11. Rumah Penyihir?

Aku baru saja lari dari panti. Padahal ini tengah malam. Akan tetapi, aku tidak tenang mendengar ayah sedang sakit. Ayah mungkin masuk angin.

Entah sudah seberapa jauh aku berlari, sampai nafasku tersengal dan tenggorokanku kering. Tenagaku juga sudah habis dan aku lelah. Tak ada orang sama sekali di jalan ini, hanya ada mobil sesekali yang melewatiku.

Di teras sebuah toko aku duduk sejenak untuk melepas lelah. Keringat yang membanjiri terasa sejuk diterpa angin malam, tapi lama-lama rasanya semakin dingin dan aku menggigil. Aku lupa tidak memakai jaket, padahal aku melihatnya ada di tumpukan baju di lemari.

Kupaksakan kakiku untuk terus berlari, meski lambat laun semakin berat karena aku lelah sekali. Hingga akhirnya aku tersandung pembatas jalan dan terjatuh. 

"Aduh ..." Tangan dan kakiku sakit terkena permukaan jalan yang kasar.

Aku capek sekali. 

Ayah, tunggulah sebentar! Ara kelelahan disini ....

"Hei!"

Tiba-tiba kudengar suara laki-laki, lalu samar kulihat ada sepasang sepatu mendekat padaku. Aku mendongak, tapi rasanya silau karena lampu jalan di atas sana. Sehingga aku hanya bisa melihat bayangannya yang berjongkok di dekatku. 

"Lho? Amara?!"

Hah? Siapa?

Aku ingin bangun melihatnya, tapi aku lelah dan tak punya tenaga lagi, dan saat tangan itu mengangkatku ... aku tak ingat apa-apa. 

...***...

Hangat sekali rasanya. Wangi bunga segar dan  lembut menyapa hidungku. Membuat mataku terbuka. 

Tapi, eh ...

"Dimana ini?" 

Kulihat kamar yang luas dengan meja dan ranjang yang bagus. Berukir indah dengan cat keemasan. Gordennya menjuntai sampai ke lantai, tampak berat dan lembut menyapu lantai yang berkilauan tanpa garis. Ada meja rias yang cantik di sudut dekat jendela, dengan kaki meja yang meliuk indah. 

Angin berhembus sejuk dari pintu kaca yang terbuka, sepertinya itu adalah balkon luar karena aku bisa melihat dengan jelas suasana luar yang begitu asri. Aku sendiri bangun di atas sebuah ranjang besar dengan sprei lembut berwarna merah jambu, dengan kelambu berwarna sama menjuntai dari atas tiang ranjang. Kasurnya sangat empuk sekali, kali ini melebihi empuknya kasur yang ada di panti.

Tiba-tiba pintu lain terbuka, ada seorang kakak perempuan muncul dari baliknya dengan memakai pakaian dengan apron berenda di depannya, dia juga memakai bando berbentuk segitiga di kepalanya. Matanya membelalak ketika melihatku. 

"Ah, Nona sudah bangun!" serunya riang. 

Nona?

Siapa yang dipanggil nona? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.

Dia lalu datang mendekat, "Bagaimana perasaan Nona sekarang? Apa masih pusing?" tanyanya. 

Aku tertegun, ternyata yang dia panggil nona itu adalah aku.

"Ini dimana? Kenapa aku ada disini?" 

Kakak itu tersenyum. "Semalam Nona pingsan di jalan dan Tuan membawa kamu kesini," jawabnya.

Aku mengernyit. Bingung. "Tuan?" tanyaku.

"Iya."

"Tuan siapa?" 

Kakak itu terlihat gugup. "Mau makan?" Dia sepertinya mengalihkan pertanyaan dengan menawariku makanan. Di atas troli makanan yang di bawanya tadi ada berbagai makanan yang terlihat sangat lezat dengan aroma yang sangat wangi sekali, dan itu membuat perutku sangat lapar.

"Oh, ya! Namamu siapa?" tanyanya sambil menyuapiku makan.

"Amara," jawabku dengan mulut penuh, cepat-cepat kukunyah dan menelannya. "Nama Kakak siapa?" tanyaku balik.

"Aku Anya, salam kenal ya, Amara!" ucapnya, kami lalu tertawa bersamaan.

Kak Anya menyuapiku pelan-pelan. Mulutku terus terbuka rasanya menerima semua makanan itu. Enak, sehingga aku mau lagi dan lagi. Rotinya sangat enak dan lembut, juga ada sup ayam yang membuat hangat di perutku. Ada buah-buahan dan setelah itu aku minum susu hangat sampai habis. Kak Anya tertawa saat aku tak sengaja bersendawa karena kekenyangan.

"Maaf!" ucapku. Malu rasanya, karena di depan ayah pun aku tidak sampai seperti ini.

"Tidak apa-apa, aku senang melihat Nona makan dengan lahap seperti itu!" katanya tertawa riang.

Aku tersenyum malu dibuatnya. Kak Anya lalu membereskan bekas makanku ke atas troli dan bersiap untuk keluar dari ruangan. 

"Tunggu!" seruku.

Kak Anya berbalik menatapku, "Iya, kenapa?" tanyanya.

"Apa aku boleh tahu ini di mana? Semalam aku lari dari panti dan sepertinya aku harus pulang!" ungkapku pelan dan takut-takut.

Ya, jujur saja aku takut. Bagaimana kalau aku di culik penyihir? Diberi tempat yang nyaman, diberikan makanan yang lezat sampai aku gendut, lalu ... Aku dimasak untuk santap makan malamnya.

Bunda Evi pasti akan mencariku, dan ... Ayah juga.

Kak Anya tersenyum, "Tunggulah sebentar di sini, nanti aku akan kembali!" jawabnya.

Merasa tak puas tapi aku mengangguk saja. Hingga Kak Anya keluar dari pintu kamar dan aku kembali sendirian.

Aku berdiri. Balkon di luar sana terlihat menarik, aku pun turun dari ranjang dan melangkahkan kakiku ke sana. Suasananya terasa segar dan hangat. Aku berjalan ke sisi pagar balkon, dan saat itulah aku terkejut.

Di bawah sana ada taman bunga yang cukup luas, dengan rumput hijau terhampar. Di kejauhan sana terlihat pagar yang mengelilingi taman dan rumah ini. Dan aku pun menyadari jika ternyata rumah ini sangat besar dan aku berada di lantai dua. Tidak ada bentuk kerucut yang ada di atas rumah seperti milik penyihir, tidak ada menara tinggi seperti yang sering aku baca di dalam buku cerita, juga tidak tampak barang-barang yang dimiliki penyihir di ruangan ini.

"Aku dimana ini?"

...***...

Kak Anya memandikanku dan memberikan baju yang bagus sekali. Roknya mengembang dengan pita dan renda di sekelilingnya. Dia juga menyisir rambut panjangku dan menghiasnya dengan pita. Matanya berbinar saat melihatku di cermin.

"Wah, kamu manis sekali, Amara! Bajunya cocok dengan ukuranmu!" komentarnya gembira.

"Aku merasa menjadi seorang putri," kekehku tertawa sendiri. Sekaligus kagum dengan bajunya. Sejenak lupa dengan pikiranku yang tadi.

"Apa disini ada anak perempuan juga?" tanyaku.

Kak Anya terdiam sejenak tapi dia tidak menjawab pertanyaanku. 

"Apa kamu mau berkeliling? Ada air mancur di belakang rumah ini, lho!" ajaknya.

Aku tak mau membuat Kak Anya kecewa, jadi aku mengangguk saja. 

Keluar dari kamar aku kagum melihat lorongnya, seperti di cerita kerajaan yang suka aku baca. Ada banyak tiang berukir, dan lukisan-lukisan cantik dengan pigura besar. 

Saat hendak menuruni tangga, aku melihat sebuah lukisan anak kecil. Dengan rambut coklat dan mata berbinar senada dengan rambutnya. Memakai pakaian ala anak-anak kerajaan seperti temannya Sofia di kartun itu. Tertawa ceria.

Di foto lain dia memakai baju biasa saja, setelan celana dan topi pelaut. Tersenyum lebar, memegang sebuah kompas dan boneka beruang. 

Rasanya aku pernah melihat anak itu, tapi dimana ....

"Itu ...."

...****************...

Ini ... 👉👈 nggak ada yang mau komen gitu 🥲. Sepi amat ya🤧

Terpopuler

Comments

Naura Salsabila

Naura Salsabila

bara yah thor. dia idah meninggal

2022-11-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!