"Amara?" Suara Bunda Evie terdengar lembut, cepat ku usap pipiku yang sudah basah, lalu menunduk dalam agar Bunda Evie tidak melihatnya.
Bunda Evie selesai mengikat rambutku, lalu berlutut di hadapanku. Digenggamnya tanganku.
"Amara sudah besar sekarang, sudah masuk sekolah," kata Bunda Evie lembut. "Amara harus kuat ya, kalau ada apa-apa jangan sungkan bicara sama Bunda, ok?"
Aku mengangguk. Aku nggak mau ngomong, soalnya takut malah menangis nantinya. Bunda Evie memang orang lain, tapi dia sangat baik terhadapku, Kak Ani juga.
Bunda Evie mengusap kepalaku. "Ayo, kita ke bawah, siap-siap sarapan dulu. Yang lain belum bangun, lho, jadi Amara yang pertama mendapat kue buatan Bunda!" ucapnya sambil tersenyum lembut.
Aku juga tersenyum senang, karena aku suka kue dan bunda bilang aku menjadi orang pertama yang mendapatkannya.
Kami pun turun dan menuju ruang makan. Aku mendapat kue yang dijanjikan.
"Karena ini hari pertama Amara masuk sekolah, jadi ... shtttt!" Kak Ani menempelkan jari telunjuknya di depan mulut. "Kakak berikan satu kue tambahan. Jangan bilang sama yang lain, ya," ucap Kak Ani yang membuat mataku berbinar mendapatkan dua kue sekaligus.
Aku mengangguk dengan penuh semangat dan mulai menikmati kue tersebut. Enak sekali!
"Jangan membuat berantakan, awas dengan seragammu," tambah Kak Ani memperingatkan. Aku mengangguk lagi, terlalu sibuk menikmati kue di mulut sampai aku tidak menjawabnya.
Hari mulai terang dan anak-anak sudah bangun. Pagi itu pun akhirnya ramai dengan celotehan mereka yang bersiap hendak mandi.
Aku mendongak dengan bangga karena pagi ini aku yang pertama bangun dan sudah siap dengan seragam sekolah. Zian bahkan baru mau mandi. Dia terlihat lebih ceria hari ini, juga lebih berani. Cindy dan Lea terlihat kaget ketika melihat perubahan Zian kemarin itu, mereka terlihat sungkan dan memilih menjauh, padahal mereka berdua selalu paling ribut pada anak-anak yang di bawah mereka apalagi anak baru.
Aku memperhatikan siapa yang lewat, tapi tidak melihat Arik. Entah di mana dia aku juga tidak peduli. Anak nakal itu tidak perlu diperhatikan!
"Tunggu aku, ya! Aku mandi dulu!" teriak Zian dari luar. Aku mengacungkan jempolku padanya lalu duduk di salah satu kursi. Melihat Zian hari ini, senang sekali rasanya karena anak-anak lain juga tampak ramah dan menyapanya. Sepertinya kejadian potong paksa poni kemarin ada hikmahnya, hehe.
Kak Tania muncul membawakan aku makan, menunya hari ini adalah selalu ada nasi, sayuran, tapi kali ini ada ikan goreng juga.
"Amara 'kan sudah mulai sekolah jadi makannya harus bergizi, makan dan habiskan ya, jangan sampai ada sisa!" kata Kak Tania.
Aku tertawa sambil sekali lagi mengacungkan jempol kepada Kak Tania. Dia pun tertawa sambil mengusap rambutku sebelum pergi untuk mengambilkan makanan bagi anak yang lain.
Akan aku catat orang baik satu lagi. Kak Tania.
Kak Ani muncul kemudian. "Karena hari ini Amara mulai sekolah, Kakak buatkan susu hangat, diminum ya!" katanya sambil meletakkan segelas susu di samping piring makanku.
"Wah, terima kasih, Kak!" kataku senang. "Nanti Zian juga dapat 'kan?" Dia juga masuk sekolah pertama kali, harusnya dapat. Kalau tidak, mereka pasti akan iri melihat aku diperhatikan seperti ini.
Aku hendak protes, tapi Kak Ani terkekeh. "Hari ini semua anak dapat, dan sepertinya mulai dari sekarang semua anak-anak panti akan mendapat makanan yang lebih baik," tuturnya.
"Kata Bunda Evie, ada donatur yang baik hati. Dia menyumbang bahan makanan dan juga pakaian yang bagus buat kita!" tambahnya.
"Donatur itu apa, Kak?" tanyaku sambil makan perlahan. Baru pertama aku mendengar kata itu.
Kak Ani tertawa kecil. "Donatur adalah orang baik yang memberikan bantuan berupa uang atau baju atau makanan secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan atau balasan, dan kita bersyukur mendapat donatur yang baik hati seperti dia!"
"Siapa? Kakak tahu orangnya?" Kuambil daging ikan dengan garpu dan memakannya, rasanya gurih sekali. Enak dimakan sama sayuran. Aahhh, rasanya seperti yang ayah buat.
Kak Ani mengangkat bahunya. "Nggak tahu, Bunda Evie juga nggak ngomong, tapi yang jelas katanya mulai hari ini hidup kita akan lebih baik dan lebih terjamin!" pungkasnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Ooh, ternyata begitu.
"Baik, kalau begitu aku juga harus semangat sekolah, ya!" seruku.
Kak Ani tertawa sambil mengusap kepalaku, "Iya, harus belajar jadi anak pintar, buat orang yang kamu sayang bangga!"
Aku tersenyum. "Aku akan membuat Ayah bangga, juga Bunda Evie, dan kakak-kakak semua yang sudah baik sama aku!" tekadku berseru.
Kak Ani mengangguk seraya tersenyum lebar. "Ayo makan yang benar ya, habiskan!" katanya.
Aku mengangguk dengan penuh semangat.
Aku sudah mulai makan, tampak di luar sana Zian berlari-larian sehabis mandi, dia hampir jatuh saking kencangnya berlari. Aku tertawa melihat wajah lucunya, tapi dia juga malah tertawa lalu melambai dan pergi dengan cepat.
"Amara. Tunggu aku, ya!" teriaknya lagi, lalu tubuh kecil itu cepat menghilang dari pandanganku.
Aku terkekeh melihatnya. Sepertinya dia khawatir kalau aku meninggalkannya berangkat sendirian, tapi ... aku juga kan belum tahu di mana sekolahku. Jika Kak Tania nanti berjalan melewatiku, mungkin aku bisa bertanya padanya tentang sekolahku.
Aku lanjut makan, nasi sisa setengah dari yang aku dapatkan tadi. Tanpa sadar aku sudah makan cukup banyak pagi ini. Kenyang, tapi aku tidak boleh menyisakan makanan, bukan? Harus dihabiskan.
"Kak Tania!" panggilku saat Kak Tania lewat.
Kak Tania pun menoleh. "Ya? Kenapa Amara? Mau nambah nasinya?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Ini aja masih banyak, Kak!"
Kak Tania pun tertawa. "Sekolah 'kan butuh banyak tenaga untuk berpikir jadi kamu harus makan banyak!" kekehnya. Kami pun tertawa bersamaan.
"Itu, nanti aku sekolah di mana, ya? Apa jauh dari panti?" tanyaku, tiba-tiba saja khawatir. Bagaimana jika sekolahku jaraknya jauh? Apa aku akan bisa sampai ke sana tepat waktu? Aku tidak mau jika di hari pertamaku sekolah, terlambat dan mendapatkan hukuman berdiri di depan kelas sambil mengangkat satu kaki dan tangan menyilang menarik kedua telinga. Atau, bisa jadi beberapa temanku melemparkan gumpalan kertas.
Kak Tania menggeleng. "Kita juga punya sekolah yang masih satu yayasan dengan panti, jaraknya cukup dekat, kamu bisa jalan kaki kesana," jawabnya.
"Oh, begitu!"
Fuhh, aku lega mendengarnya.
"Iya, nanti diantar sama Kak Ani, ya!"
Aku mengangguk, sambil menyuapkan makanan ke mulutku. Tak lama kemudian Zian pun muncul dan segera meminta makan pada Kak Tania.
"Kamu licik!" ucap Zian.
"Eh, licik apanya?"
"Kenapa nggak bangunkan aku?" ucapnya sambil cemberut. Aku dan Kak Tania tertawa kecil menanggapi wajah lucunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments