Ayah mengusap kepalaku lalu mengacungkan tangannya yang membawa keranjang buah, membuat aku suka melihat makanan tersebut.
"Ayah punya anggur merah buat kamu, tadi dikasih sama Bunda Evie," kata Ayah riang. "Kamu suka 'kan?"
Aku pun mengangguk dengan penuh semangat. "Suka!" teriakku.
"Kalau begitu ayo pulang. Ooh ... astaga! Kamu kotor sekali!" seru Ayah membelalak melihat rok dan bajuku penuh lumpur kering di bagian belakang.
"Tadi jatuh ngejar Mimi di bukit" tunjukku ke arah bukit tadi, dan saat aku melihat ke sana, kulihat Bara masih berdiri lalu melambai padaku. Aku pun balas melambai riang padanya.
"Kamu dadah sama siapa, Ara?" tanya Ayah heran.
Aku hanya terkekeh menjawabnya. Ketika kulihat lagi ke bukit itu, Bara sudah tidak ada di sana, sepertinya dia pulang.
"Sudah, setelah ini kamu cepat mandi, nanti biar bajunya Ayah yang cuci," kata Ayah tertawa geli.
Kugelengkan kepalaku, "Tidak! Biar aku cuci sendiri saja!" tegasku. "Aku ingin belajar bantu Ayah di rumah biar nggak capek!"
Ayah tersenyum, mengangguk mengiyakan.
"Amara," panggil Ayah saat kami mulai masuk ke dalam pekarangan rumah dengan saling berpegangan tangan.
"Ya, Ayah?" Aku mendongak menatap ayah.
"Apa kamu tidak sedih hidup sama Ayah?"
Aku mengerutkan kening, bingung. "Ayah ngomong apa?"
Ayah terlihat memejamkan mata sambil memijat pangkal hidungnya. Beliau mendongak sejenak lalu kembali menunduk tersenyum padaku.
"Besok ayah mau ajak Ara jalan-jalan, mau?"
Aku melompat senang. Sudah lama sekali sejak ibu meninggal, ayah belum pernah mengajakku untuk main lagi karena sibuk bekerja.
"Tentu saja, Ayah!" jeritku senang. Kupeluk pinggang ayah dengan gembira.
"Terima kasih karena menjadi Ayah yang paling baik buat, Amara!" senyumku lebar, dan ayah pun ikut tersenyum. Namun, kulihat matanya berair menatapku.
Kami masuk ke dalam rumah, segera aku berlari ke dapur dan terdengar teriakan ayah yang menyuruhku untuk mandi.
"Cepat mandi! Ayah akan masak makan malam untuk kita!" teriak Ayah dari belakangku.
"Ya, Ayah!" Aku berteriak lagi, lalu tanpa menunggu diperintah untuk yang kedua kali segera berlari ke dalam kamar dan mengambil handuk.
Air keluar dari shower, aku mandi sambil bernyanyi seperti biasanya. Sabun cair yang ayah belikan untukku bulan lalu ku bubuhkan di spons mandi sedikit saja. Wanginya enak, aroma buah stroberi dan aku sangat suka sekali. Tidak rela rasanya jika dia akan habis dalam waktu yang dekat.
"Umm ... wangi!" seruku sambil memainkan busa sabun yang ada di tangan, sesekali meniupnya hingga tercipta sebuah gelembung, ku tiup sehingga beterbangan di udara.
"Ara! Apa kau ini putri duyung? Ayah sudah sangat lapar jika menunggumu berubah kembali menjadi seorang anak manusia!" teriak ayah dari luar kamar mandi. Aku tertawa kecil, menyadari jika terlalu lama telah berada di dalam sini.
"Ya, Ayah! Aku segera selesai!" teriakku, lalu bergegas untuk membasuh tubuh penuh busa sabun dengan air yang ada di bak. Agar cepat selesai.
Kamar mandi kami tidak besar, ada sebuah ember yang dijadikan sebagai bak dan juga ada shower karena aku ingat tahun lalu merengek memintanya kepada ayah. Melihat kamar mandi milik Denis aku merasa ingin kamar mandi di rumah ini memilikinya juga. Aku ingat ayah tidak punya uang waktu itu, jadi hanya menggunakan benda yang ada di gudang untuk membuatnya. Sebuah selang plastik panjang dengan ujungnya terikat pada sesuatu yang ayah beri banyak lubang, dan saat benda itu terpasang, maka jadilah shower buatan yang sama fungsinya seperti milik Denis. Ayah bilang, 'Yang terpenting sama seperti ini, kan?' Aku hanya mengangguk dengan semangat dan memeluk ayah dengan sayang.
"Amara!" teriak ayah lagi. Aku tersadar dari menatap shower darurat kami dan segera menyelesaikan mandiku.
"Astaga! Apa saja yang kamu lakukan, ha? Sebentar lagi kau bisa berubah menjadi putri duyung," ucap Ayah sambil tersenyum dan menyiapkan piring kosong di atas meja makan. Aku hanya tertawa malu, kemudian bergegas pergi ke dalam kamar untuk mengenakan baju.
Aku memakai piyama bagus yang ayah belikan dua hari yang lalu, meski terasa bahannya tipis, tapi ini lebih baik daripada piyama lamaku yang telah bolong di tepian bajunya, jahitannya sudah terlepas saat seseorang memberikannya kepadaku. Ayah menjahitnya dengan hati-hati, tapi tetap saja pakaian rapuh itu kembali sobek jika aku bergerak terlalu lincah.
Rambut yang rapi, wajah yang sudah memakai bedak, dan sedikit minyak kayu putih untuk pewangi pada leherku, aku siap untuk makan malam bersama dengan ayah.
"Bu, besok Ayah bilang akan mengajakku pergi," ucapku senang, laporan kepada gambar sosok wanita yang ada di samping meja tempat tidurku.
Di dapur, Ayah sudah menunggu di meja makan, masih mengenakan celemek di depan tubuhnya dan tersenyum saat aku mendekat dan menyeret kursi kayu yang sudah sedikit goyang karena kayunya sudah lapuk.
"Waaah, ikan goreng!" seruku senang lalu duduk dengan hati-hati agar tak terjengkang ke belakang.
"Makan yang banyak." Ayah memindahkan satu ikan goreng yang tidak terlalu kering ke atas piringku, di atas nasi yang mengepulkan asap tipis. Wanginya membuat perutku sangat lapar sekali.
"Terima kasih." Aku tersenyum senang dan segera makan dengan menggunakan tangan. Apapun yang kami makan, kami sangat bersyukur sekali karena kami tidak harus makan dengan hanya menggunakan garam atau dedaunan yang dipetik dari pagar di samping rumah. Ayah bilang dedaunan itu dapat diolah menjadi teman nasi dengan cara merebusnya dengan ditambah sedikit garam. Meski awalnya aku tidak suka, tapi sekarang aku sudah terbiasa. Pekerjaan ayah sekarang lebih baik lagi daripada pekerjaannya tahun lalu, setidaknya kami tidak pernah kelaparan lagi meski tetap harus menghemat beras yang kami masak.
"Biar aku yang cuci piringnya. Ayah mandi saja dan segera beristirahat," tawarku.
"Kamu yakin bisa melakukannya?" tanya Ayah saat aku mengambil piring kotor dari hadapannya. Aku mengangguk pasti dan juga sangat bersemangat kali ini karena besok ayah akan membawaku bermain seharian.
"Ya, aku harus bisa membantu Ayah. Ayah sudah capek seharian bekerja," ucapku. Usapan lembut aku dapatkan di kepala dari tangan ayah yang besar.
"Anak pintar." Ayah bangkit dan melepas celemek, lalu menggantungnya di tempat biasa.
Sebuah kursi kayu aku tarik dari bawah wastafel, khusus ayah buatkan untuk aku berdiri jika sedang mencuci piring. Dulu pernah beberapa kali aku memecahkan gelas atau piring karena masih belum tinggi, maka dari itu ayah membuatkan benda tersebut untukku.
"Selamat malam, Ara. Selamat tidur," ucap ayah setelah aku selesai mencuci piring dan ayah selesai mandi. Rambutnya tampak basah dan membuatnya terlihat sangat tampan sekali.
"Selamat tidur." Aku mendekat pada ayah dan mencium pipinya serta memeluknya.
"Ibu, besok Ayah akan membawaku pergi," ucapku lagi kepada foto ibu yang tengah tersenyum.
Eh, padahal tadi juga sudah bilang. Hehe.
Aku jadi malu sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments