Gendhis
~Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip.~
[ Sabar itu merupakan sebuah kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup. ]
~
Selamat membaca!
“Ibu...” lirih Gendhis menangis, meraung rintih dalam mengingat sosok seorang Ibu yang penuh dengan welas asih, yang selalu mendandaninya. Menyanggul rambutnya, memakaikannya jarik dan kemben.
“Romo....” lagi hanya untaian air mata, sang pengiring duka lara. Luka tak berdarah, namun mampu membuat Gendhis tertatih-tatih seperti bernanah, menjadi semakin antah-berantah.
Asap putih mengepul di atap-atap Pawon \[dapur\] yang sudah menghitam akibat pembakaran yang dihasilkan dari tungku perapian. Rumah bergaya Limasan, rumah khas masyarakat Jawa. Gendhis remaja duduk di depan tungku luweng, menerawangkan pandangannya menatap api yang di hasilkan dari pembakaran kayu.
Meskipun demikian, penggunaan minyak tanah dan kompor sudah ada di desanya. Namun, Bibi Gendhis yang bernama Jaitun ini sangat pelit meskipun peternakan sapi milik Bibi dan Paman Gendhis cukup makmur. Namun, Bibi Jaitun masih mempertahankan kayu bakar.
Melihat kepulan asap putih keabu-abuan dari luweng. Mengingatkan Gendhis pada sosok sang Ibu, saat ia di manja, di belai lembut oleh tangan Ibu Sriyandini. Dan kini kenangan manis nan indah itu hanya tinggal kenangan tragis yang masih tersimpan rapat nan jelas di memori Gendhis. Kenangan saat Gendhis mengkhayal tentang suatu pendidikan dan pernikahan yang manis.
\[Luweng merupakan tempat pembakaran. Luweng biasanya digunakan untuk memasak. Dan alat ini, masih sering dipakai oleh masyarakat di pedesaan sejak zaman dahulu. Cara membuat kerajinan tanah liat ini sangat mudah. Sebab, bentuknya seperti tungku. Namun hanya saja, bentuknya sedikit memanjang dibandingkan dengan tungku.\]
Tapi kini, hidupnya tak jauh beda dari seorang pengemis!
Saat usia Gendhis tujuh tahun, sang Ayah meninggal karena serangan jantung dan menyusul satu tahun berikutnya sang Ibu pun meninggal karena penyakit aneh di usia Gendhis yang baru genap delapan tahun.
Kini, Gendhis hanya bisa mengharap iba pada Paman dan Bibinya, mengharap ada pengayom yang rela menghidupinya. Namun, itu hanya harapan dan angan-angannya saja, ketika dunia tak seindah apa yang diharapkan. Karena Paman dan Bibiknya hanya menganggap Gendhis sebagai beban.
Kenyataannya, meskipun tinggal bersama Paman dan Bibinya, ada harga yang harus di bayar mahal untuk mendapatkan sesuap nasi.
Setidaknya, setiap hari Gendhis harus mencari rerumputan empat karung dalam sehari untuk pakan sapi-sapi milik Paman dan Bibinya, ia juga harus memberi makan bebek yang jumlahnya sampai ribuan.
Bukan hanya itu, selama sebelas tahun Gendhis harus menjadi pemerah susu sapi, bahkan ia pernah di tendang oleh sapi-sapi yang mengamuk saat Gendhis baru memegang ujung penttil dari si sapi. Hingga menyebabkan luka yang membekas di keningnya.
Luka yang menambah penderitaan untuk Gendhis, wajahnya yang dulu mungil, cantik. Kini, bagaikan tiada lagi yang bisa di pandang dari seorang gadis bernama lengkap Gendhis Apsarini Pramesti!
Di era modernisasi di awal tahun sembilan puluhan ini, Gendis bukan hanya sekedar menjadi babu kongkongan \[pembantu\] Paman dan Bibinya, lebih dari itu. Ia menjadi budak hanya untuk dua porsi nasi siang dan sore. Ya, Kendati demikian Ia sudah bekerja keras, nyatanya jatah yang di dapatkan Gendhis hanya dua porsi nasi dengan lauk ala kadarnya. Bahkan kadang, tanpa lauk!
Jika bisa di jabarkan, Gendhis yang malang, ia lelah menghadapi Paman dan Bibinya. Namun, ia tak punya saudara lainnya. Gendhis berpikir, mengapa Bibi, adik dari mendiang Ibunya harus memperlakukannya dengan cara seperti budak!
Gendhis ingin lari, ingin pergi. Atau bila perlu, ia ingin menyusul Romo \[Ayah\] dan Ibunya.
Pernah mencoba untuk kabur saat usianya menginjak empat belas tahun. Namun, Pamannya berhasil menemukannya di desa sebelah. Gendhis mendapatkan hukuman dari Bibi Jaitun, ia di gantung dengan kakinya yang di atas sedang kepalanya di bawah. Benar-benar membuatnya merasa sangat menderita, sampai muntah darah!
Setelah di telisik, silsilah suami dari Bibi Jaitun memiliki ras dari seorang Veteran Jepang. Maka dari itu, Paman yang bernama lengkap Martana asashimoto ini sangat kejam.
Namun, ada yang membuat Gendhis bersyukur dari kaburnya lima tahun lalu. Karena itulah Gendhis mengenal seorang teman bernama Guntur.
Dan Guntur juga seorang penggembala kambing akan tetapi nasib Guntur lebih beruntung. Karena Guntur menggembalakan kambing milik orangtuanya dan di perbolehkan sekolah.
Dari seorang Guntur inilah Gendhis dapat berbagi pengetahuan tentang persoalan pendidikan negeri. Karena Bibi Jaitun melarang keras, untuk Gendhis bersekolah.
Kala mengingat semua penderitaan yang tidak berkesudahan, membuat Gendhis merasa hidupnya tidak berarti apa-apa! Ia kangen Ibu dan Romo nya.
“GENDHIS!!!”
Teriakkan Bibi Jaitun membuyarkan lamunan Gendhis, wanita berusia empat puluh tahun itu, selalu berbicara dengan nada keras dan tegas. Bukan, bukan hanya tegas, tapi lebih dari itu. Bibi Jaitun memanglah galak dan sangar.
“I-iya Bi!” sahut Gendhis, lalu mengangkat wajan berisikan masakan tempe bacem dari atas luweng. Agar tidak gosok, jikalau di tinggal.
Cepat-cepat Gendhis menyeka air matanya, tanpa sadar langes \[warna hitam dari tungku perapian\] mengotori wajahnya yang tidak terawat. Jangankan untuk merawat diri, untuk menyisir rambutnya pun ia tak mempunyai kesempatan waktu untuk itu, hanya sanggul ala kadarnya. Bisa di ibaratkan Gendhis adalah seorang wanita yang berparas buruk rupa! Jelek dan tidak sedap di pandang mata.
Bahkan, untuk sehelai pakaian yang layak pun Gendhis tidak punya. Setiap harinya, Gendhis hanya memakai kain jarik dan kemben, serta rambut yang di sanggul tak beraturan.
Gendhis berjalan dengan sangat tergesa-gesa, atau kalau ia tidak segera tiba di hadapan wanita itu, Gendhis tidak akan mendapatkan jatah makannya. Karena, kehidupan Gendhis tak jauh beda pada saat bumi Nusantara di jajah Jepang di tahun 1942.
Karena tidak hati-hati, Gendhis menyenggol kendil kecil, untung saja kendil itu tidak pecah. \[Kendil kecil, adalah kerajinan dari tanah liat, atau biasa disebut gerabah\]
“Apa itu yang jatuh Gendhis? Kalau sampai pecah, jangan harap kamu bisa makan!” teriak Bibi dari ruang tamu.
“Bu-bukan apa-apa Bi.” Sahut Gendis, gagap. Lantas membenarkan kendil yang jatuh. Sungguh aktivitasnya harus cepat dan hati-hati dalam setiap langkah di dalam rumah Limasan Bibi Jaitun. Gendhis seolah berada di lingkaran api neraka, yang bisa menghanguskannya dalam sekejap mata.
“A-ada apa Bibi memanggil ku?” tanya Gendhis, tergagap. Hanya sekilas ia melihat kedua tamu yang duduk di kursi kayu jati. Secepatnya Gendhis kembali menundukkan pandangan. Karena ia memang tidak berani menatap wajah garang Bibi Jaitun.
“Sini kamu!” sungut Bibi Jaitun, mengibaskan tangannya, agar keponakannya itu mendekat.
Masih dengan wajah yang tertunduk, Gendhis berjalan mendekati Bibi Jaitun. Namun, ia berhenti lantas menekuk lututnya dengan jarak satu meter, ia tidak berani mendekati Bibinya, karena Bibi Jaitun selalu memukul kepala Gendhis jika duduk bersebelahan dengan wanita sangar itu.
Benar saja meskipun Gendhis berlutut dari jaraknya satu meter dengan wanita sangar itu. Tangan Bibi Jaitun masih mampu menggeplak ujung kepala Gendhis.
Plak...
"Reneo koe adoh men to!" sentak Bibi Jaitun.
\*\[Sinian kamu jauh banget sih!\]
Bibi Jaitun menggeplak ujung kepala Gendis, namun ia pandai menutupi kebusukannya kepada setiap tamu yang datang, seolah ia adalah Bibi Jaitun yang penyayang. Dengan jijik, Bibi Jaitun mengusap rambut Gendhis yang terasa lengket; “Ini adalah keponakan ku satu-satunya, dia bisa bekerja apa saja,”
Dengan setengah keberaniannya, Gendhis melihat kedua pria sangar yang menjadi tamu Bibi Jaitun. Ia memutar otaknya, dan mengingat siapa kedua pria itu. Mereka adalah preman di pasar Beringharjo yang selalu membuat keonaran! Yah, Gendhis mengingatnya dengan jelas, karena pada saat kedua preman itu berulah. Gendhis berada di tempat kejadian saat menjual susu sapi perah.
“Dia bisa menjadi pelayan untuk melakukan hal apapun, dia juga sudah akhir baligh, bisa untuk melayani pemuas nafsuu,” ujar Bibi Jaitun.
Gendhis tercengang, dan beberapa kali mengerjapkan matanya, mendengar perkataan Bibi Jaitun. "*Opo meneh iki? \[Apa lagi ini*?\]"
Salah satu preman ini tersenyum menyeringai menatap Gendhis. Namun, agaknya temannya yang satu lagi tidak menyetujui pendapat Bibi Jaitun.
“Bagaimana bisa kamu menebus suamimu dengan gadis buruk rupa ini. Penampilannya juga ora ayu \[tidak cantik\], awud-awudtan!” bentak preman, “Mana mungkin bisa di jual di rumah bordil!” sambungnya bersungut-sungut.
Gendhis masih menunduk seraya membelalakkan matanya, "*Apa! Rumah bordil*!" kejutnya dalam hati.
\*\*\*
Bersambung...
Jejake Sedulur... Ben atiku ayem, karyaku yo lancar... -\_-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Afternoon Honey
ini karya author yg pertama saya baca, langsung saya suka 💖💐
2023-09-26
0
maulana ya_manna
mampir thor.... novel yang ke 4....
karyamu bagus² ...👍👍👍👍👍
lanjutkan berkarya thor😁😁😁😁
2022-11-21
1
Me mbaca
lanjuuuuut
2022-11-10
1