3. Pergi Bersama Ayah

Saking senangnya, aku bahkan tahu kapan ayam jago Pak Edi berkokok. Kata ayah, itu tandanya malam sudah mau habis dan waktunya sholat malam. Aku juga sering melihat ayah tengah sujud lalu berdo'a. 

Biasanya aku diam-diam suka ikut mengangkat tangan walaupun dari balik selimut.

Semoga ayah selalu sehat dan panjang umur. Aamiin.

"Kamu sudah bangun, Ara?" 

Aku terkejut dan kembali menutup mata saat ayah datang mendekat. Kepalaku disentuhnya ditepuk-tepuk dengan lembut.

"Maafkan ayah, Ara!" bisik ayah. 

Hening. 

Aku menunggu. Namun, sampai kantukku kembali datang, ayah tak bicara. Dan aku pun tertidur lagi.

Aku bermimpi. Ayah dibawa pergi oleh Hulk dan Bara datang menolong.

Mimpiku kok aneh, ya?!

"Ara, Ara, bangun, Nak!" Aku membuka mata dan mendapati ayah tersenyum lembut di sampingku.  

"Kamu mengigau, ya!" Ayah terkekeh sambil mencubit hidungku.

"Aku mengigau apa?" tanyaku sambil menguap lebar. Tidak tahu apa-apa.

"Kamu berteriak manggil ayah," kata Ayah tertawa.

Aku cemberut mengingat mimpiku itu. Seram rasanya. Kenapa bisa bermimpi aneh seperti itu?

"Aku mimpi ayah pergi," kataku.

Ayah langsung diam, "Ayo, bangun! Kan kita mau jalan-jalan!" katanya sambil tersenyum, lalu beranjak dari tempat tidurku. 

"Baik!" seruku melompat riang. Semangatku langsung bangkit. Kantukku juga langsung lenyap rasanya. 

Di luar matahari sudah tinggi. Aku menyesal karena bangun kesiangan. Biasanya aku bangun saat matahari masih bersembunyi di balik bukit di belakang rumah saat hari masih gelap.

Huh! Bisa-bisanya aku tertidur kembali setelah semalam itu. Aku tidak bisa menyiapkan sarapan buat ayah.

Aku mandi secepat kilat, membayangkan serunya bermain dengan ayah sepanjang hari. Saat aku selesai mandi, ayah ada di kamarku dengan memegang sebuah baju.

"Pakai baju ini ya, Ara," kata Ayah tersenyum, kulihat sebuah gaun cantik di atas tempat tidurku.

"Wah, bagus sekali, Ayah!" Gaun seperti itu yang sering kulihat dipakai anak-anak di televisi, atau yang suka dikenakan Alicia setiap pergi bersama orang tuanya dengan mobil bagusnya itu.

"Terimakasih, Ayah!" Kupeluk gaun itu, sangat lembut kainnya. Warnanya juga cantik, aku suka.

Ayah mengangguk mengiyakan.

"Bersiaplah, setelah itu kita sarapan, ya!" kata ayah sambil mengusap kepalaku.

Aku mengangguk. Setelah ayah keluar dari kamar, aku segera berpakaian. Aku tak ingin membuat ayah menunggu lama.

Aku keluar dari kamar dan mendapati ayah sedang menata makanan di meja. Apa itu di atas meja? 

Aku melihat berbagai makanan dan buah-buahan di sana. Ayah tersenyum geli melihatku.

"Ayah sudah gajian? Makanannya banyak sekali!" seruku. 

"Iya, syukurlah Ayah ada rejeki, jadi bisa beli kesukaan kamu," kata Ayah, lalu mengacungkan ayam goreng yang selalu aku ingin beli di kedai ayam yang ada gambar kakek-kakek janggut putihnya. 

"Ayam goreng!" jeritku senang. Ayah sampai tertawa. 

"Makanlah, pelan-pelan, ya!" kata Ayah sambil mendudukkanku di kursi. Lalu meletakkan ember ayam goreng itu di pangkuanku.

"Awas jangan sampai bajunya kotor, 'kan kita mau pergi," kata Ayah terkekeh. 

Aku mengangguk dengan riang dan menggerakkan kakiku di bawah meja.

Selagi aku makan, ayah menyisir rambut panjangku dan mengikatnya dengan ikat rambut lucu yang ada pitanya. Cantik sekali. Ayah tampak puas melihat hasil tangannya. 

"Anak Ayah cantik sekali!" pujinya menjawil pipiku. Dan aku terkekeh. 

Kulihat piring makan ayah masih menyisakan makanan.

"Ayah kenapa makannya sedikit?" tanyaku sambil menggigit paha ayam. 

Ayah tersenyum, "Tak apa, Ayah bisa makan lagi nanti," jawabnya.

"Iya, nanti kita makan sama-sama lagi, Yah!' seruku senang. 

Ayah hanya tersenyum tipis menjawabnya.

Ayah kembali duduk di kursinya, kami kembali makan meski sesekali aku lihat ayah hanya mencuil makanannya sedikit saja. Tampak tidak bersemangat untuk makan.

"Kenapa Ayah begitu makannya?" tanyaku pada ayah. Tersentak ayah saat mendengar pertanyaanku.

"Tidak apa-apa. Ayam ini ternyata sangat enak sekali," ucap ayah. Aku setuju dengan hal itu. Memang enak sekali dan rasanya tak rela jika menghabiskannya cepat-cepat.

"Cepat habiskan. Nanti keburu siang dan kita akan banyak melewatkan waktu menyenangkan," ucap ayah. Aku mengangguk dan segera melahap ayam goreng banyak-banyak hingga mulut ini pegal untuk mengunyah.

"Pelan saja. Makan lah yang baik. Lihat, minyaknya sampai belepotan di pipi," ucap ayah lagi. Aku tersenyum malu, bersiap untuk mengelap pipiku dengan ujung lengan baju.

"Eits. Kamu bisa membuat kotor pakaianmu. Sini." Ayah mengeluarkan sapu tangannya, membungkuk dan mengelap bibirku dengan perlahan.

"Terima kasih, Ayah."

Kami telah selesai makan, sementara ayah sedang mencuci piring bekas kami makan, aku mengenakan sepatu yang ayah belikan kemarin. Cantik sekali.

"Ayah. Lihat!" Aku berteriak senang sambil mengangkat gaun indahku, memperlihatkan sepatu berwarna pink putih itu pada ayah.

"Kamu mirip princess. Cantik sekali."

"Aku suka!" seruku sambil berputar-putar, kaki ini rasanya ringan sekali. Aku menunggu ayah selesai. Duduk dengan tak sabar di kursi yang sudah usang.

Akhirnya, Ayah telah selesai dan mengganti pakaiannya. Kami pergi keluar dari dalam rumah dengan aku yang berjalan melompat senang menggandeng tangan ayah. Aku masih ada di rumah, tapi rasanya di dalam pikiranku ini sudah berada di tempat lain, membayangkan kemana kelak ayah akan membawaku pergi hari ini.

"Kalian akan kemana?" tanya Denis saat ayah mengunci pintu pagar, ku lihat anak itu dengan pakaian yang basah juga selang air di tangannya.

"Kami mau pergi." Aku melambai pada Denis lalu tertawa saat melihat ibunya datang dan menjewer telinga Denis, bocah itu tampak melongo melambai padaku tak mendengarkan omelan ibunya. 

Saat melihat ke arah pohon oak, Bara tampak berdiri di sana. Saat aku melambai, dia hanya diam tak membalas. 

"Siapa, Ara?" tanya Ayah heran.

Aku mendongak pada Ayah yang juga ikut melihat ke arah puncak bukit itu. 

"Temanku," jawabku sambil menunjuk. Namun, saat kulihat lagi, Bara sudah tak ada di sana. 

Ayah hanya tersenyum meski dengan wajah bingung.

"Kita mau kemana?" tanyaku saat ayah menghentikan taksi.  

Sepertinya ayah akan mengajakku jalan-jalan ke kota besar.

"Nanti kamu tahu," jawab Ayah menyentuh kepalaku dengan lembut.

Akhirnya kami mendapat taksi kosong. Ayah memasukkan sebuah koper kecil yang dibawanya itu ke dalam bagasi. Aku heran, apakah kami akan menginap di kota?

Aku melompat masuk kemudian ayah menyusul. Ayah sebentar mencondongkan tubuhnya untuk mengatakan alamat tujuan kami kepada pak sopir.

"Kita mau kemana?" tanyaku lagi penasaran.

Ayah kembali duduk dan tersenyum. Mobil kini berjalan dengan perlahan dan rasanya aku tidak sabar ingin segera sampai di tempat itu. Kemana kiranya ayah akan membawaku pergi?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!