya dengan hati-hati, tapi tetap saja pakaian rapuh itu kembali sobek jika aku bergerak terlalu lincah.

Rambut yang rapi, wajah yang sudah memakai bedak, dan sedikit minyak kayu putih untuk pewangi pada leherku, aku siap untuk makan malam bersama dengan ayah.

"Bu, besok Ayah bilang akan mengajakku pergi," ucapku senang, laporan kepada gambar sosok wanita yang ada di samping meja tempat tidurku.

Di dapur, Ayah sudah menunggu di meja makan, masih mengenakan celemek di depan tubuhnya dan tersenyum saat aku mendekat dan menyeret kursi kayu yang sudah sedikit goyang karena kayunya sudah lapuk.

"Waaah, ikan goreng!" seruku senang lalu duduk dengan hati-hati agar tak terjengkang ke belakang.

"Makan yang banyak." Ayah memindahkan satu ikan goreng yang tidak terlalu kering ke atas piringku, di atas nasi yang mengepulkan asap tipis. Wanginya membuat perutku sangat lapar sekali.

"Terima kasih." Aku tersenyum senang dan segera makan dengan menggunakan tangan. Apapun yang kami makan, kami sangat bersyukur sekali karena kami tidak harus makan dengan hanya menggunakan garam atau dedaunan yang dipetik dari pagar di samping rumah. Ayah bilang dedaunan itu dapat diolah menjadi teman nasi dengan cara merebusnya dengan ditambah sedikit garam. Meski awalnya aku tidak suka, tapi sekarang aku sudah terbiasa. Pekerjaan ayah sekarang lebih baik lagi daripada pekerjaannya tahun lalu, setidaknya kami tidak pernah kelaparan lagi meski tetap harus menghemat beras yang kami masak.

"Biar aku yang cuci piringnya. Ayah mandi saja dan segera beristirahat," tawarku.

"Kamu yakin bisa melakukannya?" tanya Ayah saat aku mengambil piring kotor dari hadapannya. Aku mengangguk pasti dan juga sangat bersemangat kali ini karena besok ayah akan membawaku bermain seharian.

"Ya, aku harus bisa membantu Ayah. Ayah sudah capek seharian bekerja," ucapku. Usapan lembut aku dapatkan di kepala dari tangan ayah yang besar.

"Anak pintar." Ayah bangkit dan melepas celemek, lalu menggantungnya di tempat biasa.

Sebuah kursi kayu aku tarik dari bawah wastafel, khusus ayah buatkan untuk aku berdiri jika sedang mencuci piring. Dulu pernah beberapa kali aku memecahkan gelas atau piring karena masih belum tinggi, maka dari itu ayah membuatkan benda tersebut untukku.

"Selamat malam, Ara. Selamat tidur," ucap ayah setelah aku selesai mencuci piring dan ayah selesai mandi. Rambutnya tampak basah dan membuatnya terlihat sangat tampan sekali.

"Selamat tidur." Aku mendekat pada ayah dan mencium pipinya serta memeluknya.

"Ibu, besok Ayah akan membawaku pergi," ucapku lagi kepada foto ibu yang tengah tersenyum.

Eh, padahal tadi juga sudah bilang. Hehe.

Aku jadi malu sendiri.

3. Pergi Bersama Ayah

Saking senangnya, aku bahkan tahu kapan ayam jago Pak Edi berkokok. Kata ayah, itu tandanya malam sudah mau habis dan waktunya sholat malam. Aku juga sering melihat ayah tengah sujud lalu berdo'a. 

Biasanya aku diam-diam suka ikut mengangkat tangan walaupun dari balik selimut.

Semoga ayah selalu sehat dan panjang umur. Aamiin.

"Kamu sudah bangun, Ara?" 

Aku terkejut dan kembali menutup mata saat ayah datang mendekat. Kepalaku disentuhnya ditepuk-tepuk dengan lembut.

"Maafkan ayah, Ara!" bisik ayah. 

Hening. 

Aku menunggu. Namun, sampai kantukku kembali datang, ayah tak bicara. Dan aku pun tertidur lagi.

Aku bermimpi. Ayah dibawa pergi oleh Hulk dan Bara datang menolong.

Mimpiku kok aneh, ya?!

"Ara, Ara, bangun, Nak!" Aku membuka mata dan mendapati ayah tersenyum lembut di sampingku.  

"Kamu mengigau, ya!" Ayah terkekeh sambil mencubit hidungku.

"Aku mengigau apa?" tanyaku sambil menguap lebar. Tidak tahu apa-apa.

"Kamu berteriak manggil ayah," kata Ayah tertawa.

Aku cemberut mengingat mimpiku itu. Seram rasanya. Kenapa bisa bermimpi aneh seperti itu?

"Aku mimpi ayah pergi," kataku.

Ayah langsung diam, "Ayo, bangun! Kan kita mau jalan-jalan!" katanya sambil tersenyum, lalu beranjak dari tempat tidurku. 

"Baik!" seruku melompat riang. Semangatku langsung bangkit. Kantukku juga langsung lenyap rasanya. 

Di luar matahari sudah tinggi. Aku menyesal karena bangun kesiangan. Biasanya aku bangun saat matahari masih bersembunyi di balik bukit di belakang rumah saat hari masih gelap.

Huh! Bisa-bisanya aku tertidur kembali setelah semalam itu. Aku tidak bisa menyiapkan sarapan buat ayah.

Aku mandi secepat kilat, membayangkan serunya bermain dengan ayah sepanjang hari. Saat aku selesai mandi, ayah ada di kamarku dengan memegang sebuah baju.

"Pakai baju ini ya, Ara," kata Ayah tersenyum, kulihat sebuah gaun cantik di atas tempat tidurku.

"Wah, bagus sekali, Ayah!" Gaun seperti itu yang sering kulihat dipakai anak-anak di televisi, atau yang suka dikenakan Alicia setiap pergi bersama orang tuanya dengan mobil bagusnya itu.

"Terimakasih, Ayah!" Kupeluk gaun itu, sangat lembut kainnya. Warnanya juga cantik, aku suka.

Ayah mengangguk mengiyakan.

"Bersiaplah, setelah itu kita sarapan, ya!" kata ayah sambil mengusap kepalaku.

Aku mengangguk. Setelah ayah keluar dari kamar, aku segera berpakaian. Aku tak ingin membuat ayah menunggu lama.

Aku keluar dari kamar dan mendapati ayah sedang menata makanan di meja. Apa itu di atas meja? 

Aku melihat berbagai makanan dan buah-buahan di sana. Ayah tersenyum geli melihatku.

"Ayah sudah gajian? Makanannya banyak sekali!" seruku. 

"Iya, syukurlah Ayah ada rejeki, jadi bisa beli kesukaan kamu," kata Ayah, lalu mengacungkan ayam goreng yang selalu aku ingin beli di kedai ayam yang ada gambar kakek-kakek janggut putihnya. 

"Ayam goreng!" jeritku senang. Ayah sampai tertawa. 

"Makanlah, pelan-pelan, ya!" kata Ayah sambil mendudukkanku di kursi. Lalu meletakkan ember ayam goreng itu di pangkuanku.

"Awas jangan sampai bajunya kotor, 'kan kita mau pergi," kata Ayah terkekeh. 

Aku mengangguk dengan riang dan menggerakkan kakiku di bawah meja.

Selagi aku makan, ayah menyisir rambut panjangku dan mengikatnya dengan ikat rambut lucu yang ada pitanya. Cantik sekali. Ayah tampak puas melihat hasil tangannya. 

"Anak Ayah cantik sekali!" pujinya menjawil pipiku. Dan aku terkekeh. 

Kulihat piring makan ayah masih menyisakan makanan.

"Ayah kenapa makannya sedikit?" tanyaku sambil menggigit paha ayam. 

Ayah tersenyum, "Tak apa, Ayah bisa makan lagi nanti," jawabnya.

"Iya, nanti kita makan sama-sama lagi, Yah!' seruku senang. 

Ayah hanya tersenyum tipis menjawabnya.

Ayah kembali duduk di kursinya, kami kembali makan meski sesekali aku lihat ayah hanya mencuil makanannya sedikit saja. Tampak tidak bersemangat untuk makan.

"Kenapa Ayah begitu makannya?" tanyaku pada ayah. Tersentak ayah saat mendengar pertanyaanku.

"Tidak apa-apa. Ayam ini ternyata sangat enak sekali," ucap ayah. Aku setuju dengan hal itu. Memang enak sekali dan rasanya tak rela jika menghabiskannya cepat-cepat.

"Cepat habiskan. Nanti keburu siang dan kita akan banyak melewatkan waktu menyenangkan," ucap ayah. Aku mengangguk dan segera melahap ayam goreng banyak-banyak hingga mulut ini pegal untuk mengunyah.

"Pelan saja. Makan lah yang baik. Lihat, minyaknya sampai belepotan di pipi," ucap ayah lagi. Aku tersenyum malu, bersiap untuk mengelap pipiku dengan ujung lengan baju.

"Eits. Kamu bisa membuat kotor pakaianmu. Sini." Ayah mengeluarkan sapu tangannya, membungkuk dan mengelap bibirku dengan perlahan.

"Terima kasih, Ayah."

Kami telah selesai makan, sementara ayah sedang mencuci piring bekas kami makan, aku mengenakan sepatu yang ayah belikan kemarin. Cantik sekali.

"Ayah. Lihat!" Aku berteriak senang sambil mengangkat gaun indahku, memperlihatkan sepatu berwarna pink putih itu pada ayah.

"Kamu mirip princess. Cantik sekali."

"Aku suka!" seruku sambil berputar-putar, kaki ini rasanya ringan sekali. Aku menunggu ayah selesai. Duduk dengan tak sabar di kursi yang sudah usang.

Akhirnya, Ayah telah selesai dan mengganti pakaiannya. Kami pergi keluar dari dalam rumah dengan aku yang berjalan melompat senang menggandeng tangan ayah. Aku masih ada di rumah, tapi rasanya di dalam pikiranku ini sudah berada di tempat lain, membayangkan kemana kelak ayah akan membawaku pergi hari ini.

"Kalian akan kemana?" tanya Denis saat ayah mengunci pintu pagar, ku lihat anak itu dengan pakaian yang basah juga selang air di tangannya.

"Kami mau pergi." Aku melambai pada Denis lalu tertawa saat melihat ibunya datang dan menjewer telinga Denis, bocah itu tampak melongo melambai padaku tak mendengarkan omelan ibunya. 

Saat melihat ke arah pohon oak, Bara tampak berdiri di sana. Saat aku melambai, dia hanya diam tak membalas. 

"Siapa, Ara?" tanya Ayah heran.

Aku mendongak pada Ayah yang juga ikut melihat ke arah puncak bukit itu. 

"Temanku," jawabku sambil menunjuk. Namun, saat kulihat lagi, Bara sudah tak ada di sana. 

Ayah hanya tersenyum meski dengan wajah bingung.

"Kita mau kemana?" tanyaku saat ayah menghentikan taksi.  

Sepertinya ayah akan mengajakku jalan-jalan ke kota besar.

"Nanti kamu tahu," jawab Ayah menyentuh kepalaku dengan lembut.

Akhirnya kami mendapat taksi kosong. Ayah memasukkan sebuah koper kecil yang dibawanya itu ke dalam bagasi. Aku heran, apakah kami akan menginap di kota?

Aku melompat masuk kemudian ayah menyusul. Ayah sebentar mencondongkan tubuhnya untuk mengatakan alamat tujuan kami kepada pak sopir.

"Kita mau kemana?" tanyaku lagi penasaran.

Ayah kembali duduk dan tersenyum. Mobil kini berjalan dengan perlahan dan rasanya aku tidak sabar ingin segera sampai di tempat itu. Kemana kiranya ayah akan membawaku pergi?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!