Beruntungnya kalimat itu tak bisa aku ucapkan, sebab tak ingin mendapatkan jawaban ia atau tidaknya darinya. Jika Gilang sudah tahu mungkin ia akan membantu menutupi sehingga cukup dia sajalah yang akan tahu cerita tersebut, Sementara, apabila dia belum tahu biarlah juga agar tak menganggu memori buruk tentangku dipikirannya.
“Gak kerasa udah jam 1 ya ternyata. Harusnya jam makan siang ini di extend sampai jam 2 ya biar gak keburu-buru istirahatnya.” Ucap Gilang yang mengeluh karena waktu yang terasa begitu cepat.
“Oh ya By, nanti meeting bareng Raka join aja ya.” Tambahnya lagi.
“Aku aja?” Tanyaku.
“Ya enggak, kan kamu ada bertiga tuh anak internnya siapa 2 lagi itu, ajak aja. Kania juga diajak sama Raka gak?” Jawab Gilang yang sekaligus bertanya kepada Kania.
“Mas Raka belum info sih Mas. Tapi sepertinya enggak, karena aku diminta input beberapa timeline baru untuk peninjauan oleh Mas Rakanya.” Jawab Kania.
Wajahku langsung berubah kecewa, sebab tidak ada Kania selama meeting nanti. Tapi disatu sisi aku merasa bersyukur, karena aku tak hanya sendirian karyawan yang berstatus magang di dalam ruangan meeting. Masih ada kedua rekanku lagi yang sampai saat ini tugasnya masih membaca.
“Ya sudah mari kita kembali lagi ke atas untuk mempersiapkan meeting.” Ucap Gilang yang langsung berdiri dan berjalan pelan menuju pintu masuk tadi.
“Memangnya apa yang harus disiapkan, Bang?” Tanyaku heran dengan statemennya terkait persiapan meeting.
“Ya banyak. Biasanya ruang meeting yang dipakai untuk progress itu berada di dalam ruangan Raka, jadinya gak bisa sembarang orang masuk kesana. Nah, persiapan infocus, kabel dan memastikan di jam dua tepat semua perangkat sudah terinstalasi dengan sempurna. Mentornya Kania itu tipikal orang yang on time banget. Makanya dia paling benci kalo ada yang telat.” Jawabnya dengan detail.
Aku hanya menggeleng-geleng kepala mendengarnya, sebab dari penjelasan Gilang dapat disimpulkan bahwa Raka ini merupakan pria yang kaku dengan nuansa hidup yang datar.
“Bagaimana bisa orang begitu menjalani hidup?” Tanyaku dalam hati.
Meski aku punya keinginan besar untuk bertanya, tetap saja mengingat statusku disini selalu menjadi penghalang untuk keberanianku.
Belum lagi sampai pintu lift, dari jarak kurang lebih 200 meter ini sudah terlihat Raka juga sedang menunggu di depan lift. Sengaja ku pelankan langkah kaki ini agar ia bisa masuk kloter pertama, lalu aku menyusulnya dengan kloter terakhir. Namun, sepertinya semesta berkeinginan kuat untukku berada di kloter yang sama dengannya, karena sampai dengan langkah kaki terakhir menuju pintu, ia masih berada di titik yang sama menunggu kedatangan lift yang tak kunjung sampai.
Semakin mendekat dengannya, langkahku semakin pelan hingga Kania tanpa sadar mendahuluiku dan menyapa mas mentornya itu.
“Mas…” Sapa Kania.
“Oh iya, kamu udah istirahat?” Jawabnya dengan lembut nan ramah.
“Loh kok dia ramah dengan Kania sementara denganku seperti musuh bebuyutan padahal baru juga ini aku kenal dan ketemu manusia srigala itu,” Desisku.
“Sudah Mas, aman.” Balas Kania.
“Ting…” Pintu lift terbuka yang artinya kami sebagai penumpang yang telah menunggu bersiap untuk menaiki lift tersebut.
Langkah kaki pertama yang masuk ke dalam lift tersebut adalah Raka, disusul oleh Kania, Gilang, dan ketika aku baru saja melangkahkan satu kaki masuk, pintu lift perlahan menutup.
“Eh eh eh……” Teriak Gilang yang langsung panik mencari tombol penahanan pintu tertutup.
“Makanya jangan lelet,” ucap Raka melengos.
Kania kaget dengan ucapannya, aku jauh melebihi kagetnya Kania. Entah dosa apa yang aku lakukan kepadanya sampai dia dengan tega berucap kata yang seperti itu.
Gilang spontan menarik tanganku dan memposisikan aku di sudut lift, lalu dirinya, sehingga seolah dia melindungiku dan menjauhkanku dari manusia srigala itu.
Aku diam, namun raut wajahku keliatan begitu merah padam dari pantulan kaca yang berada di depan lift. Kania melihat mataku dari kaca dan tak bisa mengeluarkan satu patah katapun.
Setelah lift mengantarkan kami ke depan pintu masuk lantai 20, Gilang masih menggenggam tanganku seolah berkata,
“Biarkan dia keluar lebih dahulu.” Namun kalimat ini tak terucap.
Perlahan, Raka keluar dari pintu lift, disusul Kania, lalu terakhir aku dan Gilang.
Kami berjalan pelan-pelan untuk memastikan aku menjaga jarak dari Raka. Sebetulnya dari wajah Gilang juga sudah terlihat kesal dengan perlakuan Raka terhadapku tapi entahlah dia tak lagi membela secara terang-terangan seperti waktu itu.
Setelah berpisah di persimpangan, barulah ia melepas genggaman tangannya.
“By, kamu gak apa-apa kan?” Ucapnya yang memastikan kondisiku.
“Aman kok Bang.”
“Jangan dimasukkan dalam hati ya, memang begitu orangnya.”
“Ya gimana bisa gak dimasukkin Bang, berulang-ulang loh dia seperti itu seolah gue punya dosa besar kepadanya padahal juga baru ini ketemu dan kenal dengannya.” Jawabku dengan raut kesal yang begitu dominan.
“Kayaknya dia gak begitu ke semua orang sih, dan sepertinya cuma ke gue doang.” Tambahku yang meyakinkan diri bahwa apa yang ku amati dan ku katakan adalah suatu kebenaran.
“Maksudnya?” Tanya Gilang yang terlihat bingung.
“Iya, responnya dengan Kania begitu ramah.” Jawabku ketus.
“Gak, itu perasaan kamu aja.”
****
Setelah sampai di meja kerja, aku langsung saja duduk di bangkuku.
“Bang, aku bilang ya ke Alfina dan Ahmad terkait rencana meeting kita siang ini.” Ujarku memastikan bahwa kedua temanku ini diajak juga.
“Iya tolong sampaikan saja By.”
Setelah berhasil mendapatkan persetujuan Gilang, aku mendekatkan kursi dengan roda ini berjalan menuju meja Ahmad dan meminta Alfina untuk mendekat.
“Fiii, bisa kesini dulu gak?” Tegurku kepada perempuan pendiam itu yang masih sibuk dengan catatan dan buku-buku entah apa yang terlihat berantakan di mejanya.
Ia mengangguk dan mendorong kursinya mendekat kepadaku dan Ahmad.
“Kenapa By?” Ucap Ahmad.
“Tadi, Bang Gilang minta tolong gue sampein ke kalian kalo jam 2 ini kita ada meeting offline dengan divisi sebelah.” Jelasku.
“Kok dadakan? Gue harus nyiapin apa dong?” Jawab Alfina yang terlihat panik.
Dari model dan kebiasaannya, jelas terlihat Alfina merupakan wanita yang pintar dan sangat rapi serta menonjolkan zero mistake dari setiap perilakunya sehingga penting baginya sebuah kesempurnaan.
“Kita gak harus nyiapin apa-apa sih, paling nanti kalo lo mau buat MoM aja.” Jawabku.
“Kalo gue buat MoM, lo dan Ahmad ngapain?” Tuturnya.
“Gue bantuin Bang Gilang show ppt sepertinya, dan Ahmad terserah deh mau ngapain,” Jawabku yang bingung juga pembagian tugasnya seperti apa karena Gilang hanya ingin kami merasakan suasana meeting kantor. Ya bagiku tergantung pada diri sendiri mau ambil inisiatif dibagian mana.
“Gue harus baca dulu materinya nih. Boleh nanya juga kan?” Tanya Alfina yang sudah jelas wanita ini sosok ambisius tanpa batas. Bahkan aku saja tak ada keinginan untuk bertanya, loh dia tiba-tiba mau berniat nanya, luar biasa!
“Kayaknya lo gak berhak nanya juga sih, lo kan statusnya intern bukan bagian dari karyawan tetap yang merubah bentuk regulasi.” Celetuk Ahmad.
Aku hampir saja tertawa mendengarnya, sebab yang Ahmad katakan sangat benar.
Mendengar jawaban Ahmad, wajah Alfina berubah menjadi sangat kesal, dan aku benar-benar menahan tawa melihatnya.
****
“Ayo bersiap sudah jam dua kurang lima belas ini.” Ajak Gilang yang sudah berdiri di depan mejaku, secara otomatis juga akan terlihat oleh Ahamd dan Alfina.
Aku membawa laptop, mouse, dan casan laptop, begitu pula temanku yang lain. Setelah dirasa semua udah siap untuk melangkah menuju ruang meeting, kami langsung bergegas menuju area kerja divisi sebelah untuk mencari ruangan Raka. Jujur, aku berharap kali ini Raka gak lagi mempermalukan aku depan orang banyak.
Sesampainya di depan ruangan Raka, Gilang mengetuk pintu, dan langsung dipersilahkan untuk masuk.
“Wah Bro, ini mah kebanyakan anak intern yang lo bawa. Harusnya satu aja.” Tegur Raka.
Kami bertiga saling bertatapan bingung.
“Lo harus pilih nih mana yang bisa lo ajak untuk meeting,” Tambahnya lagi.
“Wah gila ini orang, gak ada perasaannya sebagai manusia. Tega berbicara gitu di depan anak internnya secara langsung. Artinya Gilang harus memilih mana yang punya kapasitas terbaik dari kami bertiga, dan dua lainnya akan tahu bahwa mereka bukan terbaik. Jujur ini gak adil banget!!!!” Batinku yang bergejolak.
“Bisa gak yang itu di take out aja? Hahaha”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments