9. Aku Rindu Ayah

Kamar mandinya sederhana saja, dengan ember yang langsung diisi air dari keran setiap mandi, dan ada WC juga. Aku melihat ke atas, tidak ada shower seperti yang ada di kamar mandi di rumah kami.

Ah, aku rindu mandi di bawah kucuran air.

"Kenapa nggak pakai bak saja?" tanyaku heran, bukankah kalau pakai bak air bisa lebih gampang.

Kak Tania tertawa, "Apa kamar mandimu seperti itu?" tanyanya.

"Iya, kami ada shower darurat, tapi ada bak mandi juga dan Ayah selalu mengurasnya seminggu sekali," jawabku jujur.

"Shower darurat?" Kak Tania bertanya seraya mengerutkan keningnya.

"Aku minta sama Ayah, tapi Ayah tidak punya uang jadi kami membuatnya dari barang bekas yang ada di gudang," terangku.

"Oohh. Lalu bak mandi? Kenapa ayahmu harus mengurasnya?" tanya Kak Tania.

"Kata Ayah, bak mandi harus dikuras agar tidak ada telur nyamuk yang bersarang," jawabku lagi. 

Kak Tania tersenyum lebar, "Kamu bayangkan saja disini ada beberapa kamar mandi!" ujarnya terkekeh.

Aku berpikir, iya juga. Pastinya, banyak sekali pekerjaan di sini jika kamar mandi ada baknya.

"Baiklah, Kakak tinggal saja kalau kamu bisa mandi sendiri," kata Kak Tania sambil memutar keran air dan mengisi ember yang ada di bawahnya.

Aku hanya mengangguk. Kak Tania pun keluar dan menutup pintu kamar mandi.

"Kunci saja dari dalam, Ra!" seru Kak Tania dari luar. 

Ada grendel, aku pun menggesernya sampai pintu pun terkunci.

"Amara? Bisa 'kan? Nggak susah?" tanya Kak Tania lagi.

"Sudah!" sahutku. 

"Baiklah, nanti Kakak beritahu Ani kamu ada di dalam!" 

"Iya!" 

Hening kemudian. 

Aku berbalik menatap ember yang mulai terisi penuh dan hampir tumpah. Kuletakkan ember kecilku, lalu kumatikan kran air terlebih dahulu sebelum membuka pakaianku dan mulai mandi. 

Selesai mandi kupakai handuk yang ternyata berbentuk kimono itu. 

Hmm ... ingatkan aku lain kali harus membawa pakaian ganti! Rasanya aneh saat berpikir memakai handuk kimono dan berjalan di luar ruangan, apalagi jika nanti ada yang melihatku hanya memakai handuk saja.

Kubereskan pakaian kotorku ke dalam ember kecil bersama dengan sabun dan sampo. Segar sekali rasanya, sejak datang kesini aku ingat sepertinya belum mandi. 

Ketika kubuka pintu, Kak Ani tidak ada menungguku. Mungkin dia sedang mengurus Letta terlebih dahulu selagi aku mandi. Aku pun keluar dan berjalan perlahan untuk kembali ke kamarku. 

Saat melewati anak laki-laki yang tengah bermain bola, tiba-tiba saja bola itu meluncur ke arahku dan langsung mengenai kepalaku sampai aku terhuyung dan jatuh di lantai. Ember sabun jatuh dan terbalik.

"Amara!" Kak Ani tergopoh-gopoh menghampiriku dengan wajah cemas.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya memeriksa kepalaku. 

Pusing.

"Arik nggak boleh gitu!" seru Kak Ani pada anak itu. 

Dia memang sengaja sepertinya menendang bola ke arahku. Lihat saja matanya yang melihatku dengan muka datar seperti itu. Bibirnya terangkat sebelah dengan sinis. Tak ada kata maaf yang terucap darinya.

Aku tidak suka dengan dia!

"Ayo, sebaiknya kita pergi saja!" ajak Kak Ani seraya membantuku untuk berdiri. Sebentar dia membereskan ember dan pakaianku yang berserakan. 

Anak-anak lain ikut memperhatikanku, mereka saling berbisik dan melirik ke arah anak yang bernama Arik itu. Sepertinya dia juga nggak disukai sama anak lain disini. 

Kami sampai di kamarku, Kak Ani membantuku mengambil pakaian dari dalam lemari.

"Ini pakaian siapa?" tanyaku melihat kaos bergambar bunga dan celana pendek., yang pasti itu bukan pakaianku.

Kak Ani tersenyum. "Kami disini suka mendapatkan bantuan pakaian dari donatur," tuturnya sambil memakaikan kaos itu padaku, "tapi semuanya bersih kok, jangan khawatir!" 

Aku menunduk, menatap baju asing ini. "Bukan begitu, hanya saja ...." 

Kak Ani mengelus rambutku. 

"Kita hidup bersama disini, Amara, berbagi apapun termasuk pakaian. Jadi, jangan heran kalau kamu tidak akan menemukan baju yang sama setiap hari," ucapnya tertawa kecil. 

Astaga!

Miris.

Setelah membantu menyisir rambut panjangku dan mengepangnya, Kak Ani pun keluar. Dia mengajakku untuk sarapan tapi aku malas. 

Akhirnya aku kembali sendirian di dalam kamar.

Aku naik ke meja dan duduk memeluk lutut, melihat ke arah anak-anak di bawah sana yang sedang bermain dengan riangnya. Suaranya teriakan mereka terdengar dengan jelas di telinga.

"Ayah, apa aku menjadi anak panti sekarang?" Tenggorokanku sakit, sehingga hanya suara kecil yang terdengar.

Ayah benar-benar meninggalkanku disini? 

Apa aku nakal?

Apa aku membuat kesalahan? Sampai ... Ayah membuangku disini?

...***...

"Amara! Amara!"

Kubuka mata dengan malas, waktu kulihat ke jendela Bara sedang duduk di atas meja, dengan kaki menjuntai berayun-ayun riang. Senyumnya mengembang ceria. Dia duduk membelakangi jendela, aku bisa melihat rambutnya yang agak coklat itu diterpa sinar dari belakang. 

"Ini jam berapa, Bara?" tanyaku sambil bangun dan menguap lebar. Nyenyak sekali tidurku malam tadi sampai aku tidak mendengar suara kokok ayam ....

Ah, aku lupa. Ini bukan di rumah, tak ada ayam Pak Eko di sini.

"Tidak tahu! Aku tidak punya jam!" jawabnya mengangkat bahu.

Aku mengucek mataku, "Walaupun punya, apa kamu bisa membaca angka jam?" cibirku ragu.

Bara terkekeh, "Tentu! Aku tahu waktu, kok!" ujarnya. 

Kumajukan bibirku mendengarnya. Tidak percaya. 

"Beneran, lho! Aku nggak bohong!" katanya dengan mata membulat penuh keyakinan.

"Coba sekarang, jam berapa?" Aku menunjuk ke luar jendela. Di kejauhan sana ada jam raksasa, aku tidak tahu itu dimana, yang jelas aku bisa melihat bentuknya yang meruncing ke atas. Sayangnya, aku tak bisa tahu angka berapa karena bentuknya hanya berupa garis-garis saja.

Sepertinya jam itu sama saja dengan jam yang biasa kulihat.

Bara ikut menatap ke kejauhan sana. Mata coklatnya itu memicing.

"Oh, itu," ucapnya lalu terdiam sebentar, "itu tandanya kamu ada di penghujung hari dan ayahmu sebentar lagi pulang!"

Ayah ....

Pulang ....

"Amara! Bangun! Amara!"

Aku terkesiap bangun saat merasakan seseorang mengguncang bahuku. Saat kubuka mata kulihat Kak Ani tengah menatapku dengan khawatir.

"Kak Ani?" 

"Kamu kok susah sekali dibangunin! Kakak khawatir!" katanya dengan mata berair. Eh, kenapa dengannya?

"Tadi aku mimpi, Ayah sebentar lagi pulang---" Aku teringat sesuatu.

"Ayah!" Aku melompat, tapi lalu tersandung selimut, hingga akhirnya aku pun jatuh di lantai. Bekas luka yang kemarin terbuka lagi membuat darah keluar dari sana.

"Aww!"

Sakit! Lututku sakit! 

Dan Ayah tidak ada di sini!

Kak Ani memelukku, "Sudah, itu karena kamu belum makan!" ucapnya dengan suara tercekat.

Ya, mungkin karena aku belum makan, jadi aku lemas begini.

"Aku mau makan, Kak!" Perutku juga keroncongan, aku harus makan agar aku punya tenaga kalau ayah datang menjemput nanti.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!