15. Ternyata Anak Laki-Laki

"Lho, kenapa, Amara?" tanya Bunda Evie saat aku hanya diam setelahnya.

Aku 'kan sudah membuatnya menangis kemarin. Apa dia masih mau temenan sama aku?

Bunda Evie mengusap kepalaku, "Zian tidak apa-apa kok, Amara! Dia nggak marah!" 

Aku menatap Bunda Evie dengan heran.

"Dari mana Bunda tahu? Aku bahkan belum bertemu dia lagi sejak kemarin," keluhku. Satu-satunya temanku selain Bara ya cuma Zian. 

"Oh, ya, sebentar," kata Bunda Evie lalu menoleh pada Pak El.

"Bisa tolong panggilkan Zian, Pak?" pinta Bunda Evie.

Pak El mengangguk lalu segera keluar dari ruangan. 

"Dia masih marah ya sama aku, Bunda?" Aku khawatir nanti Zian malah seperti Cindy atau Lea, lebih parah mungkin dia sudah tidak mau bicara denganku lagi. 

"Kata siapa? Dia malah bingung, katanya takut nanti Amara yang nggak mau berteman sama dia lagi!" 

Heh? Kok gitu?

Aku masih ingin bertanya, tapi lalu pintu terbuka dan Pak El muncul bersama seorang anak laki-laki di belakangnya. 

Siapa dia? Anak baru?

"Ayo masuk," ajak Bunda Evie melambai. 

Aku menoleh. Tapi justru bukan Pak El yang masuk tapi anak itu. Dia menunduk dalam, melangkah ragu-ragu mendekat kepada kami. Aku memperhatikannya tapi dia tak mau mengangkat wajahnya. 

Bunda Evie merangkulnya, tersenyum padaku.

"Ayo, Zian, katanya mau minta maaf sama Amara!" ucap Bunda Evie. 

Eh? Apa? Loh, kok ....

"Zi-Zian? Dia?" Zian bukannya anak perempuan?

Anak itu perlahan mengangkat kepalanya, dan aku pun terkejut. 

Dia memang Zian!

"Lho? Kamu?" 

"Hai, Amara!" Suara itu! Itu memang suara Zian! Terdengar malu-malu.

Zian anak yang selalu menunduk dengan rambut berponi yang panjang. Hingga aku mengira dia itu anak perempuan. Badannya juga kurus 'kan! Akan tetapi, sekarang dia terlihat jelas dengan rambut dipangkas rapi seperti layaknya anak laki-laki. Dia juga tersenyum dan lebih ceria.

"Maaf ya, kemarin aku langsung pergi! Aku kaget soalnya!" ujarnya pelan.

"Hah? Kenapa kaget?" tanyaku heran.

Zian menggigit bibirnya dengan ragu-ragu, "Kamu malah bilang aku cantik, jadinya ..." Zian tidak meneruskan kalimatnya.

Jadi dia kaget karena melihat wajahnya sendiri terlihat cantik, begitu? Heh!

Tawaku meledak tanpa bisa kutahan. Sampai perutku kejang rasanya. Astaga! Aku mengatakannya cantik.

"Amara!" tegur Bunda Evie. Zian cemberut dengan pipi dan hidung memerah. 

Pak El pun tersenyum lebar, tampak bahunya sedikit bergerak. Aku yakin dia menahan tawa juga. 

"Bunda ...." rajuk Zian. 

"Amara, sudah!" kata Bunda Evie seraya merangkul Zian. 

Aku terkekeh. "Maaf, habisnya kamu lucu!" ujarku. Memang benar kok! Zian terlihat lucu dan imut sekarang.

"Kalau begitu kalian sudah baikan, ya! Ayo salaman!" kata Bunda mendorong Zian untuk maju, beliau juga memberi isyarat padaku.

Zian maju ke hadapanku, mengulurkan tangannya.

"Maaf ya, Amara! Aku kemarin ninggalin kamu!" ucapnya takut-takut.

Aku menerima tangannya, kami pun bersalaman agak lama.

"Harusnya 'kan aku yang minta maaf, Zian!" Aku tersenyum lebar padanya. "Karena sudah memotong poni kamu tanpa meminta izin dulu!" tambahku, tapi aku masih ingin tertawa. Aku tidak tahan!

"Bunda, Amara!" rajuk Zian. Aku malah semakin terbahak meski kutahan. 

Bunda Evi menggelengkan kepalanya.

"Sudah, sudah! Amara nggak boleh gitu, Nak!" tegurnya. 

Aku mengangguk, "Iya, iya, maaf!" kekehku. 

Bunda Evie pun tersenyum seraya merangkul kami berdua.

"Nah, mulai besok, kalian sekolah sama-sama, ya! Jadi anak baik!" pungkas Bunda Evie. 

Aku dan Zian saling pandang lalu tersenyum.

"Iya, Bunda!" teriak kami dengan semangat.

Kami keluar dari ruangan Bunda Evie, senang rasanya kami telah berbaikan.

"Aku senang akan bersekolah bersama dengan kamu," ucap Zian.

"Aku juga. Apa kita akan dapat guru yang galak?" tanyaku. Zian mengangkat kedua bahunya.

"Entah. Apa kamu berharap seperti itu?" tanya Zian.

"Tentu saja tidak! Aku kan cuma tanya," jawabku.

...***...

Rasanya seperti waktu Ayah akan mengajakku pergi ke pasar malam, semalam pun aku tidak bisa tidur membayangkan esok hari. Hari ini, aku akan pergi ke sekolah untuk yang pertama kali.

Huft. Aku deg-degan!

Pagi-pagi sekali sebelum matahari keluar, aku bangun dan bergegas mandi, sebelum kamar mandi penuh dan mengantri. Itu yang diwanti-wanti oleh Kak Ani saat kami makan semalam, katanya kalau aku nggak mau berebut, harus bangun lebih pagi sebelum yang lainnya bangun.

Lorong kamar kami bahkan masih sepi saat aku keluar dari dalam kamar. Pintu-pintu itu masih tertutup. Pelan kututup pintu kamarku, lalu berjalan mengendap-endap dengan ujung telapak kaki supaya tidak terdengar suara. 

Tanpa sadar aku mendesis, udara pagi gelap begini memang masih terasa menusuk tulang. Sehingga aku membelitkan handuk di sekeliling leherku demi mengurangi dingin.

Sampai di bawah bahkan masih sangat sepi. Dari jendela ruang makan, bisa kulihat diluar sana masih gelap. Namun, di dapur sudah terdengar kesibukan. Tampaknya kakak-kakak panti dan Bunda Evie sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk kami semua. 

"Wah, Amara! Pagi gelap begini sudah bangun!" seru Kak Tania riang sambil sibuk dengan wajan dan spatula-nya. 

Yang lain jadi menoleh dan tertawa juga padaku. 

"Iya, Kak! Selamat pagi semuanya!" sahutku berseru dengan penuh semangat. Mereka menyahut bersamaan, lalu tertawa. Membuat suasana dapur menjadi lebih ramai dan riang.

"Duh, yang mau sekolah. Semangat sekali!" ucap yang lainnya.

"Iya, dong. Harus semangat!" sahutku keras.

"Mau mandi, ya? Masih dingin, lho!" kata Kak Ani datang mendekat.

Aku mengangguk, "Nggak apa-apa, kata Ayah mandi pagi memang dingin, tapi menyehatkan!" 

Kak Ani terdiam sebentar lalu kembali tersenyum seraya mengusap kepalaku.

"Ya sudah, hati-hati mandinya jangan meleng, ya!" ucapnya. Aku mengangguk sambil memberikan senyum lebarku. Lalu berbalik berjalan menuju kamar mandi.

Bukannya aku tidak sedih jika mengingat Ayah, tapi mau apa lagi sekarang? Menangis pun belum tentu Ayah akan kembali. Ini sudah tiga minggu berlalu dan aku masih belum tahu apakah aku akan dijemput atau tidak, yang aku tahu jelas aku sengaja ditinggalkan di sini!

Aku membuka pakaianku, udara pagi ini membuatku memeluk tubuhku sendiri. Rasanya enggan untuk mandi, tapi ... demi sekolah!

Air keran bak air es saat menyentuh kulitku, aku sampai menggigil dan gigiku gemeretuk kedinginan. Aku paksakan untuk menyelesaikannya, jangan sampai hanya melamun dan membuat semakin dingin di dalam sini.

"Aaakhh! Dingin!" teriakku saat air itu aku basuhkan ke rambutku. Aku menyesal, seharusnya tidak usah keramas saja! Cepat aku menyelesaikan acara mandiku.

"Dingin, ya?" tanya Kak Ani saat aku melintasi dapur. Aku memeluk tubuhku dan menggigil, ini seperti mandi dengan air es yang banyak es batunya. Orang-orang di dapur tertawa melihatku gemetaran.

"Ayo. Bunda bantu," ucap Bunda Evie melambaikan tangannya dan mengajakku segera ke kamar. Dia membantuku berpakaian. Tak lupa membubuhkan kayu putih di belakang punggungku.

"Nah, ini rompinya dipakai di luar, harus rapi, ya!" kata Bunda Evie tersenyum setelah memakaikan rompi tersebut di luar seragamku.

Aku mengangguk. Selanjutnya Bunda merapikan rambutku, sambil terus berbicara memberi arahan ini dan itu. 

Ayah ....

Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah.

Ayah tahu nggak?

Apa Ayah tidak mau mengantarkan aku?

Alicia juga diantar ayah dan ibunya waktu pertama sekolah, mereka naik mobil bagus.

Tapi aku nggak minta diantar mobil bagus, cukup Ayah saja!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!