"Gaby, rencananya 2 minggu lagi Azka mau meresmikan lamaran untukmu. Udah ada keputusan pastinya kan, Nak?" Tegur mama sebagai pembuka pagi di minggu yang cerah ini.
Aku masih terus menikmati sepotong roti yang berisikan selai coklat dan sedikit meses di dalamnya.
"Gaby, Mama kan nanya ya bisa di jawab dulu gak? Mama gak enak banget nih sama Azka dan keluarganya kalo kamu gantungin mulu."
"Duh Mah, sudah berapa kali harus aku sampaikan dan selalu berulang ulang. Aku gak bisa sama Azka, Ma." Responku di potongan roti yang terakhir ku santap.
"Mamah minta kamu untuk berpikir dengan bijak dan pikiran yang terbuka sampai di titik jawaban ya dan menerima lamarannya." Jawabnya seolah memaksaku bersedia menjadi istri pria yang kini jadi misteri dalam hidupku.
"Loh, itu namanya maksa dong!" Celetukku dengan intonasi sedikit membentak.
"Apa sih kurangnya Azka di mata kamu?" Galaknya mama melebihi galakku.
"Intinya Mama gak perlu tahu secara detail kenapa aku menolaknya berulang kali. Pada kesimpulannya, aku gak bisa menerima dia sekali pun aku dipaksa." Ujarku.
"Gimana bisa Mama menerima semua keputusanmu terlebih kamu pun tidak memberikan alasan yang logis atas penolakan ini." Jawabnya lagi.
"Coba deh kamu jelasin pelan-pelan ke Mama, ada apa sebenarnya, Nak?" Tambahnya dengan intonasi yang semakin landai.
"Aku janji akan cerita semuanya ke Mama tapi setelah ku dapatkan semua bukti yang cukup tentangnya." Jawabku yang mencoba memberikan pengertian kepada Mamaku ini.
"Ma, aku pamit dulu ya mau ketemu teman siangnya, tapi pagi ini rencana mau ke salon dulu." Aku pamit untuk sejenak merilekskan semua pikiran yang kalut dalam jiwa ini.
Namun, dari semua hal masalah yang terjadi detik ini, hal terbesar yang harus ku putuskan adalah perihal lamaran dadakan Azka, sebab ini menyangkut kedua belah pihak keluarga. Oh ya, satu lagi meski aku mengenal Azka cukup lama karena kita hampir berada di satu sekolah yang sama, tetapi sama saja aku masih tidak mengenalnya secara keseluruhan. Dia adalah teman terbaikku sehingga bagiku sudah cukup memposisikannya seperti itu, tanpa lebih atau kekurangan.
"Kamu mau kemana, Nak?" Mama teriak hingga sampai seantero ruangan.
"Mau pergi ketemu teman atau cuma sekedar muter muter mencari udara bebas bersama teman-teman di kantor, Ma." Jawabku yang menjawab asal sejumlahb pertanyaan mama.
****
"Gue udah disini. Lokasi lo dimana, By?" Ucap seseorang melalui sambungan telepon yang ku kenal ia sebagai teman baikku sejak masa orientasi dahulu.
"Gue udah di dalam, lo masuk aja dan langsung aja masuk ke Cafe Machiato. Gue dari tadi stay di sini, Nia."
Sembari menunggu kedatangan teman baikku ini, sesekali aku menyeruput segelas kopi dengan cita rasa machiato ini.
"Gaby!" Teriak seseorang dengan khas suara wanita yang melengking memecahkan lamunan setiap orang yang hadir dalam cafe pada kejadian ini.
Lantas, aku menoleh untuk mencari sumber suara yang persis memanggil namaku. Mataku tertuju pada wanita muda yang sedang mengenakan baju kuning dan celana selutut yang tampak turut melambaikan tangan dengan senyum yang menyeringai ke arahku.
Aku memanggilnya melalui gerakan tangan dengan khas senyumannya. Ia tampak mengerti dan perlahan mulai berjalan mendekatiku.
"By, lo udah dari tadi di sini?" Tanyanya sebagai pembuka pertemuan siang ini.
"Gak begitu lama sih, tadi ada yg gue lakukan juga." Jelasku pada wanita mungil ini.
"Lo ngerjain kerjaan kantor emangnya?" Tanyanya lagi yang begitu penasaran apa yang daritadi dan sedang ku lakukan sembari menunggu kedatangannya ke cafe ini.
"Hahaha gila aja gue ngerjain kerjaan kantor. Gak lah, ada hal lain yang sedang gue kerjakan Nia. Ga melulu kantor juga kali hidup gue." Celotehku sembari tersenyum.
"Hahaha kirain kan lo budak kantor banget." Jawabnya.
"Eh bentar deh By. Gue mau pesan minum dulu." Ujarnya yang langsung berdiri menuju kasir. Entah apa yang dipesannya sampai begitu lama ia berdiri berhadapan dengan kasir.
Tak lama, ia berjalan pelan menujuku lagi. Namun di tengah langkahnya, namanya di sebut oleh barista yang artinya ia harus kembali ke meja barista dan mengambil kopi pesanannya.
"Thank you Kak Kania." Ucap Mba barista yang begitu ramah dalam melayani pelanggan. Sehingga senyum tak pernah lepas dari desain wajahnya.
Kania terlihat membalasnya hanya dengan mengoleskan senyuman dari bibirnya, lalu ia kembali melangkah menuju meja yang telah ku tempati.
Ia menarik kursi dan duduk berhadapan denganku.
"Lo pesan apa By?" Tanyanya.
"Ya gak perlu lo tanya juga pasti lo udah tahu jawaban gue apa." Responku.
"Hahaha ya pasti kalo gak matcha ya caramel machiato." Celetuknya.
"Anyway, lo kenapa ngajak gue kesini? Lebai banget kalo jawaban lo kangen karena sehari hari kita di kantor dan saling tatap muka juga pas jam istirahat. Apa yang mau lo sampaikan kayaknya terlalu mendadak ya?" Tanya Kania kepadaku yang seperti menginterogasi.
"Duh Nia, gue bingung harus mulainya darimana supaya bridgingnya enak dan agar lo gak kaget." Ucapku yang masih bingung dengan penyusunan kata per katanya dalam bicara.
"Ini lo serius By? Gak lagi mau bercanda?" Tanyanya yang memastikan.
"Astaga Kania, gue serius dan gak lagi mau bercanda. Hmm gue coba mulai dari pertanyaan ini deh sekalian. Lo kenal sama Azka, Nia?" Tanyaku pelan sambil mengamati raut wajah dan ekspresi yang akan tercipta dari penyembutan pertanyaan yang aku lontarkan barusan.
Dari wajahnya ia mulai merasa tidak nyaman akan pertanyaan yang berkaitan dengan nama Azka. Sebetulnya apa yang ku lihat bisa jadi hanya penilaianku secara sepihak, namun dari raut wajah yang ku amati malam ini, aku begitu yakin ia mengetahui sesuatu dibalik nama Azka.
Ia masih berdiam diri untuk beberapa saat. Mungkin ia sedang menyiapkan jawaban pembuka agar aku yang tidak kaget atas statementnya.
"Ya gue kenal By. Emang kenapa? Lo juga tahu tentang pria itu?" Ia justru balik bertanya.
"Lo sempat ada hubungan sama pria itu Nia?" Tanyaku yang mencoba langsung masuk ke bagian inti agar mendapatkan informasi yang ku mau.
Ia terdiam. Bahkan hanya bisa menatapku beberapa detik.
Sementara aku untuk menetralisir ketegangan ini, ku coba pelan-pelan menyeruput kopi di depanku sembari masih menunggu jawaban pasti dari dirinya.
"Dia cinta pertamaku semasa SMA." Ucapnya.
Deg...
Aku bertanya-tanya dalam pikirian sendiri. Semasa SMA aku satu sekolah dengan Azka namun tidak dengan Kanua. Lantas, bagaimana bisa Azka merupakan cinta pertamanya?
"Wait Nia. Maksud lo gimana? Semasa SMA gue satu sekolah dengan Azka, tapi gue baru ketemu lo juga waktu kuliah." Responku mencoba menggali apa yang dimaksud oleh Kania siang hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments