Kutarik langkahku dan berlari keluar dari ruangan itu. Sambil menangis bahkan aku tak melihat kemana arahku. Pokoknya aku tidak ingin ada mereka. Aku ingin sendirian untuk saat ini.
Di belakang panti ada sebuah gudang kosong, anak-anak enggan ke sana karena katanya ada hantunya. Mungkin karena gelap dan tidak terurus dengan baik.
Ah, aku nggak percaya!
Lagipula entah kenapa tiba-tiba saja aku sudah ada di depan gudang itu, aku berlari sembarangan dan malah kaki ini menuntunku ke sini. Dari dekat seperti ini sepertinya tak terlalu seram. Bagiku terlihat biasa saja.
"Amara!"
Suara itu ....
"Darimana saja kamu?" tukasku kesal. Bara muncul sambil tersenyum lebar padaku.
"Aku ada kok! Cuma kamu 'kan suka ada teman, jadi aku mengalah saja!" ujarnya sambil melangkah melewatiku.
Aku mengikuti langkahnya masuk ke dalam gudang.
"Teman apanya? Mereka selalu menjahatiku!" hembusku kesal.
Bara terkekeh.
"Tapi kamu membalasnya, bukan?!' ujarnya sambil duduk di atas sofa yang sudah usang.
"Ya, tapi sekarang malah aku yang menjadi anak nakalnya!" keluhku. Aku mengikuti Bara, duduk di sampingnya setelah meniup debu tebal di sana.
Bara menggeleng, "Kamu tidak nakal, Amara! Kamu hanya membela diri!" tegasnya.
Aku memutar bola mata dengan malas.
"Katakan itu pada mereka!" dengkusku.
Bara malah tertawa mendengarnya.
Kami akhirnya diam. Hanya berbaring di atas sofa itu, menatap langit biru dari lubang atap gudang yang rusak menganga lebar. Angin berembus pelan, membuatku mengantuk.
"Nanti bangunkan aku kalau sudah sore!" pintaku sambil menguap lebar. Kudengar gumaman Bara yang mengiyakan.
Aku pun tertidur tanpa peduli ada di mana ini.
***
"Amara, kenapa kamu disini?"
Aku menoleh dan melihat sosok wanita cantik berambut panjang tersenyum padaku.
"Siapa?" tanyaku memiringkan kepala.
Wanita itu tersenyum geli dan mendekatiku. "Sayang sekali kamu tidak sempat melihatku walau hanya sedetik!" ucapnya. Suaranya halus, berhembus seperti angin.
"Nyonya siapa?" tanyaku lagi. Wajah itu terlihat tak asing, tapi aku tidak tahu siapa dia.
"Aku ibumu ...."
"Ibu?"
***
"Amara!"
Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Kubuka mataku lebar-lebar dan melihat sekeliling. Tepatnya sedang mencari sesuatu yang tadi aku lihat.
Aku masih berada di gudang itu, dan Bara duduk di sebelahku dengan mata menatap heran padaku.
"Kenapa? Kamu bermimpi?" tanyanya.
Aku menatapnya, memastikan jika tadi itu benar-benar mimpi. Akan tetapi, entah kenapa aku merinding jadinya. Kulihat langit sudah membias berwarna jingga.
"Sudah sore, aku harus kembali!' tukasku sambil beranjak berdiri. Bara juga turut berdiri dari tempat duduknya.
Kami pun berjalan keluar dari gudang. Benar saja, ini sudah petang dan matahari sebentar lagi akan tenggelam.
"Aku harus pulang," kataku. Bara mengangguk mengiyakan.
Aku penasaran selama ini dia pergi kemana, jadi kuputuskan untuk menunggunya pergi terlebih dahulu.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Kamu aja duluan, aku sebentar lagi pulang!" tukasku lagi.
Bara memicing menatapku lalu tertawa. "Aku tahu maksudmu!" gelaknya. Tampak mata itu menyipit saat tertawa.
Ini anak kenapa, sih? Dia ini hantu, ya?
"Amara!" panggil seseorang.
Aku menoleh dan melihat ada seorang anak melambai dari kejauhan.
"Bunda mencari kamu! Cepat pulang!" teriaknya dari kejauhan sana.
"Iya!" sahutku berteriak membalasnya. Aku berniat pamitan pada Bara dan menoleh padanya, tapi ....
"Bara, aku---"
Kosong. Hanya hembusan angin sore yang kurasa mengacak-acak poniku.
"Ish, anak itu! Kebiasaan! Menghilang lagi!"
***
Satu hari setelah kejadian itu aku tak melihat Zian dimanapun. Hal itu membuatku semakin bersalah dan menyesal karena sudah bertindak tanpa meminta izin terlebih dahulu soal poninya itu.
Hingga suatu pagi, Bunda Evie memanggilku ke ruangannya.
"Iya sebentar!" sahutku pada anak yang diminta memanggilku.
"Sudah biar Kakak yang selesaikan nanti, Amara!" kata Kak Tania mengambil alih piring dari tanganku.
Aku pun mengangguk dan mencuci tanganku membersihkan sisa busa sabun, lalu aku berpamitan.
Ada apa Bunda memanggilku? Rasanya aku tidak melakukan apa-apa sejak kemarin.
Kuketuk pintu perlahan sambil mengucap salam. Kudengar sahutan Bunda Evie dari dalam dan mempersilahkan aku untuk masuk.
Kubuka pintu dan Bunda Evie tersenyum sambil melambai padaku.
"Mari sini, Amara!" panggilnya.
Aku melangkah masuk dan mendekat ke mejanya.
"Ada apa, Bunda?" tanyaku sambil duduk di kursi di depan meja.
Bunda Evie tersenyum, "Kamu masuk sekolah besok, mau 'kan?" ucapnya tiba-tiba.
Mataku membulat. Eh, aku kira aku akan dimarahi karena kemarin itu.
"Sekolah?" ulangku.
Bunda Evie mengangguk, "Usia kamu sudah delapan tahun, seharusnya kamu sudah kelas dua," tuturnya, "tapi tak apa, kamu pasti bisa menyusul pelajaran yang ada pelan-pelan!"
Sekolah? Aku?
Belajar membaca, menulis, berhitung. Memakai seragam yang bagus dan berangkat setiap pagi memakai sepatu dan tas sekolah seperti Alicia?
"Apa itu benar, Bunda? Aku sekolah?" tanyaku tak percaya dan menatapnya. Ada harapan jika dia tidak membohongiku.
Bunda Evie mengangguk seraya tersenyum geli. "Iya. Mau, kan?"
Itu menyenangkan! Tentu saja aku mau!
"Tentu, aku mau!" seruku senang. Bunda Evie tertawa melihatku berdiri, melompat, dan bersorak.
Pintu ruangan terbuka, bapak sopir muncul membawa tas dan sebuah plastik hitam.
"Halo, Amara!" sapanya tersenyum ramah. "Bagaimana kabarmu? Sehat?" tanyanya.
Aku tersenyum sungkan, terakhir aku bertemu bapak sopir itu pada saat aku sakit. Aku ingat bapak itu yang ikut mengejarku sewaktu hendak lari dari panti. Ah, aku malu jadinya.
"Sehat, Pak!" jawabku canggung.
"Oh, ya, kita belum kenalan, lho!" katanya tertawa riang, lalu mengulurkan tangannya.
Aku menerima tangannya dan kami berjabatan tangan layaknya seorang teman.
"Nama saya Elroy, anak-anak panti biasa memanggil Pak El, salam kenal, ya!" katanya. Pak El mempunyai kelopak mata yang menurun di ujungnya, sehingga setiap kali ia tersenyum terlihat teduh dan hangat. Ia juga ramah sekali.
Aku mengangguk.
"Pak El membawa pesanan saya?" tanya Bunda Evie.
"Oh, ya!" jawabnya seolah terkejut. Lalu menyodorkan barang yang dibawanya tadi ke atas meja Bunda Evie.
"Semoga pas ukurannya!" ucapnya dengan senyum puas dan menoleh padaku.
Bunda Evie segera membukanya. Isinya berupa seragam sekolah dan sepasang sepatu. Juga tas tadi sepertinya untuk anak perempuan. Apa yang disampaikan oleh Bunda Evie tadi membuat hatiku memberontak, melompat riang dibuatnya.
Aku semakin gembira manakala Bunda Evie memintaku mendekat sambil mengacungkan baju seragam itu. Aku pun mendekat dengan setengah melompat saking senangnya.
"Berbalik," pinta Bunda Evie, aku berbalik membelakanginya. Bunda Evie lalu merentangkan baju itu di bahuku.
"Pas, Pak! Ukurannya benar, kok!" kata Bunda.
Pak El tersenyum lebar mendengarnya dengan wajah lega.
"Apa itu seragamku, Bunda?" tanyaku tak sabar menatap seragam tersebut.
Bunda Evie dan Pak El tertawa melihatku.
"Iya, ini buat Amara," jawab Bunda yang membuatku langsung melompat gembira dan memeluknya.
"Terimakasih, Bunda! Terimakasih Pak El juga!" seruku.
Bunda Evie terkekeh, "Iya, iya, sama-sama!" jawabnya mengusap kepalaku.
"Jadi, aku besok mulai sekolah?" tanyaku ingin meyakinkan lagi.
Bunda Evie menganggukkan, "Iya bareng sama Zian."
Eh? Zian?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments