17. Hari Pertama Sekolah

Aku dan Zian diantar oleh Kak Ani berangkat sekolah dan ternyata memang benar apa yang dikatakan Kak Tania, jika jarak sekolah dengan panti tidak terlalu jauh. Untuk pertama kali mungkin terasa lama dan cukup melelahkan karena jalannya sedikit menanjak, tapi karena aku bersama Zian, semua itu tidak terasa lama. Kami banyak bercanda sepanjang jalan. Aku juga senang Zian benar-benar berubah, dia terlihat lebih ceria dan lebih berani menyapa orang-orang.

Karena ini pertama kali, Kak Ani ikut masuk dan memberitahukan soal kami berdua kepada kepala sekolah. Selagi dia bicara di dalam ruangan, aku dan Zian menunggu di luar.

Kami hanya diam memperhatikan lalu lalang para murid. Banyak yang sebaya dengan kami ada juga yang sudah besar. Ketika suara bel berdering mereka berlarian masuk ke kelas masing-masing. Ada yang saling tertawa ada juga yang malah saling mendorong. Anak yang lebih besar menabrak anak yang lebih kecil, tapi sepertinya disini tidak boleh menangis. Karena tidak akan ada yang membantu seperti di panti.

"Apa kamu takut, Amara?" tanya Zian.

"Takut kenapa?" jawabku tanpa menoleh.

"Kita nggak tahu mereka, mereka nggak bakal jahat sama kita 'kan?"

Aku menoleh pada Zian. Dia terlihat khawatir.

Mungkin karena selama ini dia selalu diganggu oleh Cindy dan Lea jadi sedikit takut untuk bertemu dengan orang baru.

"Nggak apa-apa 'kan ada aku! Nanti kalau ada yang jahat kamu panggil aku aja!" ujarku sambil menepuk dada cukup keras.

Zian menoleh menatapku, lalu dia tertawa. "Nggak boleh gitu! Kamu 'kan anak perempuan!" tukasnya.

"Lho kenapa?" tanyaku heran.

"Ya aku 'kan anak laki-laki, masa aku mengadu sama kamu!" kata Zian ketus. Aku terkekeh mendengarnya.

"Ya kalau seperti itu, kamu harus berani, dong! Harus lebih galak kalau misalnya ada yang jahat!" 

Zian tertawa lalu mengangguk setuju.

Kami masih menunggu, sedikit bosan karena di luar sudah sepi. Kami hanya tinggal berdua, sedangkan semua anak sudah masuk ke dalam kelas.

"Heh! Ada apa ini?" Kak Ani keluar dari ruangan. Kami menoleh sambil tertawa. "Nggak boleh nakal ya, hayo!" kata Kak Ani mengacungkan telunjuknya. 

Kami tertawa bersamaan, "Nggak dong, Kak! Kami hanya bicara kalau nanti ada yang jahat, Zian harus lebih galak karena dia anak laki-laki!" kilahku.

Kak Ani tertawa. "Iya boleh, tapi jangan galak-galak ya! Yang ada nanti kamu malah dijauhi, lho!"  Kak Ani menjawil hidung Zian.

Kak Ani lalu duduk diantara kami. "Kalian harus baik sama orang, kalau misalnya ada yang ganggu tinggalkan saja, nggak boleh melawan! Kalau mereka jahat, kalian mengadu saja sama guru, oke?" 

Aku dan Zian saling pandang lalu mengangguk, sambil menahan senyum. Entahlah, jika dia menyebalkan seperti Arik, aku akan memukulnya saja.

"Ya sudah, Kakak mau balik ke panti, kalian baik-baik ya! Nanti ada guru yang akan mengantar kalian ke kelas," kata Kak Ani.

"Ingat, jangan nakal, belajar dengan baik!" kata Kak Ani lagi.

"Iya, Kak Ani!" jawabku dan Zian bersamaan.

Kak Ani pun tersenyum bangga lalu mengusap kepala kami, sebelum kemudian pergi dari tempat itu.

Sepeninggal Kak Ani, pintu di sebelah kami terbuka, ada seorang wanita gemuk keluar. Sepertinya seorang guru. Aku ingin menyapa, tapi batal karena aku lihat wajahnya sangat galak dan sama sekali tidak tersenyum. Matanya menatap tajam di balik kacamatanya yang bulat.

"Ayo, kalian ikut aku!" ucapnya kaku. 

Aku dan Zian pun berjalan mengikutinya dari belakang, kami saling bersikutan dan berjalan sedikit pelan. berlindung di belakang punggung yang lainnya bila mana wanita ini berbalik. Takut.

Sepanjang koridor kami melihat-lihat sekeliling. Jendela-jendela kelas tampak bersih dan bening. Pintunya tertutup semua. Mungkin karena pelajaran sudah mau dimulai. 

Zian mencolekku, aku menoleh padanya dan dia menunjuk ke arah patung tengkorak yang ada di pojok sana sambil menahan tawa. Kami pun hanya bisa terkikik pelan.

Tiba-tiba ...

Bruk! Bruk!

"Aduh!" 

Aku menabrak punggung Zian. Dia menyikut lenganku. Kami sama-sama menabrak sesuatu, dan saat mendongak kami kaget karena guru tadi tiba-tiba berhenti dan kini sedang menatap tidak suka pada kami berdua.

"Jaga sikap kalian!" ucapnya ketus. "Selama pelajaran tidak boleh berisik, tidak boleh tertawa, tidak boleh bercanda, harus duduk diam dan tegak di kursi masing-masing!" ucapnya dengan kedua tangan yang ada di belakang tubuhnya.

"Harus mengikuti pelajaran dengan baik sampai selesai, dengarkan apa kata guru dan tidak boleh makan dan minum di dalam kelas!"

"Paham?" Aku mengerjap merasakan percikan air ke wajahku. Uh!

"Paham, Bu Guru!" jawabku dan Zian bersamaan. Aku melirik kepada Zian yang sama-sama sedang mengusap hidung yang terasa sakit akibat tabrakan tadi. 

Kami sampai di sebuah pintu kelas, ibu guru itu membukanya dan mengajak kami masuk. Kami pun mengikutinya.

Di dalam sudah ada anak-anak yang lain duduk tegak seperti yang dikatakan ibu guru tadi dengan tangan bertumpu di atas meja, bersiap untuk menerima pelajaran. Ada juga seorang guru wanita di depan kelas yang sedang menulis di papan tulis. Dia menoleh dan tersenyum ketika melihat kami.

"Nona Jenny, ini ada murid baru, mohon bantuannya untuk membimbing mereka," kata Ibu Guru tersenyum kaku.

Wanita muda yang dipanggil Nona Jenny itu pun tersenyum, lalu mengangguk.

"Tentu, Ibu Martha! Terima kasih karena sudah mengantarkan mereka," ucapnya. Suaranya sangat lembut, juga sepertinya ramah jadi aku langsung menyukainya. Eh, satu lagi. Dia juga cantik menurutku.

Ibu Martha kemudian permisi dan keluar dari kelas.

Nona Jenny mengajak kami berdiri di depan dan menghadap kepada anak-anak itu. "Ayo perkenalkan nama kalian," ucapnya tersenyum lalu duduk di kursinya.

Aku menelan ludah, melihat anak-anak itu hanya dia menatap kami membuatku gugup. Rasanya sulit untuk membuka mulutku.

"Ayo bicara saja," kata Nona Jenny lagi memberi dorongan semangat.

"H-halo, aku Amara, salam kenal!" ucapku. Aku ingin tersenyum tapi rasanya kaku, masih untung suaraku terdengar normal tidak seperti tikus yang mencicit.

Aku menoleh pada Zian, sepertinya anak itu lebih parah. Wajahnya terlihat pucat dengan keringat dingin bermunculan di keningnya. Aku ingin tertawa tapi 'kan mana boleh!

"H-hai, a-aku Zian!" ucapnya pelan, hampir tak terdengar.

Kami baru saja hendak bernafas lega karena berhasil memperkenalkan diri, tapi kemudian langsung kaget karena tiba-tiba anak-anak itu bertepuk tangan dan bersorak.

Bingung. Aku dan Zian saling berpandangan satu sama lain.

Nona Jenny tertawa. "Perkenalan yang bagus, salam kenal ya kalian!" ucapnya riang. 

Anak-anak itu juga terlihat lebih ceria menurutku. 

"Nah, ada dua bangku kosong, kalian boleh pilih salah satu, pergilah!" kata Nona Jenny menunjuk ke depan sana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!