4. Satu Hari Bersama Dengan Ayah

"Ayah ajak kamu ke pasar malam yang ada di kota, Ara mau 'kan?" 

“Pasar malam? Yang ada kereta mini?” Aku berseru dengan senyum yang tak bisa ditahan lagi.

“Iya. Mau?” Aku langsung mengangguk.

Pasar malam yang suka ada di dekat rumah saja itu besar, aku tidak bisa naik sendiri ke patung kuda di komidi putarnya. Aku tidak bisa membayangkan sebesar apa nanti komidi putar di sana. Apa akan ada patung naga juga?

Tak sabar rasanya melihat ke sana, sepanjang perjalanan aku hanya sibuk berdiri di atas lutut menghadap ke arah jendela dan menghitung gedung-gedung tinggi sampai mataku pusing. Ayah sesekali mengusap kepalaku dan bilang padaku agar duduk saja.

Ayah benar. 

Ketika taksi kami berhenti di suatu tempat, aku melihat cahaya meriah warna-warni dengan banyak bendera menggantung di atas, melintang jauh di kepalaku. Tempat itu sangat besar sekali, banyak orang yang berlalu lalang di sana.

Ooh … apa itu di sana? Apa itu bianglala raksasa? Itu roller-coaster? 

"Ayah! Itu pasar malamnya! Ada bianglala di sana!" Aku berteriak dan menunjuk bianglala itu agar ayah melihatnya. Tak lupa juga menarik-narik tangan ayah dengan penuh semangat.

Ayah tersenyum sambil membayar ongkos pada sopir taksi. 

"Ayo, kita titipkan kopernya ke sana!" ajak Ayah menunjuk ke arah pintu masuk. Aku pun mengangguk cepat dan memegang tangan ayah sambil kami berjalan. 

Disini banyak orang, aku takut nanti ayah tersesat dan hilang. Bisa repot aku mencarinya nanti.

Selesai menitipkan koper, ayah pun mengajakku masuk. Aku tak sabar ingin mencoba semuanya. 

Pertama, aku naik komidi putar. Ada patung naga yang besar di sana, mirip dengan naga-nya Rapunzel. Ayah melambai padaku dari luar arena. Sesekali ayah mengusap matanya, sepertinya ayah kelilipan lagi. Ayah memang nakal, kalau dikucek begitu jadi merah 'kan?!

Lalu aku meminta naik bombom car, tadinya aku takut ayah marah, tapi ternyata tidak. Ayah mengangguk saja. Juga ketika aku meminta masuk ke istana boneka, ayah juga menurutiku. Sepertinya ayah memang sedang banyak uang hari ini dan mengizinkan aku memainkan apa pun yang aku mau.

Sampai akhirnya rasanya aku lelah, ayah masih menawariku ingin naik apa.

"Maaf, Ayah, aku capek," cengirku. "Aku haus!" 

Ayah terbahak. 

"Ayah lupa membeli minuman!" gelaknya sambil memelukku. "Ayo, kita makan siang ke sana!" ajaknya menunjuk ke sebuah restoran ayam dengan wajah kakek-kakek berkumis putih itu. Tentu saja aku senang.

"Aku mau es krim! Apakah boleh?" seruku bersemangat.

Ayah mengangguk sambil tersenyum. Kami pun lalu segera ke sana.

Benar, ayah memang sedang banyak uang. Buktinya dia membiarkanku menunjuk semua yang ku mau dari yang ada di menu.

"Ayah, tidak apa-apa? Aku membeli terlalu banyak!" kataku melihat beberapa nampan pesanan kami di atas meja. Sepertinya sekarang ini aku berpikir, apakah aku akan bisa menghabiskannya?

Ayah terkekeh, "Selama kamu memakannya bagi ayah tidak masalah!" ujar Ayah menyentuh pipiku. "Sekarang makanlah, habis ini kita harus pergi ke suatu tempat," kata Ayah sambil memakan sup krimnya. 

"Kemana, Ayah?" tanyaku, ku sendok es krim banyak-banyak, dan memakannya. Akhirnya aku menyesal sendiri karena kepalaku berdenyut jadinya. Auuwww, dingin!

"Kita pergi ke rumah Bunda Evie, kamu ingat 'kan?" kata Ayah.

Aku mengangguk mengiyakan. Dia yang memberikan anggur merah itu 'kan?!

Selesai makan kami kembali menaiki taksi. Aku kekenyangan sampai rasanya perut ini penuh dan hampir meledak, hanya bisa duduk dengan manis sambil mengusap perutku yang sedikit membuncit. Perjalanan sangat hening, hanya terdengar suara deru mesin mobil taksi yang terdengar sedikit kasar. Tak lama mobil berhenti di depan sebuah pagar besar dan tinggi.

Rumah Bunda Evie yang dikatakan Ayah sangat besar. Aku sampai mendongak dan leherku sakit karena ingin melihat puncak atapnya yang berhiaskan salib besar.

Kok Ayah mengajakku kesini? Bukannya kata ayah aku nggak boleh ikut kalau Denis memasuki rumah bersalib seperti ini setiap hari Minggu?

"Ayah, mau apa kita kesini?' tanyaku saat kami masuk ke dalam. Ku lihat banyak anak-anak bermain di halaman rumahnya yang luas.

Ayah tersenyum sambil mengusap kepalaku.

"Nanti kita menginap disini semalam sebelum pulang, ya," kata Ayah.

Aku kira akan menginap di hotel. Apakah ayah kehabisan uang karena aku naik semua permainan dan juga makan enak tadi?

Aku ingin bertanya, tapi ayah keburu memalingkan wajahnya karena ada wanita gemuk memakai baju hitam berkerudung datang menghampiri. Dia juga memakai kalung salib kecil di lehernya, menjuntai sampai ke dada. Wajahnya bulat dan bersih, memakai kacamata bening bulat dan tersenyum padaku. Aku menunduk karena merasa malu kedapatan tengah memperhatikannya.

"Apa ini Amara? Halo!" sapanya membungkuk mensejajarkan wajahnya padaku. "Aku Bunda Evie," katanya sambil tersenyum.

Aku harus jawab apa? Aku bersembunyi saja di balik tubuh ayah. Meskipun dia orang yang sangat baik dan sering memberikan buah-buahan untukku, tapi dia tetaplah orang asing yang tidak aku kenal.

"Tolong maafkan dia, mungkin dia masih malu," kata ayah menyentuh kepalaku.

Bunda Evie kembali menegakkan tubuhnya dan berbicara pada ayah. Dia lalu mempersilahkan kami agar mengikutinya. Ayah pun mengajakku untuk melangkah masuk mengikutinya.

Di sekitar rumah dan di dalam juga, banyak anak-anak yang tengah bermain. Ada yang besar dan kecil. Mereka tampak gembira bermain bersama. Meski disana sepertinya ada yang bertengkar dan dilerai oleh kakak-kakak yang lebih besar. 

Bunda Evie membawa kami memasuki sebuah ruangan yang lebih sepi, ada kursi dan jajaran rak buku di sana. 

"Silakan kalian beristirahat dulu disini, aku akan menyiapkan kamarnya," katanya melirik padaku sebentar. 

"Terima kasih," ucap ayah. Bunda Evie lalu berpamitan dan keluar dari ruangan.

"Ayah, mau apa kita kesini? Aku nggak suka di sini," kataku mulai tidak nyaman, rasanya ingin pulang saja.

Ayah tersenyum lalu duduk mendekat padaku, menyentuh tanganku yang ada di atas pangkuan.

"Nggak apa-apa, kita tunggu sebentar disini, sabar ya!" kata ayah. "Apa kamu mau membaca buku? Ada banyak buku cerita bagus lho disini!" 

"Wah, benarkah, Ayah?" Aku tersenyum senang. Aku suka membaca buku!

Ayah mengangguk, lalu beranjak melangkah menuju ke salah satu rak. 

"Kamu bisa cari sendiri di sebelah sana," tunjuk Ayah ke rak lain, "kita baca sama-sama nanti," lanjutnya.

Aku mengangguk dengan semangat. Tentu saja! Membaca cerita dengan ayah selalu menyenangkan. 

Di rak sebelah sini banyak buku dengan gambar hewan laut yang jelas sekali dan indah seperti nyata. Bukan gambar warna warni seperti buku Rapunzel yang kupunya di rumah dan juga sudah sobek di beberapa bagian.

"En-si-klo-pe-di-a."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!