Alana mengantar ibunya ke rumah sakit jiwa. Di mana di sana telah di janjikan fasilitas yang baik untuknya.
Alana menekuk kedua lututnya demi mensejajarkan posisinya dengan sang ibu yang kini tertunduk lemah di kursi roda. Perempuan itu hanya terdiam dengan pandangan mata yang kosong. Alana merasa sedih melihatnya.
"Ibu, sekarang untuk sementara ibu tunggal di sini ya? Alana janji akan sering jenguk ibu kemari," ucap Alana dengan mata berkaca-kaca, ia merasa berat meninggalkan ibunya di sana. Meskipun kata dokter ibunya itu bisa saja membahayakan dirinya saat tidak dalam pengawasan, selama ini Alana merasa aman saja.
Alana menggenggam tangan ibunya, kemudian mengecupnya dengan sayang. "Maafin Alana ya Bu. Bukan maksud Alana tidak mau merawat ibu, tapi Alana juga ingin ibu sembuh. Alana berusaha yang terbaik untuk ibu. Doakan Alana ya Bu," ujar Alana sedih. Air matanya kembali luruh, rasanya pedih bercampur sakit.
Perempuan baya itu hanya terus terdiam. Namun, tangannya terulur menghapus air mata Alana, membuat gadis itu tersentak, tak terkecuali dengan Zain dan Silvi yang berdiri di belakangnya.
"Ibu?"
Perempuan itu terkikik, lalu berkata. "Kamu bisa menangis? Haha kamu masih hidup belum mati." Tawanya menggelegar seperti orang yang hilang kendali. Namun, detik berikutnya kembali bersedih, wajahnya kembali murung.
"Biarkan kami membawa Nyonya masuk ke dalam Nona," ujar sang perawat.
Alana mengangguk, lalu bangkit dari tempatnya. "Tolong rawat dan perlakukan ibuku dengan baik," pinta Alana.
Perawat itu mengangguk. "Baik Nona. Sesuai dengan pesan Tuan Zain, kami pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk ibu Nona."
"Terimakasih," sahut Alana.
"Sama-sama." Perawat itu membawa ibunya Alana masuk ke dalam.
Alana masih terdiam di tempat, dengan mata yang terus memandang ke arah mana ibunya pergi. Gadis itu melambaikan tangannya, seraya menghapus air matanya. Di dunia ini ia sudah tidak memiliki keluarga, selain ibunya, meski perempuan itu memiliki gangguan mental, Alana merasa sangat menyayanginya.
Silvi mendekati Alana lalu memeluknya. "Ibumu pasti akan sembuh Alana," ujarnya menenangkan.
Alana mengangguk, dan berterimakasih.
"Kalau begitu sekarang, mari kita pulang Nona. Anda harus tiba di rumah sebelum Tuan Dave kembali," ujar Zain.
Alana mengangguk, mengurai dekapan sahabatnya. Lalu menoleh ke arah Zain.
"Zain?"
"Ya Nona?" sahut Zain sigap.
Alana menoleh ke arah Silvi. "Bisakah sebelum kita pulang. Kita mengantar Silvi lebih dulu ke kontrakannya?" pinta Alana.
"Tapi Nona-"
"Alana pulanglah. Aku tidak masalah pulang sendiri, aku bisa naik taksi. Tenanglah aku masih memilik ongkos," jawab Silvi cepat karena ia merasa Zain merasa keberatan untuk mengantarnya.
Alana menggeleng, kemudian menahan pergelangan tangan sahabatnya. "Tidak Vi. Kau datang bersama kami, jadi biarkan kami yang mengantarkan pulang. Dan lagi kamu kesini juga untuk mengantarkan ibuku. Mana mungkin aku meninggalkan sahabatku pulang sendiri," tutur Alana.
"Zain??"
Ehem!!
Zain berdehem sesaat.
"Begini saja Nona. Saya dan Nona Silvi antar anda lebih dulu ke kediaman Tuan Dave. Setelahnya saya akan mengantarkan Nona Silvi," saran Zain.
Alana tersenyum setuju. "Baiklah itu lebih baik!"
Silvi terdiam di tempat. Ketika tubuh Alana beranjak dari sana pun, ia masih setia di tempat.
"Ayo!" Alana langsung menyeret Silvi. Mengiringnya masuk ke dalam mobil. Ia membukakan pintu depan untuk sahabatnya, dan dirinya duduk di kursi belakang.
"Alana?"
"Ssst!!" Alana meletakkan jari telunjuknya di bibirnya meminta Silvi untuk terdiam dan duduk dengan tenang.
Zain menghela nafasnya ketika melihat Silvi duduk di sebelahnya.
"Karena aku turun duluan. Tidak masalah kan aku duduk di belakang. Aku sengaja meminta Silvi duduk di depan, untuk menemanimu menyetir Zain, agar tidak mengantuk," kilah Alana.
Zain tersenyum canggung. "Ya. Terimakasih Nona."
Silvi merasa kesal mendengarnya, sementara Alana tersenyum penuh kemenangan di belakangnya. Ia ingin memberi kesempatan pada sahabatnya itu agar lebih dekat dengan Zain. Karena lewat matanya pun ia tau, jika Silvi menyukai Zain.
Alana menghela nafas saat mobil terus melaju meninggalkan kawasan rumah sakit. Ia melamun hingga menyadari jika mobil telah melewati kawasan perumahan elit di Jakarta. Ia ternganga menatap pagar tinggi yang terbuka, dan mobil membawanya masuk ke halaman rumah yang sangat luas.
Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah, dengan empat pilar putih penyangga teras yang tertutup atap putih. Ada lampu kristal berpendar terang yang tergantung di langit-langit teras.
"Ini rumah siapa?" tanya Alana polos.
"Rumah pribadi Tuan Dave, Nona."
"Pribadi?" ulang Alana.
Zain mengangguk. "Ya. Maksudnya saya rumah Tuan Dave pribadi, bukan rumah keluarga besarnya. Jadi di sini Tuan Dave tinggal sendiri."
Alana mengangguk paham. Ia turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh penjaga. Kedatangan Alana langsung disambut oleh pelayan.
“Selamat datang Nona,” sapa pelayan.
Zain meminta pelayan itu untuk melayani Alana dengan baik. Setelahnya lelaki itu berpamitan karena harus segera mengantarkan Silvi kembali ke rumahnya. Meski ia merasa keberatan, namun ia tetap menurut. Ia tidak mungkin membantah perintah istri dari majikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Emn Sc
Alana memberi jln ...k sahabat NY tuk berdekatan dg asisten suami kontraknya
2024-05-26
0
Ryanti
silvi semangat ayo buat zain jatuh hati padamu😄😄
2024-03-28
1
Siti Sahara
thor...silvi kan sahabat yg baik ...jodohin dgn zein dong
2024-02-17
0