19. Kita Adalah Keluarga

"Nanti Kakak hubungi dulu Bunda Evie, biar dia nggak khawatir!" ujarnya sambil mengeluarkan ponselnya. Aku pun mengangguk.

Selanjutnya kami pun tertawa menaiki motor besar Kak Gery, dia membawa kami ke kedai es krim. Kami bebas memesan es krim yang kami inginkan. Zian tentu saja gembira, sepertinya dia baru pertama kali makan es krim langsung di kedainya. Bisa kulihat sudut matanya yang berair selagi tertawa. 

"Wah, berteman sama Amara banyak kejutannya!" celetuknya terkekeh sambil menyendok es krim banyak-banyak.

Kak Gery sendiri tertawa mendengarnya.

"Kenapa?" tanyanya penasaran.

Zian melirikku yang menatap datar padanya. 

"Tempo hari dia tiba-tiba memotong poniku, sampai aku sendiri kaget!" ujarnya terkekeh.

Aku melotot padanya. Eh, jangan sampai dia cerita. Aku nggak mau disebut anak nakal oleh Kak Gery.

"Lho, sebelumnya rambut kamu panjang, ya?" tanya Kak Gery berpangku dagu melihat kami makan es krim. Dia sendiri tidak makan.

Zian mengangguk. "Rambutku selalu panjang, sampai orang-orang mengira aku ini anak perempuan," keluhnya yang membuatku ganti menertawainya. Zian mengayunkan sendok es krimnya sampai terciprat ke wajahku. Kak Gery ikut tertawa melihat kami.

"Aku juga kaget, kukira dia marah karena poninya kupotong," ujarku sambil menarik ujung rompi untuk membersihkan es krim di wajahku. Namun, Kak Gery menahan tanganku, lalu menyodorkan tisu kering. Sejenak aku berterimakasih padanya.

"Memangnya sejak kecil kamu tak pernah potong rambut?" tanya Kak Gery.

Zian menggeleng, lalu wajahnya terlihat murung.

"Paman dan bibi yang merawatku nggak peduli, mereka hanya tahu menyuruhku berbagai hal," ungkapnya pelan. "Aku disuruh mengerjakan pekerjaan rumah dan memaksaku mengemis di lampu merah." 

Astaga!

Aku dan Kak Gery saling pandang. 

Aku nggak mengira jika kisah hidup Zian lebih menyedihkan, setidaknya itu yang kupikirkan. Waktu kulirik Kak Gery, dia juga terdiam dengan rahang yang mengeras.

"Lalu, bagaimana dengan kamu, Amara?" tanya Kak Gery menatapku. Aku yang merasa ketahuan sedang menatapnya langsung menunduk gugup.

Ayah meninggalkanku ....

"Ayah menitipkan aku sama Bunda Evie," jawabku mengulas senyum tipis.

"Bukannya kamu bilang dia membuangmu di panti?" celetuk Zian. Aku mendelik padanya.

Kak Gery hanya tersenyum melihat kami berdua.

Saat itu ada sebuah mobil putih yang sangat bagus melaju melewati kami. Dan aku tertegun saat melihat ke arah jendelanya. Di sana ada Azka, anak itu duduk tenang dan menatap lurus ke depan. Entah kenapa dia tiba-tiba menoleh dan tepat melihat ke arah kami. Dia menegakkan tubuhnya, tapi tatapan matanya bukan melihat ke arahku. 

Aku menoleh dan melihat Kak Gery juga tengah menatapnya. Namun, hanya sebentar. Saat menyadari jika aku sedang memperhatikannya, Kak Gery pun memalingkan wajahnya dengan mata yang menyorot dingin ke arah lain.

Kak Gery mengantar kami pulang ke panti agak sore. Kulihat dia sedikit membungkuk meminta maaf pada Bunda Evie, sepertinya dia kena marah. Aku dan Zian hanya tertawa melihatnya. 

Kami pun berpisah saat menuju ke kamar. Aku sendiri bersiap untuk mandi, badanku rasanya lengket dan lelah. Aku harus siap mandi sebelum makan malam bersama sebentar lagi.

Sepertinya bukan hanya aku yang terlambat pulang, kulihat ada beberapa orang kakak panti yang mengantri menunggu giliran mandi. Termasuk Kak Tania. Aku pun menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Sore, Kak!" sapaku. 

Kak Tania menoleh dan tersenyum, "Lho, Amara juga baru mau mandi?" tanyanya tertawa.

Aku mengangguk. "Kami pulang terlambat karena diajak makan es krim sama Kak Gery," jawabku. 

"Kak Gery?" tanya Kak Tania berkerut kening.

"Dia yang menolongku waktu lari dari panti." Kugaruk kepalaku yang tak gatal.

Kak Tania pun tertawa sambil mengacak rambutku. "Tapi sekarang sudah betah 'kan?" tanyanya tersenyum lembut.

Aku diam. 

Kualihkan pandangan ke arah halaman samping. Anak laki-laki sedang bermain bola dan sepertinya mereka juga belum mandi. Kakak panti yang di sana berteriak memanggil mereka sambil berkacak pinggang, lalu aku melihat Kak Ani yang tengah menyuapi Letta, dia tampak sabar dan telaten meski Letta rewel dan menolak untuk makan.

Disisi lain aku mendengar suara Bunda Evie yang membantu kakak-kakak panti untuk memasak makan malam kami di dapur. Bau masakan yang harum sudah tercium membuat perut siapapun akan mendadak lapar meski sudah makan es krim.

"Aku disini ... betah," jawabku. Tersenyum saat melihat Bara melambai dari bawah pohon sana.

Kurasakan sentuhan lembut di kepalaku, dan aku menoleh. Kak Tania tersenyum menatapku.

"Kita sudah menjadi sebuah keluarga disini, kita berbagi suka dan duka bersama dan saling menjaga," tuturnya sambil melepas ikatan rambut kepangku. 

"Tapi aku tidak suka Cindy dan Lea!" ketusku. 

Kak Tania tertawa lagi. "Biarkan saja, mereka sebenarnya juga merasa sedih awal datang ke sini, Cindy bahkan sempat melarikan diri seperti yang kamu lakukan," katanya sambil menjawil hidungku. 

"Wah, benarkah?" tanyaku terkejut mendengarnya. 

Kak Tania mengangguk. "Kita memiliki kisah masing-masing tentang kedatangan kita ke panti ini, tapi sekarang kita menjadi teman dan saudara, benar bukan?"

Aku terdiam. 

Memang benar. Awalnya aku hanya hidup berdua dengan Ayah di rumah kecil kami. Temanku hanyalah Denis, bocah gemuk yang ingusan itu suka mengikutiku bermain meski sering dimarahi ibunya. Ada Alicia, dia anak orang kaya yang orangtuanya juga melarangnya bermain denganku. Kak Marlin yang suka mengajariku juga dilarang oleh pacarnya. 

Disini, di panti ini aku malah menemukan banyak pengganti mereka. 

Zian ternyata anak laki-laki. 

Cindy dan Lea masuk hitungan saja nggak apa-apa lah! Mereka sama angkuhnya dengan Alicia.

Pengganti Kak Marlin aku mendapatkan dua orang sekaligus, Kak Ani dan Kak Tania. Jangan lupakan Kak Gery meski bukan dari panti, tapi dia juga baik padaku.

Dan dari semua itu, hanya satu orang yang masih ada dari awal bersamaku, yaitu Bara.

Malam pun menjelang, anak-anak panti yang lebih kecil sudah tidur terlebih dulu. Aku dan Zian berada di ruang makan untuk mengerjakan PR. Kak Ani yang membantu kami.

"Apa Kak Ani juga sekolah?" tanyaku.

Kak Ani mengangguk. "Kakak masuk pagi, setelah kalian benar-benar sudah siap dan rapi Kakak berangkat," katanya.

"Lalu Kak Tania?" tanyaku lagi. 

"Kalau Kak Tania, dia masuk siang dan pulang sore."

Ooh.

Itulah kenapa Kak Tania juga terlambat mandi tadi.

"Apa Cindy dan Lea juga sekolah? Aku tidak melihat mereka tadi," tanyaku. Zian mendelik kepadaku. 

Mereka juga sekolah disana kalian tidak bertemu

Aku dan Zian pun sama-sama menggeleng lalu saling pandang. Berharap jangan sampai kami bertemu dengan mereka di sekolah. Takut jika dia akan menjahili kami.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!