Kak Ani mengangguk sambil tersenyum, matanya berair.
"Iya, ayo kita makan! Kakak punya sosis goreng dan sayur bayam, mau 'kan?" ucapnya.
Aku mengangguk dengan semangat. Membayangkan makanan itu tak urung membuat cacing di perutku ikut girang mendengarnya. Sosis, yang aku ingat hanya pernah beberapa kali makan sosis, itu pun aku lupa kapan terakhir kalinya.
"Oke, Kakak ambil dulu obat, kakimu berdarah," ucap Kak Ani, lalu pergi ke arah lain dan kembali dengan membawa kotak putih di tangannya.
"Tahan sebentar," kata Kak Ani. Aku hanya diam menurut saja. Sebuah plester dia tempelkan di lututku. Gambarnya lucu sekali, seperti yang pernah aku lihat di tv milik kak Marlin jika aku sedang belajar waktu itu
Setelah menutup pintu ku ikuti Kak Ani ke lantai bawah. Kami menuju ruang makan, di sana ada beberapa meja besar dengan berbagai bentuk persegi panjang, bulat, persegi dan itu di sana ada yang berbentuk segi enam. Dengan nasi dan lauk pauk sudah tersaji di atasnya. Anak-anak tampak riang duduk di meja mereka bersama yang lainnya. Anak kecil yang belum bisa makan sendiri didampingi kakak panti yang lebih besar.
Kak Ani mengajakku duduk bersama anak lainnya di meja bulat. Ada 4 orang anak, dan 3 kursi lagi masih kosong. Kutatap anak itu satu persatu, dan berhenti pada satu anak laki-laki.
Dia yang melempar bola padaku tadi pagi!
"Dea sama Yuna kemana?" tanya Kak Ani saat melihat dua kursi yang kosong.
"Mereka masih di kamar, Kak!" jawab anak yang duduk di sebelahku. Matanya yang bulat jernih berbinar saat menoleh padaku.
"Baiklah, Kakak ajak mereka dulu!" kata Kak Ani, "Amara makan sama yang lain, ya!" katanya padaku. Aku mengangguk.
Sepeninggal Kak Ani cara pandang anak-anak itu seketika berubah, mereka menatapku dengan pandangan tidak suka.
"Enak ya, anak baru dimanja sama Kak Ani!" komentar salah satu anak perempuan berambut kuncir kuda, dia bersedekap tangan dengan angkuh. Perawakannya lebih besar dariku, sepertinya juga usianya di atasku.
"Nggak apa-apa, Cindy! 'Kan baru datang!" kata Lea, anak perempuan yang duduk di sebelahku. Ia tersenyum padaku.
"Tapi nanti jadi kebiasaan!" sahut Arik, dari seberangku. Dia menatapku dengan sinis.
Huh, aku benar tidak suka dengan dia!
Satu anak lagi tampak diam tak banyak bicara, wajahnya tertutup poni yang memanjang sampai menutupi mata. Lea meliriknya dengan sinis.
"Zian! Kamu ambilkan kami minum, ayo!" perintah Cindy keras.
Anak bernama Zian itu menurut, ia turun dari kursinya dan melangkah pergi. Badannya kurus kecil dan kulihat wajahnya juga pucat.
Aku berpaling pada Cindy. "Kalian kok nyuruh seenaknya, sih!" protesku tak suka, enak sekali mereka ini, padahal air minum ada tidak jauh dari mereka.
Cindy mengangkat alisnya, "Kamu mau aku suruh juga? Anak baru memang harus nurut sama yang sudah lama disini, jangan banyak komentar kalau mau aman!" ujarnya dengan suara meninggi. Kesal.
Lea menyentuh bahuku, "Sudahlah, biarkan saja!" katanya dengan senyum manisnya. Lea memang terlihat baik, tapi kenapa aku tidak menyukainya?
Kulepaskan tangannya dari bahuku, dan itu membuat wajahnya seketika berubah.
Zian datang dengan membawa nampan berisi beberapa gelas air, wajahnya tampak tegang. Melangkah hati-hati agar tidak menumpahkan air dari gelas-gelas itu. Aku turun dan membantunya, meletakkan gelas-gelas itu di hadapan yang lain.
"Coba lihat, ada anak baru yang penurut juga rupanya!" komentar Cindy tertawa diikuti Arik. Lea juga ikut tersenyum.
Ih, dasar!
Sebaliknya, Zian malah terlihat takut ketika aku membantunya. Matanya menatapku memelas dari balik juntaian poni seakan mengatakan jika aku harusnya duduk saja.
"Nggak apa-apa, biar aku kerjakan sendiri!" tolaknya. Suaranya terdengar lemah dan hampir berbisik. Sedikit memaksa ia menarik nampan dari tanganku sampai terlepas, lalu melanjutkan pekerjaanya.
Aku tidak suka ini semua. Kata Ayah, kita nggak boleh sombong sama yang lain. Harus saling membantu.
Aku tidak mau makan.
"Amara, mau kemana?" Kuurungkan langkah ketika Kak Ani datang. Dia datang bersama dua anak lainnya.
"Ayo kita makan bersama!" katanya.
Kak Ani sudah baik padaku, jadi aku tidak boleh membantah, takut jika dia akan sedih. Maka akhirnya aku pun kembali duduk di kursiku.
Bunda Evie memimpin do'a dan kami pun makan dengan tenang. Terdengar celoteh riang anak lain dan kadang tangis anak kecil yang menolak untuk makan, tapi suasana masih teratur dan acara makan pun selesai.
Melihat anak lain, mereka membawa piring bekas makan masing-masing ke wastafel dan mencucinya sendiri. Aku pun melakukannya. Ketika kulirik ke arah depan sana, Bunda Evie tersenyum senang padaku.
Selesai makan lalu apa?
Ada yang lanjut bermain, membaca buku atau membantu kakak panti membereskan piring bersih kembali ke dalam rak piring.
Aku?
Aku ingin sendiri saja. Kulangkahkan kaki menuju kursi besi di taman belakang. Duduk dan hanya memperhatikan mereka yang sedang asik bermain bola. Beberapa yang lain berlarian dan saling berkejaran.
Kulihat langit mulai membias warna jingga keemasan. Biasanya Ayah pulang kerja jam segini dan aku berlari dari atas bukit menyambutnya.
Sekarang, apa Ayah masih kerja?
Siapa yang akan membantu membawakan barang-barang Ayah kalau aku tidak ada? Siapa yang akan membantu menyiapkan makan malamnya? Siapa yang akan---.
"Amaraa!"
Aku menoleh dan melihat Bara tersenyum di balik pohon, tersembunyi dari pandangan anak lain karena pohonnya cukup besar menyembunyikan tubuh kecilnya.
"Hai!" balasku, agak malas.
Bara duduk di akar pohon menghadapku.
"Sepertinya kamu sedang kesal?" ujarnya cemberut.
Aku menghela nafas panjang. "Maaf, ada anak yang tidak menyukaiku disini," keluhku pelan.
Bara diam menatapku.
"Padahal aku ingin mengabarkan sesuatu," ucapnya tak kalah pelan.
Aku menoleh padanya. "Apa itu?" tanyaku tanpa minat.
Bara membasahi bibirnya sebentar, lalu menatapku lekat.
"Ayahmu sedang sakit!"
"Hah? Apa?" ulangku tak percaya.
"Ayahmu sakit," ucapnya lagi.
...***...
Aku menunggu. Malam memang telah larut, meski kantuk kini telah merajai mataku, tapi aku tetap berusaha untuk tidak tertidur. Malam ini juga aku akan kembali, meski aku tidak tahu jalan pulang, tapi siapa yang akan tahu jika tidak mencobanya?
Tepat saat suara jam dinding besar terdengar berdenting beberapa kali, aku keluar dari dalam kamar. Berjalan mengendap-endap dengan perlahan sekali. Bahkan, untuk menutup pintu saja aku sampai menahan napasku sendiri.
Sengaja sandal aku bawa di tangan, jangan sampai suaranya bisa membuat bangun seseorang.
Aku berlari menyusuri trotoar setelah berhasil keluar dari panti asuhan itu, sesekali kakiku terantuk entah pada apa, karena jalannya terlihat remang-remang di bawah lampu merkuri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments