"Najis banget ini cowok," ucapku dalam hati.
"Ya belum, lo pikir aja sendiri dah Bang, gue aja baru kerja intern," ucapku yang mencoba cair padahal dalam hati gedeg.
"Ya gak apa apa dong intern, nantikan suaminya gue, gue penuhin apa yang lo mau," ucapnya yang mengarahkan wajahnya dekat dengan wajahku.
"Duh Bang, jauh-jauh sana. Gak enak gue begini," responku yang coba menghindari wajahnya.
"Lo nanti pulang bareng gue ya, kita nongkrong dulu lah," tambahnya.
"Ya bisa, tapi gue bawa mobil sih, jadi pisah mobil," balasku.
"Jangan dong cantik, pake mobil aku aja. Nanti aku anterin lagi kamu ke parkiran mobilnya," jawabnya dengan tertawa.
"Yaudah kalo gitu gue gak jadi ikut," ucapku ketus, yang masih coba menahan emosi.
"Ehh yaudah terserah deh, yang penting kita bisa ngobrol aja," jawabnya menyerah dengan putusanku.
Setelah mendengar rayuan gombal halilintarnya, aku langsung mengalihkan topik perbincangan, agar bisa fokus ke kerjaan dulu, sebab ini kantor bukan tempat ajang gombal-gombalan, ah sebal.
"Bang, jangan lupa invite dan share file ya," ucapku dengan nada yang lebih tinggi.
"Hussstt, pelan-pelan aja atuh neng geulis," balasnya lagi dengan tersenyum dan langsung menuju meja kerjanya lagi.
"Gila hari pertama masuk aja gue udah gila banget, pagi ketemu Mas Raka dengan kejutekannya, siang ketemu kating gue dan itu Gilang, rekan intern gue yang cewe pendiam banget, sementara yang cowo sama aja kaya Gilang," ucapku menggerutu.
Tengah asik membaca file yang dibagikan oleh Gilang, notifikasi ponsel berbunyi, terlihat pesan dari Kania yang bertuliskan,
[By, Mas Raka kenapa cakep banget ya astaga] 14.05
[Nikmatin deh memandangi Masnya] 14.06
Aku hanya membalas singkat pesannya. Mungkin karena bingung harus meresponnya seperti apa. Ya Raka cakep sih, tapi jutek, dan gak pernah ada di kamus hidupku drama cowok jutek.
Setelah hampir seharian berada di kantor baru dengan berbagai pengenalan terhadap situasi kantor, akhirnya jam menunjukkan pukul 16.00 sore, artinya sudah harus berkemas untuk pulang.
“Gaby, jangan lupa ya, di Cafe Monthbucks aja dekat sini,” tegur Gilang yang menghampiriku sambil melekatkan tas ransel pada punggungnya.
“Iya Bang, lo duluan aja gak apa-apa, gue soalnya bakal lama,” balasku singkat.
“Oh lo mau dandan dulu? Ya sudah gue tungguin aja, gue gak suka nunggu sendirian sih,” jawabnya dengan senyum nakal.
“Lo mau ikut ke toilet cewek juga emangnya?”
“Kalo bisa dan boleh ya mau selama dengan lo hahaha,” balasnya pelan dan terkekeh.
“Mas, aku pulang duluan ya,” ucap Alfina, si perempuan yang amat pendiam.
“Gaby, gue pulang duluan juga ya,” tambahnya melihat ke arahku.
“Iya, hati-hati ya Alfi,” ucapku yang tanpa sengaja bersamaan dengan kalimat yang dilontarkan Gilang.
Dia menatap wajahku kaget, aku pun demikian.
“Memang pertanda jodoh ini mah,” celetuknya berbisik kepadaku.
Aku hanya diam melihat tingkah aneh kakak kelasku ini.
Setelah di rasa semua barang udah ku masukkan ke dalam tas, aku berjalan melangkah pelan beriringan dengan Gilang, dan dari arah depan tampak Raka yang berjalan juga ke arahku.
“Pulang dulu Mas,” ucapku kepada pria tinggi itu.
Dia tidak menggubris…….
“Kalo sama Raka mending gak usah sapa-sapa, dia memang gitu,” tutur Gilang.
****
Setelah sampai ke Cafe yang dituju, aku langsung memesan caramel machiato dan kentang goreng, lalu duduk di pinggir jendela yang mengarah ke jalan besar khas ibukota. Jalanan tampak padat lalu lalang kendaraan di jam sibuk pulang kantor.
“Gaby, lo tahu gak sih dulu SMP gue pernah naksir lo?” Tanyanya sembari duduk setelah memesan segelas kopi yang mungkin saja itu americano.
“Gak tahu sih Bang, karena lo gak pernah kontak gue juga,” jawabku.
“Oh gosipnya gak sampai di telinga lo?”
“Ada, tapi ya gue gak peduli karena bisa aja hanya gosip kan.”
“Wah benar-benar lo ya. Ya dulu mah karena gue masih pemalu, jadi diam-diam aja,” responnya tertawa.
“Terus sekarang?” aku spontan menanyakan ini, padahal seharusnya tak perlu ku tanyakan pertanyaan yang amat bisa menjebakku.
“Hahaha, ya tunggu saja. Gue gak mau pacaran, tapi maunya langsung melamar lo aja,” ucapnya dengan percaya diri sembari tertawa lepas.
“Hahaha gila lo. Gak mau gue, baru juga ketemu lagi.” jawabku sembari tertawa.
“Bang, di kantor ini sudah berapa lama? Dan gimana cara masuknya?” Tambahku dengan tujuan mencoba mengalihkan pertanyaan.
“Baru kok, baru juga 4 tahun, gue tes management training, jadi memang ada perkembangan karir ke depannya By.”
“Berapa orang emang yang keterima dari MT itu, Bang?” Tanyaku penasaran.
“Cuma 10 orang, termasuk gue dan Raka,” balasnya.
“Oh, Mas Raka ini ternyata masih baru juga. Lantas, kenapa ia bisa langsung jadi asisten manager dan lo belum?” Tanyaku spontan.
“Hahaha parah nih lo pertanyaannya tajam banget kaya di bangku sidang,” responnya yang tertawa dengan pertanyaanku.
“Ya karena dia masuk ke bagian orang penting di perusahaan ini, tapi ini rahasia aja ya. Makanya ketika sikapnya jutek gitu, orang-orang gak pernah mempersalahkan. Ya, selain memang dia pintar juga sih, tapi tetap saja kekuatannya besar,” jawabnya detail, namun aku masih penuh tanda tanya, apa yang dimaksud orang penting ini.
“Kalo dia orang penting, mungkin sudah menjabat sebagai komisaris kali, Bang,” celotehku dengan jawaban Gilang yang masih terus ku cerna.
“Udah, intinya lo sama Raka jangan terlalu gimana-gimana. Ngobrol seperlunya aja, dan jangan cari tahu siapa dia,” tambahnya seakan mengancam.
“Kring… Kring…. Kring….”
“Sebentar Bang,” ucapku yang langsung berdiri untuk mengangkat panggilan telepon dari nama yang bertuliskan Azka di dalam layar ponsel.
“Halo, Gaby lo dimana? Kok pesan gue gak di balas,” ucap pria yang sedang mengomel di seberang sana.
“Ya sabar, gue lagi meeting sama atasan gue dulu. Memangnya lo chat apa sih?”
“Gue mau ngajak lo makan malam di rumah gue,” responnya.
“Jam berapa?” Tanyaku.
“Jam 7 malam,” responnya.
“Ya sudah nanti gue kabarin bisa atau tidaknya,” jawabku dan langsung ku sentuh tulisan akhiri panggilan.
Aku kembali duduk di hadapan Gilang, dan ternyata kentang goreng yang ku pesan tadi telah tersedia di mejaku.
“Siapa yang telepon?” Tanya Gilang posesif.
“Teman.”
“Bukan pacar?”
“Astaga, lo kenapa deh, Bang hahaha,” ucapku tertawa melihat tingkah anehnya yang seperti anak kecil.
“Eh Mas Raka bukan sih itu, Bang?” desisku pelan sembari melihat pria tinggi dengan postur tubuh ideal masuk ke dalam pintu Cafe di ujung sana. Aku langsung spontan menundukkan kepala agar tak terlihat olehnya.
“Mana mana?”
Gilang membalikkan badan untuk mencari Raka yang ku maksud, ia melihat seantero ruangan dan menemukan pria berbaju cokelat tengah duduk sendirian di ujung sana sembari membuka laptopnya.
“Gak di ajak bareng aja?” Tanyaku kepada Gilang.
“Gak usah, kan tadi udah gue ceritain. Jangan pernah mau tahu tentang kehidupannya,” jelasnya.
Aku tak menanyakannya lagi, karena percuma Gilang tidak bisa memberikan detail penjelasan tentang latar belakang kehidupan Raka yang buat aku penasaran.
Sesekali aku melirik Raka yang masih fokus dengan laptopnya, entah apa yang sedang ia kerjakan hingga begitu fokus menit per menit.
“By, kalo gue chat personal, di balas gak?”
“Iya, kan lo mentor gue Bang.”
“Enggak, selain sebagai mentor maksudnya gue tuh.” jawabnya lagi.
“Ya coba dulu aja deh Bang hahaha,” balasku yang masih terus melihat pergerakan Raka.
Dari kejauhan, aku bisa mengamatinya saat ini ia sedang menutup laptopnya, dan menyeruput kopi yang telah ada di atas mejanya sedari tadi tanpa ia sentuh. Ia menoleh ke arahku, dan tepat mata kami bertemu.
Aku mencoba tersenyum kepadanya, namun dia tidak merespon dengan baik. Dia diam lalu menghentikan pandangannya.
“Wah ini orang benar-benar buat gue penasaran, sebenarnya dia siapa sih?” bisikku dalam hati.
“Bang, udah mau jam 7 nih, gue pulang duluan gak apa-apa?” Ucapku kepada Gilang.
“Mau gue antar gak By?” jawabnya.
“Hahaha gak perlu Bang, ngapain iring-iringan mobil.” jawabku yang langsung meninggalkannya.
Sialnya pintu masuk dan pintu keluar berada di satu pintu yang sama, sehingga aku harus melewati Raka untuk sampai keluar cafe. Aku jalan perlahan-lahan, menunduk, dan sampai di sebelahnya, dia justru
“Anda tidak sopan ya!” Ucapnya dengan nada yang sedikit tinggi.
Aku menghentikan langkahku, dan terdiam cukup lama sekedar berpikir,
“Duh gue harus ngapain ini?”
“Oh ada Mas Raka, maaf Mas saya tidak lihat. Saya izin pulang duluan ya Mas,” jawabku pelan dengan membalikkan badan ke arahnya.
“Saya perhatikan Anda dari tadi melihat ke arah saya, lantas sekarang Anda jawab tidak melihat saya? Wah luar biasa!” ketusnya.
Dari arah belakang terdengar derapan langkah yang menuju ke arahku.
“Udah lo pulang aja By,” ucap Gilang yang menyuruhku langsung pergi.
Aku gak merespon apapun, dan langsung melangkahkan kakiku keluar cafe untuk mencari mobil yang lupa ku parkir di sebelah mana.
Sementara Gilang, mungkin masih menghadapi Raka yang benar-benar di luar dugaan.
****
“Baru jadi anak magang, sikapnya sudah gak sopan. Lagian lo, kenapa justru membawanya kesini dan membelanya?” Tanya Raka kepada Gilang.
“Jangan karena lo punya kekuasaan bisa seenaknya memperlakukan orang ya Ka, dan jangan pernah menyentuh Gaby,” ucap Gilang kasar.
“Dan yang perlu lo ingat bahwa belum tentu perempuan itu punya rasa yang sama dengan lo.” ketus Raka yang sangat terdengar kasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments