5. Apakah Aku Dibuang?

"En-si-klo-pe-di-a." Aku menoleh pada Ayah. "Aku benar 'kan?" seruku sambil mengacungkan buku itu.

Ayah menoleh dan tersenyum membenarkan. "Ayah tidak tahu kamu sudah belajar membaca, Ara!" kata Ayah tertawa.

"Aku belajar dari Kak Marlin," jawabku. Kak Marlin adalah tetangga kami yang sudah remaja, dia suka mengajariku belajar membaca. Katanya aku seharusnya sudah sekolah kelas 2 SD. Mungkin karena ayah belum punya uang untuk mendaftarkanku jadi nggak apa-apa sepertinya.

Akan tetapi, setelah Kak Marlin masuk sekolah SMA, dia jadi jarang mengajakku belajar lagi. Dia juga lebih sering pergi sama teman laki-lakinya memakai motor besar. Aku pernah melihat mereka berpelukan di kamar Kak Marlin saat aku ingin memintanya mengajariku lagi. Saat itu aku dimarahi dan diusir keluar oleh teman laki-lakinya itu.

Ayah sedikit meredupkan pandangannya mendengar ucapanku. "Maafkan Ayah karena belum sempat menyekolahkanmu, Ara," ucap Ayah meraih kepalaku dan memelukku, aku juga balas memeluk Ayah.

"Ayah 'kan belum punya uang, nggak apa-apa, Ayah!" kataku seperti yang selalu dikatakan oleh Ayah setiap kali ibunya Denis menyindirnya.

"Baiklah, bagaimana kalau kita membaca buku saja?" ajak Ayah sambil mengusap matanya yang berair. "Ayo, buku mana yang ingin kamu bacakan?" tanya Ayah.

Aku mengacungkan sebuah buku tentang putri Aurora. "Kata Kak Marlin, Aurora adalah putri tidur yang cantik, aku ingin membacanya!" kataku.

Ayah menggeleng, dan mengambil buku yang lain. "Bagaimana kalau Merida, dia itu pemberani dan pintar, seperti kamu!"

Aku belum tahu ada putri yang namanya Merida, bahkan aku baru mendengar namanya. Karena penasaran akhirnya aku mengangguk setuju.

"Baiklah, duduk disini dekat Ayah," Ayah menepuk tempat kosong di sebelahnya. Aku dengan semangat naik dan duduk merapat pada Ayah. 

Ayah tersenyum dan melingkarkan tangannya padaku sambil membaca buku, dan aku pun mendengarkan. Cerita ini sangat bagus sekali. Sayang, aku tidak pernah punya buku ini di rumah.

Ayah tetap membacakan cerita itu, tapi rasanya aku mengantuk sekali. Mungkin karena lelah, sampai aku tak tahan lagi dan bersandar pada lengan ayah.

...***...

"AYAH!" Aku terkejut dan terbangun tiba-tiba.

"Sstt, Ayah disini, Sayang!" Kubuka mata dan melihat ayah tertidur di sebelahku, menepuk-nepuk kepalaku sambil terkantuk-kantuk.

Ah, apa aku tadi bermimpi.

Sepertinya iya. 

Aku bermimpi ayah pergi meninggalkanku sendirian dan aku menangis ketakutan. Maka dari itu kupeluk ayah lebih erat, aku takut jika mimpi itu menjadi nyata. 

Susah payah aku menahan mata ini, tapi kantuk tak juga ingin pergi. Sampai akhirnya aku kembali mengantuk.

Ara, Ara, bangunlah!

Kamu harus bangun, Ara!

Kamu harus bangun, ayahmu pergi!

Terdengar suara seseorang yang aku kenal, suara seorang anak laki-laki dengan sangat lembut sekali memanggil namaku.

Ara, bangunlah.

Suara itu terdengar lagi semakin jelas sehingga aku merasa terganggu. Akan aku marahi anak itu! Apa dia tidak tahu aku capek dan mengantuk sekarang!

Aku terbangun dan terkejut saat aku hanya tidur sendirian saja. Ayah ... kemana ayah?

"Ayah? Ayah! Ayah kemana?" panggilku, kulihat sekeliling. Baru aku ingat jika tadi aku sangat mengantuk saat ayah membacakan sebuah cerita tentang Merida. Ruangan ini berbeda, bukan ruangan saat kami membaca, tapi sebuah kamar dan aku tidur di atas tempat tidur yang empuk daripada kasur di rumahku.

"Ayah! Ayah! Ayah kemana?" Aku takut sendirian. Ayah kemana?

Aku melompat turun dari kasur, berlari ke arah pintu dan membukanya. Begitu di luar kamar, aku terkejut karena di hadapanku ada jajaran pintu dan saat aku menoleh ke arah lain, ada banyak pintu-pintu berjejer rapi, begitu juga dengan yang ada di belakangku. Aku berada di sebuah lorong yang ramai dengan anak-anak. Mereka menoleh ke arahku dengan heran.

Aku takut dengan tatapan mereka.

"Ayah! Ayah! Ayah dimana?" teriakku berlari sepanjang lorong.

Tidak ada yang kukenal disini, mereka tampak asing dan menatapku. Aku takut. 

"Ayah! Ayah dimana? Amara takut!" teriakku mulai menangis. Aku terus berlari dan bahkan menabrak anak lain dan terjatuh di lantai.

"Ayah, aku takut, huhuhu ..."

"Hei!" Panggil seseorang. Aku tak tahu siapa karena aku lebih sibuk mencari sosok ayahku.

"Pergi! Aku mau ayahku! Aku mau ayahku!" 

"Amara, tenanglah!" 

"Pergi kalian! Aku mau cari ayah!" 

Kudorong kakak-kakak perempuan itu sampai terjatuh. Aku juga menerobos kerumunan anak-anak yang mengelilingiku, lalu berlari saja meninggalkan mereka. 

"Ayah dimana? Ayah aku takut! Ayah dimana?" teriakku sampai tenggorokanku sakit. 

Aku berlari keluar, kudengar Bunda Evie memanggilku dan berteriak pada anak lain agar menahanku. Beberapa anak yang lebih besar segera mengejarku dan menarikku tepat saat aku hampir melompat ke jalan raya, tak peduli dengan banyaknya mobil yang lewat.

"Lepaskan! LEPASKAN!"

"Amara tenanglah!"

"DIAM KALIAN! AKU MAU AYAHKU!"

"Amara, tenanglah, Nak!" Bunda Evie datang dan memelukku. 

"LEPASKAN! LEPASKAN!" Kupukulkan tanganku sembarangan. Namun, Bunda Evie tetap memelukku dengan erat.

Sampai aku lemas dan kelelahan dia tetap tak melepaskanku.

"Ayah, kenapa meninggalkanku disini? Kenapa, Ayah?" Dadaku rasanya sesak. Aku juga ingin berteriak, tapi aku sudah lelah dan suaraku habis.

"Apa salahku pada Ayah?"

"Ayah!" Aku sudah lemas, lelah menangis di dalam pelukan Bunda Evie sampai-sampai saat wanita itu menggendongku kembali ke dalam aku hanya diam di dalam dekapannya.

"Aku mau ayah," ucapku lemah.

"Iya, Sayang. Nanti, ayo kita kembali ke dalam." Bunda Evie membujukku. Pagar yang tinggi itu semakin jauh terlihat saat Bunda Evie terus membawaku kembali ke dalam.

Kenapa Ayah jahat sekali? Pergi tanpa pamit. Apa salahku, Ayah? Aku ingin pulang dengan Ayah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!