7. Tak Ingin Ke Panti Asuhan

"Mungkin ayah Ara masih kerja," jawabnya terlihat bingung.

Ah, apa ayah belum datang juga, ya? 

Kenapa semua orang masih saja berbohong?

"Ara, mau baca buku yang mana? Mau kakak bacakan?" Kak Putri membuka beberapa buku di hadapanku.

"Kak Putri, aku mau tidur aja, boleh ya?"

Kak Putri terlihat sedih melihatku, tetapi kemudian dia tersenyum mengangguk. 

"Baiklah, besok saja baca buku ceritanya, ya," kata Kak Putri. 

Aku berbaring, Kak Putri menyelimutiku, lalu memeriksa jarum yang ada di tanganku. Dia juga melihat tabung yang tergantung di tiang besi itu. 

"Ya sudah, selamat malam, Ara!" Kak Putri mengusap kepalaku sebentar.

Aku mengangguk.

Kak Putri pun keluar dari kamar itu dan menutup pintunya. 

Ya, aku tidur saja. Siapa tahu nanti Ayah ada di dekatku saat aku bangun besok nanti.

"Ara, Ara!" 

Aku membuka mata. Kulihat Bara tengah duduk di ujung tempat tidurku sambil tersenyum.

"Bara?"

"Aku mau menemani kamu disini, boleh, ya?" ujarnya sambil menaikkan kedua kakinya dan duduk bersila. 

Aku tertawa dan bangun.

"Tentu saja, lagian aku bosan sendirian," keluhku sambil mengusap-usap tanganku yang ditusuk jarum itu. 

Bara melihat tanganku.

"Jangan khawatir! Aku akan menemanimu sampai kapanpun!" ucapnya. Bara bercerita akan sesuatu, tapi entahlah, suaranya semakin lama menghilang saja.

...***...

Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Bunda Evie dan Kak Ani menjemputku, aku juga berpamitan pada kakak cantik yang ada di rumah sakit, dan minta agar memberitahu Kak Putri kalau aku sudah pulang. Aku juga membawa buku-buku pemberian Kak Putri bersamaku.

Karena aku masih lemas, aku duduk di kursi roda. Kak Ani yang mendorong kursi sesekali membuatnya meliuk membelok ke kiri dan kanan, membuatku tertawa. 

Ayah?

Aku masih mencari siapa tahu Ayah datang menjemput juga. Hanya kulihat Bara yang berdiri di balik pohon sana, tersenyum melambai padaku. 

Kubalas lambaian tangannya sebentar saja, tanganku masih lemas rasanya. Bekas jarum itu juga masih sakit dan pegal, bekasnya membiru.

"Ada temanmu kah, Amara?" tanya Kak Ani. 

Aku mendongak padanya, lalu menoleh ke arah pohon tadi, dan seperti biasa, Bara tidak ada di sana. Maka aku pun menggeleng saja menjawab Kak Ani.

Sebuah mobil berwarna putih di terparkir pinggir jalan. Entahlah, sepertinya menunggu kami karena kak Ani mendorong kursi roda ke arah sana. Tampak seorang laki-laki tersenyum ke arah kami, dan apa itu tulisannya?

Pan-ti A-su-han Ka-sih Bun-da. Susah payah aku mengeja.

Lho? Panti asuhan? 

Panti ... asuhan?

Aku mencoba mengingat nama itu.

Ayah pernah bilang aku masih beruntung hidup bersama Ayah walaupun tanpa ibu. Katanya, anak-anak di panti asuhan hidup tanpa orang tua dan harus berbagi dengan saudara sesama anak panti yang lain dalam segala hal. 

Lalu ....

Apa aku sekarang juga menjadi anak panti? 

Lalu Ayah kemana?

Mataku serasa panas memikirkan nama itu.

Tidak! Aku tidak mau hidup di panti asuhan! Aku masih punya seorang ayah!

"Aku tidak mau ikut! Tidak mau!" teriakku. Aku berusaha turun dari kursi roda meski kakiku lemas, dan aku pun terjatuh di atas permukaan tembok beton yang keras. Sakit, tapi aku tidka peduli dan hanya ingin pergi dan tidak mau ikut dengan mereka.

"Amara!" Bunda Evie dan Kak Ani memburu kepadaku.

"Tidak mau! Aku mau menunggu Ayah disini! Ayah pasti datang menjemput!" Ku dorong Kak Ani yang hendak membantuku bangun. 

"Amara!" Bunda Evie meraihku dan memelukku, tapi aku tidak mau dipeluk lagi. Aku mau pergi saja.

"Minggir! Jangan!" jeritku melepaskan diri dari pelukan Bunda Evie. 

Sekuat tenaga aku berdiri dan mencoba berlari meski dengan kaki yang lemas, dan waktu kulihat lututku juga berdarah karena terjatuh tadi.

"Amara!" teriak Bunda Evie.

Aku berlari melewati mobil itu, kulihat seorang bapak-bapak terkejut dimintai tolong oleh Bunda Evie untuk membantu mengejarku. Aku berkelit sehingga lolos darinya.

Tidak! Aku tidak mau pulang ke sana! 

"Ayo!" Aku menoleh dan kulihat Bara tertawa sambil berlari di sampingku. Membuatku semakin bersemangat dan berlari lebih kencang.

Aku melihat Ayah melambai dari seberang jalan sana. Semakin besar rasa inginku bertemu dengannya.

"Ayah! Tunggu Ara, Ayah!" teriakku gembira. Saat aku menoleh Bara sudah tidak ada, mungkin dia tertinggal di belakang. 

Aku mengulurkan tangan melambai pada Ayah, hanya sedikit lagi aku akan sampai. Ketika aku hendak melompat, tiba-tiba aku tertarik ke belakang dan terjatuh di atas trotoar. Kepalaku diraih seseorang yang langsung memelukku. 

"Amara!"

Aku mengerjap kaget. Tersengal-sengal nafasku karena berlari tadi. Orang yang memelukku itu menatapku, memeriksa kepala dan badanku.

"Apa kamu terluka? Ada yang sakit?" tanyanya.

Eh? Kupikir dia perempuan karena rambutnya panjang, ternyata suaranya laki-laki. 

"Amara!" Bunda Evie sampai dengan nafas terengah-engah, begitu juga Kak Ani dan bapak sopir itu. 

Kakak rambut gondrong yang menolongku itu menoleh. 

"Apa dia bersama kalian?" tanyanya sambil membantuku berdiri, tapi aku hendak jatuh lagi karena lututku sakit, maka jadilah aku dipegangnya. 

"Dia bersama kami, terimakasih sudah menolongnya!" jawab Bunda Evie dengan wajah lega, "dia baru keluar dari rumah sakit, jadi kondisinya masih lemas," tambahnya mengusap kepalaku.

Kakak rambut gondrong itu menatapi orang-orang di depannya satu persatu sambil terus memegangiku. Sepertinya dia sedikit ragu.

"Mari saya bantu antar!" kata Kakak itu menawarkan bantuan. 

Bunda Evie tersenyum seraya mengangguk. "Terima kasih," ucapnya.

Aku diangkatnya dan membawaku berjalan kembali ke depan rumah sakit tadi. Bunda Evie berjalan di depan bersama Kak Ani, dan bapak sopir itu di belakang kami.

Aku ingin menolak tapi aku lelah dan kakiku sakit. Ku tolehkan kepala ke arah belakang, Ayah sudah tidak ada lagi di sana, apa lagi Bara. Ayah ....

Apakah tadi aku salah lihat? Ayah tidak mungkin membiarkan aku dibawa paksa oleh orang asing, kan?

Biarlah, aku akan mencari cara untuk pergi lain kali. 

Kakak rambut gondrong itu menunduk padaku.

"Namamu siapa?" tanyanya tersenyum. 

"Amara," jawabku. Wajah kakak itu terlihat tenang meski dengan sedikit jambang di rahangnya. Sepertinya dia bukan orang jahat. 

"Aku Gery, senang berkenalan denganmu, Amara!" balasnya mengangguk dan mengulurkan tangan. Aku meraihnya. Hangat sekali.

Wajah Kak Gery terlihat cerah dan lega saat melihat mobil panti itu. Dia lalu bicara dengan lebih tenang pada Bunda Evie, katanya dia minta maaf sempat berpikiran buruk. 

"Tak apa, Nak! Saya mengerti dan sangat berterimakasih!" kata Bunda Evie tersenyum. 

Kak Ani membantu membukakan pintu mobil, lalu Kak Gery menurunkanku di kursi. Dia lalu berbicara lagi dengan Bunda Evie.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!