20. Ada Apa Dengan Bara?

Tak lama kemudian PR kami pun selesai. Aku dan Zian memutuskan untuk sejenak membaca buku di perpustakaan, sementara Kak Ani pergi untuk menemani Letta tidur.

"Kalau kita bertemu mereka di sekolah rasanya aku ingin pindah saja," gerutu Zian.

Aku pun mengangguk membenarkan, rasanya malas saja jika harus bertemu Cindy dan Lea di sekolah. Tiba-tiba Aku ingin buang air kecil aku pun permisi sebentar pada Zian.

"Kamu nggak takut 'kan sendirian ke kamar mandi," ejeknya.

Aku pun mendengus menanggapinya.

Kamar mandi memang berada di belakang. Namun, karena masih satu area dengan ruang makan dan dapur, di sana masih terlihat terang oleh karena cahaya lampu dari ruang makan.

Tidak tahan aku pun setengah berlari dan masuk ke kamar mandi. Akan tetapi, saat keluar dari kamar mandi aku dibuat kaget oleh sosok Bara yang sedang duduk di bangku tembok itu. Kakinya menjuntai bebas dan berayun-ayun seperti biasa. Dia juga tersenyum menyapaku.

"Bara, bisa nggak jangan bikin kaget begitu!" gerutuku dengan suara tertahan. Jujur saja dadaku kini berdebar dengan sangat kencang akibat ulahnya ini.

Bara terkikik pelan.

"Seharian ini aku bosan karena kamu 'kan sudah mulai sekolah," keluhnya. 

Aku mengangguk, "Iya, jadi maaf ya nggak bisa menemani kamu main lagi."

Bara hanya diam tak menjawab, lalu aku duduk di sebelahnya.

"Aku melihat ada anak yang mirip kamu tadi di sekolah."

Sontak Bara pun menoleh cepat padaku.

"Benarkah?" ujarnya tertarik.

Kuanggukan kepala dengan yakin. "Iya, hanya saja rambutnya sedikit berbeda, jika kamu berambut coklat maka dia memiliki rambut pirang. Dia juga lumpuh dan duduk di kursi roda."

"Namanya Azka, katanya dia itu anak orang kaya," tuturku meniru ucapan Vanessa tadi di sekolah.

Bara kembali terdiam.

"Lalu siapa yang tadi mengajak kamu makan es krim?" tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangkat alis dan menoleh pada Bara. Heran.

"Dari mana kamu tahu?" tanyaku.

"Aku melihat kalian tadi," ujarnya sedikit ketus.

"Benarkah? Di mana? Kenapa kamu nggak datangi kami?" tanyaku lagi.

Lagi-lagi Bara tak menjawab.

"Jangan pergi sama dia lagi," ucapnya kemudian setelah hening beberapa saat.

"Lho, kenapa? Kak Gery 'kan baik," ujarku heran menatapnya.

"Pokoknya jangan! Aku tidak suka!" ucap Bara masih dengan nada ketus.

"Kenapa? Padahal kalau ada kamu, tadi dia juga pasti mengajakmu juga. Zian bahkan terlihat senang sepertinya dia baru pertama kali makan es krim langsung di kedainya."

"Kata Kak Gery, kapan-kapan dia akan mengajak kita lagi, nah siapa tahu lain kali kebetulan kamu juga ada, kita bisa makan es krim sama-sama," kataku antusias. Pasti akan sangat menyenangkan jika aku bisa memperkenalkan Bara kepada Kak Gery juga.

Bara tak menanggapi lagi. Kakinya juga diam dan kepalanya menunduk.

Saat itu tiba-tiba kudengar teriakan Zian dari arah luar.

"Amara, kenapa lama sekali? Kamu nggak jatuh ke ember 'kan?" serunya diakhiri dengan gelak tawanya.

Anak itu benar-benar!

"Ya, aku keluar sekarang!"

"Oke, Bara! Sepertinya aku harus ... Eh?"

Bara sudah tidak ada lagi di sampingku. Aku melihat ke sekeliling, tapi tetap saja dia tidak ada. Entah ke mana larinya dia. Cepat sekali.

"Baiklah, aku kembali ya," ucapku. "Selamat malam, Bara!"

Aku melompat turun dari bangku tembok lalu bergegas kembali masuk ke dalam. Angin malam juga berhembus cukup kencang membuat aku sedikit merinding.

"Astaga! Kamu lama sekali. Apa kamu ngantuk dan tertidur di dalam?" tanya Zian saat aku menutup pintu kamar mandi.

...***...

Selama satu minggu kami masih tampak malu-malu, tapi teman-teman sekelas kami sangat baik sampai kami bisa dekat dengan mereka, tak peduli jika kami berasal dari panti asuhan. Awalnya, aku kira anak-anak di sini akan memilih teman mereka sesuka hati, tapi ternyata aku salah. Mereka sangat baik sekali.

Bel pulang sekolah.

Aku sedang bersembunyi di bawah kursi, mengintip ke arah luar. Kudengar Zian memanggilku dan mencariku. Kami sedang bermain petak umpet, dan sekarang tugas Zian untuk berjaga. Seharusnya ini sudah jam pulang sekolah, tapi rasanya kami enggan untuk pulang cepat dan memilih untuk sejenak bermain dulu. 

Suasana kelas sudah lengang, para murid sudah keluar dari sekolah dan hanya tersisa beberapa orang kakak kelas yang masih ada kelas tambahan. Mereka tersenyum padaku yang tengah bersembunyi dari Zian. Mengerling jahil kemudian berteriak memanggil Zian, memberitahunya jika aku ada disini.

"Lihat! Amara di sana!" teriak kakak itu sambil menunjuk ke arahku.

"Ih, kakak-kakak nggak seru!" teriakku kesal sambil keluar dari tempat persembunyianku dan lari ke tempat lain. Mereka tertawa di belakangku.

Uh, dasar! 

Sepertinya ini tempat yang bagus untuk bersembunyi. Zian pasti akan kelimpungan mencariku ke sini. 

Sepi.

Aku melihat sekeliling ruangan ini. Ruangan ini penuh dengan barang-barang usang. Seperti peralatan drumband yang sudah berlubang di sana, biola rusak dengan senar yang sudah putus, bola-bola yang kempes, serta ada tumpukan barang yang ditutupi kain yang tampaknya sudah berdebu. Kulihat ke arah jendela. kudengar percakapan kakak kelas yang lewat. Namun, Zian tak kunjung datang mencariku kesini. 

Aku keluar berjalan mengitari ruangan, melihat semua barang itu. Aku baru menyadari ada patung tengkorak juga dengan berbagai replika organ dalamnya. Cahaya matahari yang masuk menerobos jendela menyinari patung itu, membuat bola matanya yang menggantung itu bersinar. 

Kuulurkan tanganku ingin meraihnya, aku mengangkat tumitku agar bisa mencapainya. Sedikit lagi dan ....

"Amara!"

Aku melompat kaget oleh suara Bara yang tiba-tiba muncul di dekatku. 

"Bara!" pekikku kesal, jantungku berdebar kencang saking kagetnya. Eh, aku kira hantu tadi!

Bara hanya terkekeh. 

"Kamu lagi apa disini? Zian kesulitan nyari kamu, lho!" ujarnya seraya menebarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Dan matanya memicing ke arah sudut sana.

"Dimana dia? Kenapa lama sekali mencariku?" kataku seraya duduk selonjoran di lantai.

Bara menoleh padaku dengan tatapan datar.

"Ya kamu bersembunyi disini, dia mana bisa menemukan kamu di tempat seperti ini," katanya mengerutkan kening. 

"Namanya 'kan petak umpet, kalau gampang ketemu jadi nggak seru, dong!" Aku tertawa sendiri membayangkan Zian pusing di luar sana.

Bara tak menjawab, waktu kulirik dia, wajahnya tampak tegang.

"Bara? Kenapa?" tanyaku.

"Amara, sebaiknya kita keluar dari sini!" ucapnya tanpa menoleh. Aku menatap ke arah sana, tapi aku tak melihat apapun.

"Lho, kenapa? Aku 'kan masih ngumpet!" protesku.

"Sudah keluar saja, yuk!" katanya seraya menarikku untuk berdiri. Wajahnya terlihat terkejut sambil membelalak lebar melihat pada tangannya yang memegangku.

Terpopuler

Comments

rindi yesna wati

rindi yesna wati

💞💘😘💌😉🌷💖💝🥰🤩

2022-11-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!