Aku menebar pandangan dan memang ada dua bangku kosong yang berjauhan. Satu kursi ada di sisi kiri di jajaran kedua dari depan. Satu lagi ada di sebelah kanan berada di jajaran ketiga.
Zian memberi isyarat jika ingin pergi ke sebelah kanan maka dari itu aku pun akan menempati kursi yang sebelah kiri. Kami pun berjalan maju kemudian berpisah menuju ke kursi masing-masing. Zian terlihat gugup dan dia melihatku dengan panik. Aku tersenyum sambil berbisik, "Tidak apa-apa!" Zian pun mengangguk dan terlihat sedikit lebih tenang.
"Baiklah, sekarang mari kita mulai pelajarannya," Nona Jenny menepuk tangannya. "Kalian yang lebih dekat dengan Amara atau Zian tolong dibantu untuk buku pelajarannya, ya!" perintahnya.
"Baik, Nona!" jawab anak-anak itu serempak.
Anak perempuan yang duduk di depanku berbalik sambil memberikan sebuah buku pelajarannya.
"Ini, pakai punyaku dulu," katanya sambil tersenyum, manis sekali. Matanya sedikit sipit, maka saat tersenyum seperti itu terlihat dia seperti sedang menutup matanya.
"Terima kasih," jawabku sambil menerima buku itu.
"Oh ya, namaku Vanessa, salam kenal ya!" ucapnya seraya tersenyum lebar dan mengulurkan tangan.
Sepertinya sekolah tidak terlalu buruk dan terlihat lebih menyenangkan. Aku pun menerima tangannya dan kami bersalaman.
"Iya, salam kenal juga!" balasku tersenyum.
Hari pertama aku lalui dengan suka hati, tak ada dari pikiran burukku sejak kemarin yang terjadi. Semua berjalan dengan lancar. Aku lebih unggul dari Zian dalam membaca dan berhitung. Dia tampak malu saat Nona Jenny memanggilnya maju ke depan untuk mengisi soal. Beruntung anak yang lain tidak menyoraki Zian, entah apa yang akan terjadi kepada anak itu jika disoraki. Bisa-bisa dia tidak akan mau lagi datang ke sekolah.
"Amara, saat pulang nanti bisa tolong bantu Zian belajar?" tanya Nona Jenny yang seperti permintaan buatku. Aku mengangguk semangat, dengan seperti ini aku akan bisa lebih dekat lagi dengan Zian lebih lama dari biasanya.
Bel berdering nyaring, Nona Jenny pun menyudahi pelajaran lalu berpamitan keluar dari kelas. Aku pun sigap membereskan buku dan memasukkannya ke dalam tas. Bersiap untuk pulang.
Vanessa yang menoleh ke arahku melotot kaget.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya.
"Bukannya pulang, ya!" jawabku bingung.
Vanessa sontak tertawa terbahak-bahak, begitu juga beberapa anak di sekitarku. Membuat aku menjadi bingung dan pipiku rasanya panas. Apa lagi Zian juga ikut tertawa.
"Itu bel istirahat, Amara, belum waktunya pulang!" kata Vanessa dengan sisa tawanya.
"Oh, begitu ya," sahutku pelan. Aku melirik pada Zian, dia melihat ke arahku sambil menahan tawa.
Awas aja nanti, gerutuku.
"Nggak apa-apa, simpan lagi tasnya, taruh aja di laci," tunjuk Vanessa ke bagian bawah meja. Dan memang ada sebuah laci di bawahnya.
"Ayo ke kantin!" ajaknya kemudian.
"Kantin?" tanyaku ragu.
"Iya, kamu pasti lapar 'kan?! Kita makan siang dulu di sana," tunjuknya ke arah luar.
Benar juga, perutku juga sudah mulai keroncongan.
"Sebentar aku ajak Zian dulu ya," kataku, Vanessa pun mengangguk.
Kuhampiri Zian di kursinya. "Kamu mau makan siang juga?" ajakku.
"Emangnya kamu bawa uang?" tanya Zian balik.
"Loh harus beli?" tanyaku heran.
Zian menghela nafas panjang, "Tentu saja, Amara! Ini 'kan bukan di panti!" tukasnya.
Perutku langsung kenyang rasanya mendengar hal itu. "Kak Ani nggak ngasih kita uang," keluhku.
Sementara kami termangu berdua, Vanessa datang menghampiri.
"Kata siapa kalian harus bayar?" ujarnya. "Sekolah ini 'kan masih satu yayasan dengan panti, jadi kamu tidak perlu bawa uang untuk makan karena semuanya gratis," terangnya.
Aku dan Zian berpandangan lalu menatap Vanessa.
"Kamu anak panti juga?" tanyaku ragu-ragu.
Vanessa menggeleng. "Bukan, sekolah ini juga menerima siswa dari luar panti," jawabnya.
Aku dan Zian pun ber-oh ria, dalam hati sangat senang dengan berita ini.
"Sudah, ayo kita makan," ajak Vanessa.
Kami pun mengangguk kemudian keluar dari kelas bersama-sama.
Koridor yang tadi sepi kini terlihat ramai oleh para siswa. Ada yang berlarian sambil bercanda dengan temannya juga ada yang berjalan santai sambil membaca buku.
Dari salah satu ruang kelas aku melihat ada seorang anak memakai kursi roda. Dan seorang anak perempuan membantu mendorongnya.
Satu hal yang membuat aku kaget adalah sekilas dia mirip Bara. Mungkin seusia dengan dia, karena badannya juga kecil. Hanya saja rambutnya sedikit pirang dan wajahnya pucat.
"Itu Azka," kata Vanessa. Aku menoleh padanya.
"Azka?" ulangku.
Vanessa mengangguk. "Katanya dia anak orang kaya, orang tuanya salah satu donatur terbesar pada yayasan ini, dia juga pintar dan baik hati," jelas Vanessa.
"Kenapa dia di kursi roda?" tanya Zian.
"Dia lumpuh," jawab Vanessa lagi sambil mengangkat bahu.
Aku dan Zian pun berpandangan mendengarnya.
Aku melihat ke arah Azka, dia juga sempat melihat ke arah kami meski cuma sekilas, karena anak perempuan itu mendorong kursinya berbalik dan berjalan menjauh.
Oh ya, aku tidak melihat Bara sejak kemarin, kemana lagi dia?
...***...
Setelah jam pelajaran kedua akhirnya waktu pulang sekolah pun tiba. Aku dan Zian berjalan bersama-sama keluar dari sekolah kami melambai pada Vanessa, di mana dia berjalan ke arah sebaliknya dan kami berpisah di gerbang sekolah.
"Badanku sakit," keluh Zian.
"Aku juga," timpalku. Bahu aku pukul dengan kepalan tangan, pegal rasanya.
"Heran ya, padahal kita cuma duduk aja," kata Zian lagi. Dia berjalan sambil menyeret tasnya, seragamnya juga sudah acak-acakan dan keluar dari celana.
Mungkin benar apa yang dikatakan Kak Tania, kalau sekolah itu lebih melelahkan.
"Bayangkan kalau kita nggak sarapan dulu tadi," kataku lemas.
Zian mengangguk setuju.
Saat kami sedang berjalan menuju pulang ada seseorang menaiki sepeda motor dan menepi di pinggir jalan. Seorang laki-laki dengan rambut panjang sebahu yang tergerai keluar dari balik helm. Dia turun dari mobil kemudian melepas kacamata dan helmnya.
Saat dia berbalik aku pun membelalakkan mata, merasa senang melihatnya.
"Kak Gery?!"
Iya, dia Kak Gery yang waktu itu menyelamatkanku, tepatnya menahanku saat hendak kabur dari panti.
Kak Gery tersenyum sambil berjalan ke arah kami.
"Amara pulang sekolah, ya?" tanyanya riang.
Aku juga mengangguk membalasnya, "Iya, ini hari pertama kami masuk sekolah," jawabku.
Aku melirik ke arah Zian. "Oh, ya, ini temanku, Zian," kataku memperkenalkan Zian pada Kak Gery.
Kak Gery pun tersenyum. "Halo, aku temannya Amara juga," katanya ramah, dia lalu melihat kami bergantian.
"Apa kalian mau makan es krim?" tawarnya.
Sontak saja aku dan Zian pun membelalak senang mendengarnya.
"Mau!" seru kami bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments