"Kurang ajar!"
Aku menoleh ke sumber suara itu.
Dengan tatapan kesal sembari melempar tumpukan kertas di atas meja. Padahal jika boleh memilih, aku sangat yakin pria ini akan melemparkannya kepada Raka si judes itu.
"Udah gak usah dikerjain aja! Seenak mulutnya aja minta ini itu. Dia tahu gak sih menyusun skenario itu susah!" Tambah Gilang yang sudah menunjukkan raut mata dan wajah yang memerah.
Aku hanya diam gak merespon satu katapun.
Ia mengambil sebotol air dan menenggakkannya hingga nyaris 750 ml air langsung habis.
Perlahan aku duduk, aku tak berani berkutik atau bertanya sedikit pun karena paham ia hanya butuh didengar bukan direspon.
"Gaby...."
"Iya Bang?"
"Kok lo gak respon gue sih."
Aku bingung memberikannya respon seperti apa. Aku perlahan menarik dan menghembuskan nafas sembari berpikir kata apa yang pantas aku ucapkan sebagai penyejuk amarahnya.
"Bang, puasin dulu marahnya." Ucapku pelan sembari meliriknya secara perlahan.
Ia mengernyitkan dahinya yang sangat jelas menunjukkan raut wajah bingung.
"Maksud kamu apa?" Tanyanya.
"Gimana aku mau memberikan respon kalo kamunya ngomel terus. Jadi mendingan sekalian diluapin, tenang, dan aku akan memberikan respon terhadap keluh kesahmu barusan." Jawabku.
Ia menarik nafas.
"Kamu tuh yah." Ucapnya yang terlihat geram dengan responku.
"Udah nih gue gak marah lagi. Jadi mau bilang apa?" Tanyanya yang setelah beberapa detik mengatur nafasnya.
"Bang, menurutku nih ya lebih baik skenario kita selesaikan per progres aja." Ucapku.
"Progres gimana?"
'Iya di lihat juga gak akan berhasil nih harus buat sebanyak itu dalam waktu singkat. Mungkin saranku kita buat sebisa dan semampunya dulu aja." Aku mencoba jawab dengan tenang.
"Ya mampu sih, namun gak wajar aja diminta lembur hanya untuk memenuhi ekspektasinya." Pria ini kembali merespon dengan ketus.
"Apa yang bisa aku bantu? Biar kamu gak merasa punya beban sendiri? Lagian ya Bang, kamu punya banyak anak magang disini, manfaatkan aja Bang."
"Susah By, karena emang harus saling koordinasi dan gak bisa bekerja sendiri dengan pemikiran sendiri pula," Sanggahnya.
"Gue jadi penasaran sebetulnya siapa sih Raka sampai punya kekuatan yang sebegitunya?" Tanyaku dengan tiba-tiba.
"Jangan lo cari tahu karena gak akan ada untungnya." Celetuknya.
Justru semakin dirahasiakan akan membuatku terus mencari tahu sosok Raka ini siapa. Untungnya aku sudah tahu nama panjangnya sembari tanpa sengaja melihat profilnya.
"Eh ini serius?" Tanpa sengaja aku sedikit berteriak sehingga memecahkan keheningan di tengah sibuknya kantor.
Sementara Gilang, setelah ia puas meluapkan emosinya ia kembali mengejar skenario-skenario keinginan Raka. Lalu ketika ia mendengar teriakanku, ia menoleh kepadaku dengan bertanya,
"Kenapa By?" Tanyanya yang juga penasaran dengan apa yang ku lakukan dari meja sebelahnya ini.
"Oh enggak Bang. Ini temanku." Jawabku yang langsung menutup tab pencarian profil seseorang tersebut.
"Apa benar dia bagian dari keluarga ini?" Bisikku yang masih bertanya-tanya dengan informasi yang kudapat."
"Lo yakin? Lo gak cari tahu yang aneh-aneh kan." Ucapnya dengan nada yang begitu mencurigai perilakuku.
"Emang gue cari tahu apa sih Bang. Ini teman gue."
"Kenapa temen lo?" Tanyanya yang terdengar posesif.
"Gak penting juga untuk dibahas. Yaudah lo lanjut aja. Maaf kalo karena suara gue lo jadi terganggu hehe." Ucapku sembari menyengir dihadapannya.
Ia tak merespon dengan ucapan, namun dari geraknya ia langsung kembali mengerjakan dokumen skenario tersebut.
"Bang, sini gue bantuin biar cepat." Tambahku.
"Gak usah lo baca-baca aja." Terangnya.
****
"By lo malam ini ada kegiatan?" Tanya Azka yang menelepon secara dadakan di tengah persiapanku pulang.
"Gue belom ada agenda apapun sih ini Ka. Kenapa?" Jawabku.
Gilang yang mendengar sumber suara percakapan langsung menoleh ke arahku, dari gestur mulutnya, jelas banget ia bertanya,
"Siapa?" Namun sama sekali tidak terdengar suara.
"Teman." Ucapku dengan menirukan gestur yang sama.
"Lo mau gak makan malam dengan gue?" Tanya pria blasteran di ujung sana.
"Emang mau makan malam dimana, Ka?"
"Di rumahmu aja."
Aku berpikir dan mengingat apakah mungkin ada hal acara yang tidak ku ketahui di rumah. Setelah diam beberapa detik, aku meresponnya.
"Rasanya di rumah gue gak lagi buat acara apa-apa Ka."
"Gue yang buat acara sendiri." Jawabnya pelan.
"Ha? Acara apa? Nyokap gue gak ada bilang apapun." Responku.
"By ayo pulang." Ajak Gilang yang sudah berhadapan tepat di depan tubuhku.
"Kamu lagi sama siapa, By? Kok terdengar suara pria." Ucap lelaki blasteran yang tengah berdialog denganku melalui ponsel ini.
"Ya kalo cuma di rumah gue doang kayanya lo gak perlu tanya gue ada acara atau kagak deh." Aku sengaja mengalihkan pertanyaan Azka terkait Gilang yang memanggilku.
"Ok, see you ya."
Aku langsung mematikan panggilan setelah ia mengucapkan kata tadi.
"Are you ok By?" Tanya Gilang yang sepertinya tahu aku sedang tidak baik-baik saja.
"Not really." Jawabku singkat.
"Kenapa? Cerita aja sambil turun yuk." Ia mengajakku pulang.
"Gue ngerasa aneh nih sama Azka." Ucapku sembari berjalan menelusuri koridor kantor bersama Gilang.
"Dia ngelamar lo?" Tanya Gilang.
Secara spontan aku langsung menoleh ke arahnya, menatapnya tajam atas pertanyaannya itu.
"Ya enggak lah!" Balasku ketus.
"Terus kenapa dia aneh?" Tanyanya lagi.
"Ya gitu deh. Besok aja gue infoin kalo udah tahu apa yang dia mau lakukan malam ini." Responku.
Setelah sampai lobi kantor, kami berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.
"By, setelah dia pulang kabari gue ya."
Aku sedikit tidak nyaman dengan kalimatnya itu, seolah aku adalah miliknya, padahal tak ada status apapun di antara kami sehingga tidak pantas ia memberiku batasan apapun.
****
"Welcome home sayang!"
Baru saja menjajaki pintu masuk, aku sudah melihat banyak orang tak terduga dengan busana pesta mengelilingiku. Banyak peran yang sedang mereka lakukan, ada yang memecahkan balon, ada yang membawakan kue, ada yang membawakan kado, dan ada dia yang membawakan bucket bunga yang sangat besar.
Pria yang membawa bucket bunga berjalan perlahan dengan wajah tersenyum dan dibalut pakaian putihnya membuat siapa pun setuju kalo ku sebut ia karismatik.
"Happy birthday ya Gaby cantik." Ucap pria itu seraya tersenyum. Ia mengambil tanganku dan meletakkan bucket bunga itu untuk ku genggam.
"Kamu suka?" Tanyanya.
Aku masih terdiam. Namun, mata tak bisa bohong jika aku merasa bahagia atas ulang tahun di luar ekspektasi ini.
"Happy birthday sayang! Azka sudah punya cincin tuh cuma dia masih mau ngumpetin haha." Celetuk wanita yang baru kemarin ku temui tentu saja mama Azka.
"Gue harus respon apa ini." Bisikku dalam hati.
Mungkin senyuman adalah cara terbaik untuk memposisikan diri dan mencerna semua perkataan yang dimaksud dengan mamanya Azka terkait cincin. Ya kalo cincin kado pasti gue terima, dan gak lebih dari niat sebagai kado.
"Gimana nih jeng, kapan kita mau tentukan tanggalnya?"
Mataku melalak ke arah mama yang baru saja mengatakan itu. Bagaimana bisa ada sebutan jeng sementara mereka saja baru bertemu. Apakah sebetulnya ini adalah bagian dari skenario rencana mereka?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments